Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tebu Bisa Juga Pahit

Penduduk desa tembokrejo, jember, yang tak mau menanam tebu dan bersikukuh menanam padi, dituduh anggota pki dan menghambat pemilu. saluran air mereka di tutup. padahal menanam padi lebih untung. (nas)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA guru dimutasikan, delapan hektar padi sawah dirusakkan, dan sejumlah petani dituding "anggota PKI". Lalu goyahlah ketenteraman warga Desa Tembokrejo, Gumukmas, Jember, Jawa Timur, hanya karena mereka menolak menanam tebu. "Saya telah dipencilkan," kata Samiran, 27. "Saya dituduh macam-macam," ucap Boiran Daryanto, 49. Dan mutasi kedua guru yang harus dijalankan mulai bulan ini tak bisa ditampik. SD Tembokrejo pun, yang sudah 15 tahun menjadi tempat Boiran mengajar, kini terpaksa ditinggalkan. Pindah ke SD Negeri Klungkung, 40 km dari tempat tinggal Boiran. Satu kisah pahit akibat tebu pun terjadi. Tak hanya bagi mereka berdua -- yang guru -- tapi juga terhadap 17 petani di desa itu. Menjelang musim tanam tebu awal tahun ini, rembug deso membahas target areal tebu yang ditetapkan bagi Desa Tembokrejo. Warga desa itu harus menanam 98 hektar tebu, untuk memenuhi kebutuhan Pabrik Gula (PG) Semboro. Suatu kewajiban yang memang telah diatur dalam tata cara pelaksanaan penanaman TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi). Beramai-ramai mereka menolak kewajiban itu. "Lha, merugikan petani kok dipaksakan," tutur seorang penduduk. Dasarnya adalah pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Seberapa rugi, Samiran bisa menjelaskan. Setiap hektar sawah, bila ditanami tebu, mendapat kredit Rp 750 ribu, untuk sekali musim tanam. Itu berarti hampir dua tahun penuh tanah terpakai untuk tebu saja (termasuk untuk pengolahannya). Pada masa tanam sebelumnya Samiran mendapat uang dari pabrik, sebagai ganti tebu yang ditanamnya -- yang menurut pabrik hanya berkadar gula 9 persen. Setelah dipotong untuk pengembalian kredit dan lain-lainnya, ia menerima Rp 260 ribu. Jumlah itu -- dan pada kasus lain, kadang petani terpaksa merugi -- dianggap penduduk tak memadai. Sebab, kalau ditanami padi, menurut Samiran, dari sehektar sawah sedikitnya didapat untung Rp 300 ribu sekali musim tanam. Dan dengan waktu yang seperempat kali lebih pendek. Malah ada sawah yang tanpa ditanami pun bisa menghasilkan Rp 625 ribu setiap hektar setahun. Misalnya bila disewakan. Penolakan itu berakibat. Target areal diturunkan lagi menjadi 33 hektar. Tapi masih juga ditolak. Setelah tudingan "PKI" disebut-sebut oleh para kerabat desa, setelah isu "penghambat pemilu" tercetuskan, tercatatlah 20 orang petani yang bersedia menandatangani blangko penanaman TRI. "Itu pun karena dipaksakan," kata seorang petani yang enggan disebut namanya. "Saya pun akhirnya takluk juga," tambahnya. Masih ada 17 orang sisa yang bertahan. Mereka bersepakat untuk tetap menanam padi, dan dilakukan. Soekamto, kepala desa setempat, lalu memerintahkan menutup saluran air yang mengarah ke sawah-sawah itu. Malah, dua hektar tanaman padi milik Haji Syaikhan dirusakkan -- yang menyebabkan pemiliknya segera menandatangani blangko penanaman tebu. Setelah itu enam hektar sawah milik petani lainnya bernasib sama. Yang pegawai negeri seperti Samiran dan Boiran mendapat hukuman pemindahan, selain tudingan melanggar kode etik Korpri dan Sapta Prasetia. Mereka memiliki sawah masing-masing seluas 1 hektar dan 0,25 hektar. Dan menolak menanam tebu adalah kesalahannya. Hanya pihak Departemen Pendidikan & Kebudayaan Jember menolak anggapan bahwa mutasi kedua guru itu berhubungan dengan soal tebu. "Memang sejak dulu akan dipindahkan," tutur seorang pejabat setempat. Tapi dalih itu dipatahkan dengan adanya 'copy' surat rahasia Camat Gumukmas yang mengusulkan pemindahan kedua guru itu. Suryadi Setiawan, Bupati Jember, mengelak berkomentar. Sedang Djamari -- Ketua Kelompok Hamparan "Ngudi Makmur", yang memimpin perusakan itu -- tahu menanam tebu merugikan. "Bantuan pemerintah pada rakyat 'kan besar. Sekali-sekali rugi untuk menyukseskan program pemerintah 'kan tidak apa-apa," ucap Djamari, serius. Betulkah petani TRI hanya sekali-sekali saja rugi? Pihak Pabrik Gula Semboro, sayangnya, tak bersedia ditemui TEMPO. Tapi masalah perbedaan kepentingan antara petani dan pabrik, bukan hal baru. Prof. Dr. Mubyarto, Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan Pedesaan Universitas Gadjah Mada, yang sejak dulu telah meneliti ihwal TRI, menyimpulkan, "Di sawah berpengairan, padi selalu lebih menguntungkan ketimbang tebu." Menurut ahli ekonomi pertanian itu, padi selalu menjadi tanaman yang lebih disukai petani. Soalnya, "Jika tidak laku, selalu bisa dimakan sendiri." Kecuali alasan itu, ada faktor lain. "Kemajuan teknologi padi untuk menaikkan hasil sawah per hektar amat cepat ketimbang pada tebu," katanya. Adalah sulit, demikian Prof. Mubyarto, untuk mempertemukan kepentingan petani di daerah persawahan di Jawa dengan pihak pabrik gula. "Sudah lama saya menegaskan, TRI tidak cocok untuk daerah sawah beririgasi. Sebab, petani selalu merasa dirugikan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus