Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Hukum Islam, Kerangka Baru

Ulama dari berbagai organisasi hadir dalam acara Bahtsul Masail NU, membahas khilafiyah hukum Islam yang disodorkan tim kompilasi hukum Islam melalui penyebaran kuesioner. Hukum Islam mendapat tempat.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

Hukum Islam, Kerangka Baru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BILA enam puluh ulama ahli fiqih berkumpul, tentulah penting masalah yang mereka bahas. Tapi pertemuan akhir Desember silam itu sebenarnya rutin saja - perbincangan soal-soal hukum Islam di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yang diberi nama bahtsul masail, dan diselenggarakan bagian Syuriah. "Tapi kali ini khusus," kata K.H. Nadjib Abdul Wahab, rais Syuriah NU wilayah Jawa Timur, menjelaskan acara di Pondok Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang - yang juga dihadiri Menteri Agama itu. Kekhususannya: acara periodik itu dipakai untuk membahas soal-soal yang tidak muncul dari bawah, dari para kiai sendiri. Melainkan dari tim Proyek Kompilasi Hukum Islam, sebuah kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Dan yang menyibukkan NU itu adalah salah satu dari 200 kuesioner yang sama yang telah disebarkan tim proyek itu kepada para ulama (dan bukan organisasi) di sepuluh kota di Indonesia. Namun, karena pentingnya, bisa dipahami bila organisasi-organisasi Islam terlibat. "Tak hanya NU, tapi juga Muhammadiyah, Persis, Washliyah, dan lain sebagainya," kata H. Muchtar Zarkasyi, S.H., Direktur Peradilan Agama Departemen Agama. Setiap kuesioner yang dikirimkan mencakup 102 pertanyaan pokok, berisi soal-soal hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, adopsi, pendidikan anak, persusuan, misalnya), di samping berbagai soal waris yang juga meliputi masalah-masalah wasiat, hibah, dan wakaf. Semua pertanyaan (yang lebih dari separuhnya selama ini merupakan urusan pengadilan agama), menurut K.H. Nadjib, bila dirinci lagi bisa menjadi 300 soal. Kini jawaban mulai mengalir ke Jakarta. "Hasilnya sedang kami tabulasikan," kata Muchtar. Tetapi, untuk apa? "Untuk membuat semacam undang-undang, tapi bukan undang-undang," katanya. Lho. Tentang itu, baiklah Ketua Muda Mahkamah Agung (urusan peradilan agama) Prof. Bustanul Arifin, S.H., menjelaskannya. Seperti dituturkan Bustanul di Pesantren Tambakberas itu, proyek kompilasi ini bertujuan membuat patokan-patokan hukum Islam untuk digunaka di Indonesia. "Kitab itu nantinya bisa dipakai para hakim agama untuk menghukum, bisa dipakai masyarakat untuk pedoman hidup." Bahkan pengadilan umum pun akan memakainya, katanya, untuk menyelesaikan kasus-kasus yang harus digarap dengan hukum Islam. Menengok ke pengadilan agama, sebenarnya selama ini bukan tak ada kitab rujukan. Jauh sebelum PA digandengkan ke Mahkamah Agung (terhitung sejak Januari 1983), yakni dengan jalur kasasi PA ke MA, sudah ada 13 kitab sebagai landasan para hakim agama dalam menyelesaikan perkara. Hampir semuanya kitab dari mazhab fiqih Syafi'i yang khususnya dipakai di kalangan pesantren. Lalu pada 1976 rujukan itu ditambah lagi dengan kitab-kitab andalan mazhab fiqih lain maupun pegangan mereka yang tidak mengikatkan diri pada mazhab, seperti Zadul Ma'ad karya Ibnul Qayyim (Hambali), Al Muhalla Ibnu Hazm (Hanafi), Bidayaul Mujahid tulisan Filosof Ibnu Rusyd tentang mazhab empat, atau Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq. Tetapi masih saja ada masalah yang sulit diselesaikan para hakim agama. Tentu, itu karena tidak satu pun dari kitab-kitab tersebut yang ditulis dengan mengingat keperluan masyarakat Indonesia. Di samping itu, mengambil sebuah kitab bisa mengakibatkan hukum yang berbeda dengan bila kitab lain yang dipergunakan. Ditambah dengan kemungkinan masuknya masalah jenis baru, tak heran bila penafsiran bisa begitu berlain-lainan. Nah, kesulitan-kesulitan itulah yang dikumpulkan menjadi kuesioner. Bukan berarti jalan sudah sampai di ujung bila kuesioner sudah dijawab. Hadangan pertama: kemungkinan bahwa kesimpulan hukum dari sekumpulan ulama atau satu pihak berbeda dengan kesimpulan kelompok lain. Itulah sebabnya, seperti dituturkan Muchtar Zarkasyi, di tahap akhir nanti akan diadakan seminar nasional. Hadangan kedua: kemungkinan sebagian hukum yang disepakati itu akan berbeda dengan yang sudah tertera dalam UU Perkawinan. Ini memang sudah dimungkinkan oleh adanya pertanyaan, dalam kuesioner, tentang hal-hal yang sebenarnya sudah definitif dalam UU itu. Tapi tentang yang terakhir itu ada penjelasan dari H. Ahmad Azhar Basyir M.A., Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, yang membandingkan apa yang diperbuat sekarang ini dengan yang pernah dilakukan di Turki. Di sana, di zaman Ottoman dulu, disusun satu seri kitab hukum agama (hanya berdasar mazhab Hanafi) yang bukan undang-undang tapi dipakai sebagai pegangan pengadilan. Namanya: Majallah (Mecellet), dan berlangsung sampai Kemal Ataturk naik tahta. Tentu, antara isi UU dan isi Mecellet Turki (juga "mecellet" kita) bisa terdapat perbedaan. Tapi, juga, interaksi - yang bisa saja membuahkan angan-angan tentang akan adanya "kemanunggalan" di masa yang panjang. "Ini satu kemajuan," kata Azhar. Sambutan baik juga diberikan oleh Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., Ketua PP Muhammadiyah, yang menyebut langkah itu sebagai tindak logis dari sikap kita yang telah meninggalkan teori resepsi warisan Belanda dalam hukum yang kita pakai - yang hanya bisa menerima hukum Islam sepanjang telah menjadi hukum adat. Suny menyebut UU Perkawinan 1974 sebagai pancang perubahan sikap itu.. Tetapi, selain usaha peneguhan, ada juga soal seperti yang diajukan Menteri Agama agar dari para ulama bisa dihasilkan hukum-hukum yang berdasar pada kearifan seperti dipunyai Khalifah Umar. Yakni: tidak takut berbeda dengan kesimpulan sebelumnya, karena mengingat tuntutan yang berubah, seperti Umar dahulu tidak takut menggariskan yang berbeda dari yang berlaku di zaman Nabi. MENTERI di situ mengajukan contoh kasus waris: kemungkinan mempertimbangkan porsi 1:1 untuk laki-laki dan perempuan, sementara yang berlaku selama ini segendong sepikulan, alias satu untuk perempuan dan dua untuk rekannya itu. Memang, Menteri kelihatan seperti seorang jaksa, yang lebih dulu meletakkan tuntutan maksimal. Tujuan pembaruan, seperti yang sudah dicapai lewat UU Perkawinan sendiri menjadi jelas. Zaim Ukhrowi & Syu'bah Asa Laporan Choirul Anam (Surabaya) & Musthafa Helmy (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus