TENAGA kerja asing belakangan menjadi sorotan. Terutama setelah terungkap PT Indah Kiat mempekerjakan sekitar 660 tenaga kerja asal Cina untuk ketiga pabrik pulp dan kertasnya. Mereka adalah para teknisi dan operator yang menggarap pemasangan mesin pembangkit listrik yang dibeli perusahaan itu. Protes dilontarkan karena kedatangan buruh Cina itu dianggap tak mengindahkan betapa susahnya sekitar 12 juta penganggur Indonesia yang mencari kerja. Tapi pihak yang mendatangkan, konglomerat Eka Tjipta Widjaja, justru memberi alasan ingin membantu menyerap para penganggur. Sedikitnya 12 ribu tenaga kerja setempat bakal tersedot bila pabrik itu beroperasi penuh. Apalagi, mendatangkan tenaga asing semacam itu hanya untuk sementara. Mereka ditugasi memasang mesin pembangkit listrik yang dibelinya dari RRC. Sebab sesuai dengan ketentuan menghadirkan tenaga asing untuk pelayanan purnajual semacam itu sudah jamak dan dibenarkan oleh peraturan yang ada. Lantas mengapa tiba-tiba kasus buruh Cina di Indah Kiat inimenjadi soal? Itu yang ingin dicari jawabannya dalam Laporan Utama ini. Secara formal, hal itu memang tampak tak menyimpang. Mungkinkah karena masih teringat luka di masa lalu berkenaan dengan hubungan diplomatik kedua negara? Atau karena yang didatangkan itu kebetulan berasal dari Cina dan oleh konglomerat Eka Tjipta Widjaja? Banyak pertanyaan bisa dimun culkan. Tapi berbagai jawaban -- walau baru kemungkinan-- juga bisa disodorkan. Ada yang menduga itu dilatar belakangi persaingan bisnis, baik karena pulp dan kertas yang bakal dihasilkan atau listrik yang akan dipasarkan, atau kemungkinan bisnis yang lain. Tapi bisa jadi masih terasa bekas luka-luka di masa lalu, yang pernah muncul ke permukaan berupa masalah rasial. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, bagian pertama Laporan Utama ini bertolak dari apa yang dilakukan para buruh asal RRC itu, sekilas kehidupan mereka, hubungan dengan sesama pekerja, macam pekerjaannya dan problem yang mereka hadapi selama di Indonesia. Namun, entah karena protes dan kecaman yang kian deras atau memang sudah waktunya, mereka secara bertahap dipulangkan. Namun, tampaknya perlu pula memandangnya secara lebih jernih. Wawancara khusus dengan Menteri Cosmas Batubara mencoba mendudukkan persoalan itu pada proporsinya. Bagaimana hubungannya dengan peraturan yang berlaku, dan dengan jalan apa persoalan itu akan diselesaikan. Tentu saja masalah itu tak terlepas dari persoalan tenaga kerja asing secara keseluruhan. Mulai dari prosedur perizinan sampai bidang-bidang apa saja yang masih terbuka bagi tenaga asing, dan sektor apa yang masuk negative list atau tertutup bagi mereka. Yang tak boleh dilupakan, sasaran utama pengaturan tenaga asing itu adalah untuk memperluas lapangan kerja bagi 82 juta angkatan kerja Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tenaga kerja asing ternyata bukanlah masalah sederhana, walau jumlahnya tak lebih dari 20 ribu orang. Pagar-pagar telah dibuat agar mereka tak leluasa berkiprah disini. Hanya jabatan dan pekerjaan tertentu yang terbuka. Tapi, seperti disajikan dalam bagian kedua, tak sedikit pekerjaan yang sebenarnya sudah bisa dikerjakan orang Indonesia masih juga mereka ambil. Ini yang sering mengundang cemburu. Apalagi bila latar belakangnya semata-mata demi keuntungan pihak yang mempekerjakan. Namun, dalam bagian ini juga dikemukakan masalah yang dihadapi Indonesia di masa datang. Ketika dunia semakin terbuka dan tanpa batas. Masih perlukah Indonesia memasang -- pagar-pagar untuk membatasi tenaga asing? Apalagi bila suatu ketika kemampuan tenaga Indonesia sudah setara dengan mereka yang dari belahan lain dunia itu. Untuk memperoleh gambaran tenaga kerja asing yang berkiprah di Indonesia, bagian terakhir menampilkan siapa mereka, dan keahlian apa saja yang mereka miliki. Ada memang keahlianyang belum dikuasai orang Indonesia. Ada yang berkelas dunia, ada yang punya keahlian langka, tapi ada pula yang diperlukan untuk keuntungan semata. Yang selalu membuat orang bertanya-tanya: mengapa penghasilan dan fasilitas untuk tenaga asing itu rata-rata jatuh lebih baik ketimbang tenaga Indonesia. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini