BURUH Cina itu pun akhirnya bunuh diri. Enam bulan berada diproyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PT Indah Kiat Pulp and Paper di Desa Kragilan, Serang, Jawa Barat, pekerjaannya memasang instalasi listrik tak kunjung rampung. Bentrok dengan pekerja dari Taiwan pun sering terjadi. Ahli listrik ini makin pusing ketika sang pacar di Daratan Cina mengirim surat putus cinta. Suatu hari bulan lalu, cerita Lee salah seorang kolega ahli listrik tadi pemuda lajang 20 tahun ini bergegas meninggalkan ruang kerja dan kembali ke barak. Kemudian, dia melilitkan kabel ke jempol kakinya dan mencolokkannya ke sambungan listrik. Breeet."Dia menggelepar dan tubuhnya hangus," cerita Lee. Perjalanan hidup ahli listrik itu barangkali sudah ditakdirkan berakhir di Serang. Dia gagal kembali ke kampung halamannya ketika seratus orang rekannya mulai dipulangkan dari Kragilan, Sabtu pekan lalu. "Kami merasa tertekan secara mental," ujar Lee. Soalnya, selain home sick, komunikasi dengan pekerja lain asal Indonesia begitu sulit karena perbedaan bahasa. Kalau saja Lee dan kawan-kawannya pernah membaca koran Indonesia yang memuat protes dan kritik atas kedatangan mereka di sini, barangkali sudah sejak awal mereka minta dipulangkan saja. Benar bahwa zaman Cosmas Batubara, aktivis Angkatan 66 dan kini Menteri Tenaga Kerja, memimpin demonstransi di Kedutaan RRC di kawasan Glodok, Jakarta, sudah lama berlalu. Hubungan diplomatik RI-Cina pun sudah pulih sejak dua tahun silam. Namun, rupanya urusan dengan Cina ini masih gampang menyulut kritik. Kehadiran 660 pekerja asal Cina yang didatangkan PT Indah Kiat Pulp and Paper milik konglomerat Eka Tjipta Widjaja ini bisa menjadi salah satu contoh. Hiruk-pikuk mempersoalkan buruh dari negeri semilyar manusia itu terdengar begitu lantang. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita menilai jumlah tenaga yang didatangkan dari Cina itu berlebihan. Dia membandingkan dengan tenaga ahli asing yang dipekerjakan di proyek PLN Gresik (berkekuatan 1.500 megawatt) hanya 180 orang, dan PLTU Suralaya (800 megawatt) cuma 106 tenaga asing. Sedangkan PLTU Indah Kiat tadi cuma berkekuatan 35 megawatt. Sejumlah mahasiswa Universitas Riau punya cara sendiri untuk protes. Mereka melakukan demonstrasi mendesak Gubernur Riau Suripto agar menindak Indah Kiat yang salah satu pabriknya ada di Perawang, Riau. Sementara itu, dari DPR di Senayan, Jakarta, Wakil Ketua Soekardi langsung menginstruksikan Komisi VI agar memanggil konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Barangkali karena sibuk, Eka akhirnya diwakili penasihatnya, yakni Jusuf Hamka. Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani mempunyai pandangan sendiri. Jenderal purnawirawan bintang empat ini menilai bobot emosional lebih dominan dalam menanggapi kasus Indah Kiat ini. "Secara jujur, faktor penyebab masalah ini yang utama bukan jumlah tenaga kerja itu sendiri, tapi lebih didorong oleh asal dari tenaga asing itu dan golongan keturunan pemilik proyeknya," katanya, menjawab pertanyaan Komisi I DPR, pekan lalu. Apa komentar pihak Indah Kiat? Jusuf Hamka, tokoh Persatuan Iman Tauhid Indonesia (PITI), rupanya agak kesal dengan gencarnya kritik atas kedatangan buruh Cina itu. Dijelaskan Yusuf, pihaknya membeli lima buah mesin pembangkit listrik tenaga uap dari China Machineries Export Corporation, yang bermarkas di Sichuan, RRC. Dengan sistem proyek turn key, pemasangan mesin yang dibeli dalam kondisi knock down tadiakan dilakukan oleh tenaga dari Cina. Dan setelah pemasangan usai, secara bertahap mereka pun akan dipulangkan. Sejumlah pertanyaan pun melayang dari DPR ke alamat Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, yang memberikan izin masuk. Dan Senin lalu, Cosmas menjawab semua pertanyaan itu di mimbar DPR. Dijelaskannya, buruh asal Cina yang didatangkan PT Indah Kiat itu sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan seizinnya. Karena, sifat proyek turn key pembelian satu paket teknologi dan pemasangan konstruksi memang mengharuskan pemasangan mesin dilakukan pihak penjual mesin. Proyek PLTU Indah Kiat tadi dimulai pada bulan Juni tahun lalu. Karena suplai listrik dari PLN tak mencukupi, Indah Kiat akhirnya mendapat izin untuk membuat tiga power plant (pembangkit listrik), satu di Serang, Jawa Barat, dan dua di Perawang, Riau. Kemudian, kehadiran pekerja Cina itu dimanfaatkan juga untuk membangun proyek serupa di PT Tjiwi Kimia, pabrik kertas milik Eka Tjipta Widjaja di Desa Pojen, Sidoarjo, Jawa Timur. Walhasil, jumlah semua buruh Cina tadi mencapai sekitar 660 orang. Dalam wawancara dengan TEMPO pekan lalu, Cosmas Batubara mengungkapkan bahwa dia menerapkan ilmu memancing dalam kasus Indah Kiat ini. "Untuk mendapatkan ikan besar, ya umpannya harus besar," katanya. Di Serang, contohnya, diharapkan akan diserap 5.000 tenaga kerja Indonesia, sedangkan di Perawang sekarang ini sudah terserap sekitar 7.000 tenaga Indonesia, dan jumlah itu nantinya akan menjadi 12.000. "Argumentasinya, supaya tenaga Indonesia lebih banyak bekerja, proyek itu kami setujui." Begitulah, entah karena pekerjaan yang hampir rampung atau lantaran kritik tajam masyarakat, sebagian pekerja Cina itu sejak dua pekan lalu mulai dipulangkan. Mulanya, 87 buruh Cina yang bekerja di Perawang dikirim pulang ke Guangzhou, RRC, dari Lapangan Terbang Polonia, Medan. Sabtu pekan lalu, dari Serang dipulangkan sekitar seratus orang. Dan Minggu lalu, giliran Tjiwi Kimia memulangkan seratus buruh Cina lewat Lapangan Terbang Juanda, Surabaya. Pekan ini, konon, masih ada kloter tenaga kerja Cina yang terbang kenegerinya. Kesan ketakutan dan hati-hati memang tampak jelas saat kepulangan rombongan dari Cina itu. Minggu lalu, sekitar pukul enam pagi, wartawan TEMPO Amsakasasi menyaksikan sekitar seratus orang buruh Cina itu seperti mengadakan upacara perpisahan di lokasi pabrik Tjiwi Kimia. Mereka melepas sekitar 30 orang rekannya yang hari itu akan mudik. Mereka yang pulang itu berpakaian sangat sederhana. Diantaranya ada wanita yang memakai rok terusan biru yang modelnya sudah ketinggalan zaman. Beberapa laki-laki bahkan hanya memakai kaus oblong dan menjinjing kopor terbungkus kain katun lusuh. Ketika didekati TEMPO, mereka hanya menggeleng sembari berkata, "Tidak ngerti." Atau berusaha menjawab, "Bahasa Indonesia? . . . ehm . . . tidak tahu." Atau mencoba berbahasa Inggris, "No . . . no." Seterusnya memakai bahasa negeri mereka. Mengapa mereka pulang? "Karena pekerjaan tinggal dua puluh persen," kata sebuah sumber di Tjiwi. Dan kelak secara bertahap akan dipulangkan juga yang lain. Dan kata sumber TEMPO tadi," Kalaupun ada yang tinggal, itu hanya beberapa teknisi."Sekarang ini, masih ada lebih dari 250 tenaga asing Cina diSidoarjo. Semuanya tinggal di barak 100 x 3,5 meter beratap asbes dan dinding tripleks. Hanya ada tiga AC dipasang di sana, itupun di kamar pimpinan dan kantor. Hiburan yang ada cuma televisi dan seperangkat video yang diletakkan di aula. Rekreasi ada juga, namun bisa seminggu sekali atau sebulan sekali. Itu berupa perjalanan ke Surabaya, untuk sekadar belanja. "Yang dibeli juga barang-barang yang murah," kata sumber TEMPO ini. Andaikata standar gaji tenaga Cina di Sidoarjo itu sama rata dengan mereka yang bekerja di Serang, itu berarti setiap bulan mereka menerima US$ 200-300 atau Rp 400.000-600.000, sementara di Cina mereka hanya dibayar sekitar Rp 80.000. Tapi penghasilan pekerja Cina di Serang itu masih jauh lebih kecil ketimbang pekerja Taiwan, yang gajinya US$ 1.000-2.000 dengan kualifikasi pekerjaan yang sama. Barangkali itu disebabkan karena di Serang perusahaan milik Eka Tjipta itu berpatungan dengan sebuah perusahaan Taiwan. Toh fasilitas di Serang jauh lebih baik dibandingkan di Sidoarjo. Mereka tinggal di mes dengan antena parabola danmeja bilyar. Sebelum kehadiran tenaga kerja Cina ini "diusik", mereka biasanya berkeliaran di sekitar pabrik usai bekerja. Tak jarang mereka mengunjungi warung-warung yang konon menyediakan wanita penghibur. Dengan pekerja Indonesia, mereka hampir tak ada masalah. Barangkali yang ada hanya kecemburuan kecil soal gaji. Untuk jenis pekerjaan yang sama, misalnya mengelas, upah tenaga kerja Indonesia hanya Rp 3.600 sehari, kata seorang sumber TEMPO di pabrik tersebut. Sejauh ini memang belum ada konfirmasi perihal standar gaji ini dari pihak Indah Kiat. Karena soal bahasa yang tertera pada manual mesin yang dipasang? Andaikata itu yang menjadi soal, mungkin tak sulit diatasi. Karena, kata sumber TEMPO itu, Indah Kiat juga mendatangkan sekitar 20 orang penerjemah bahasa Cina yang konon digaji sampai setengah juta rupiah sebulan. Yang menjadi ganjalan untuk pekerja Indonesia mungkin hanya soal sebutan. "Pihak perusahaan mewajibkan kami memanggil orang-orang Cina itu dengan 'mister', padahal sih mereka tak tahu artinya," ujarnya. Nah, para "mister" dari Cina tadi agaknya akan pulang lebih cepat dari jadwal. Soalnya, bulan depan kabarnya pengusaha kakap Bob Hasan akan mengambil alih penyelesaian PLTU milik Eka Tjipta Widjaja tadi. Padahal, kata seorang sumber, semula sebagian tenaga dari Cina yang benar-benar ahli ditargetkan akan berada di Serang sekitar tiga tahun untuk merawat dan mengawasi mesin yang dipasangnya. Dan Bob Hasan, dengan PT Inti Karya Persadanya, kabarnya akan memakai 100% tenaga Indonesia. Tampaknya, ada kekhawatiran bahwa tenaga asing asal Cina itu kelak tiba-tiba akan kawin-mawin dengan sesama keturunan Cina disini dan kemudian menetap di sini. Namun, paling tidak menurut data Imigrasi, jarang orang-orang Cina yang bekerja secara gelap di negeri ini. Kantor Imigrasi Riau daerah yang terkenal sebagai wilayah paling gampang dimasuki akhir pekan lalu baru menyelesaikan Operasi Waspada. Hasil operasi itu, terjerat 20 tenaga kerja asing gelap. Mereka berasal dari AS, Singapura, Filipina, dan Korea. Sampai bulan Agustus tahun ini, contohnya, Imigrasi telah mendeportasi 24 orang karena bekerja gelap di sini. Dari jumlah itu, yang terbanyak dari Filipina, dan tak ada yang dari Cina. Sementara yang dideportasikan karena overstay sebanyak 14 orang. Jadi, mengapa tenaga kerja Indah Kiat disorot begitu tajam? Barangkali lantaran tak semua mereka benar-benar ahli, atau tak dipahami bahwa mereka cuma memasang mesin yang dibeli Indah Kiat. Atau, jangan-jangan, ini hanya urusan persaingan bisnis antar perusahaan yang bergerak di bidang pulp dan kertas, atau sesama swasta yang membangun pembangkit listrik. Siapa tahu. Toriq Hadad, A. Reza Rohadian, Robin Ong, Ardian T. Gesuri, Wahyu Muryadi, dan Irwan E. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini