UNTUK kali ini, pemilihan Rektor UI berjalan tenang. Belum hilang dari ingatan ketika Mahar Mardjono menyerahkan jabatan Rektor UI kepada Nugroho Notosusanto almarhum, pertengahan Januari 1982, sejumlah mahasiswa pasang spanduk, kemudian ada yang tampil membacakan ikrar. "Jangan nodai kampus dengan sepatu lars," bunyi spanduk itu. Pelantikan Sujudi, 56, sebagai Rektor UI ke-9, Rabu pekan ini, menggantikan Tumbelaka, pelaksana harian jabatan Rektor UI setelah Nugroho Notosusanto meninggal, tampaknya tanpa "sambutan" mahasiswa. Tampaknya memang ada yang berubah di kampus. Bukan karena mahasiswa tak lagi peka terhadap masalah sosial, kata Sujudi, yang lulus dari FK UI pada 1959. "Tapi karena kurikulum perguruan tinggi menyebabkan mahasiswa tak lagi bisa semaunya," tambah rektor baru kelahiran Bogor ini. Yakni, diberlakukannya batas kuliah, hingga tiap semester sedikitnya ada dua kali ujian, mahasiswa mau tak mau harus menyelesaikan kuliahnya pada waktunya. Tambahan lagi, kebijaksanaan rektor terdahulu -- misalnya Nugroho dengan transpolitisasi, profesionalisasi, dan institusionalisasinya--menjadi "modal kuat bagi stabilisasi suasana kampus". Dan jangan lupa, perihal normalisasi kampusnya Daoed Joesoef, yang meniadakan dewan mahasiswa dulu itu. Tak mengherankan bila langkah Sujudi sebagai rektor baru lebih banyak menyangkut soal akademis. Umpamanya, direncanakannya penggabungan pengelolaan mata kuliah yang sama. Agaknya Sujudi, doktor dalam bidang mikrobiologi, memang tepat untuk masa kini, ketika anggaran sektor pendidikan pun turun. Ia menyadari benar beban subsidi pemerintah untuk mahasiswa negeri. "Menurut perhitungan tahun 1976, subsidi pemerintah untuk seorang mahasiswa kedokteran sekitar Rp 2 juta, untuk mahasiswa ilmu-ilmu sosial sekitar Rp 800.000 per tahun," kata rektor bagi sekitar 14.500 mahasiswa ini. Jumlah subsidi untuk UI tahun ini belum jelas. Toh, bapak tiga anak ini sudah bersiap-siap. Agar kegiatan UI tak terganggu dengan dana terbatas, "keterlibatan swasta untuk aktif dalam perguruan tinggi negeri tak bisa ditawar-tawar lagi." Ini memang bukan hal baru. UI, misalnya, punya Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen, Lembaga Psikologi Terapan--yang bisa memasukkan dana swasta ke UI. "Lembaga-lembaga semacam itu bisa diperbanyak dan bisa lebih diaktifkan," kata bekas Pembantu Rektor I UI, 1977--1982 itu. Koesnadi Hardjasoemantri, 60, rektor baru UGM yang dilantik Rabu pekan lalu, lebih kurang punya pandangan sama dengan rekannya dari UI tentang mahasiswa kini. Yakni, sistem perkuliahan sekarang menjadikan mahasiswa cenderung memusatkan perhatian pada studinya. Lebih dari hal-hal lain, Koesnadi, sarjana hukum UGM yang memperoleh doktor dalam bidang ilmu sosial di Universitas Leiden, Belanda, akan memprioritaskan peningkatan mutu dosen. Baginya, dosen adalah modal utama perguruan tinggi. "Kemampuan dosen meningkat, berarti kemampuan mahasiswanya pun bertambah," kata pengganti Teuku Yacob, 57, rektor lama. Yang merisaukannya, ini bukan kabar baru, kemampuan bahasa asing dosen sungguh memprihatinkan. Untuk itu, Koesnadi-yang pernah menjadi guru SMA di Kupang sewaktu masih mahasiswa dalam rangka program pengerahan tenaga mahasiswa, 1951, punya gagasan unik. Ia merencanakan mengundang sarjana sukarela dari Inggris atau Kanada, guna mendampingi lima atau enam dosen tiap hari. Bukan untuk membantu para dosen itu mengajar, tapi untuk melatih mereka dalam berbahasa Inggris. Ini memang sejenis kursus bahasa Inggris secara superintensif. Di samping mutu, rektor baru UGM pencetus ide KKN (kuliah kerja nyata) pada 1972 ini berpendapat, kurikulum perguruan tinggi juga harus memberikan sifat terbuka lulusannya. Caranya? Salah satunya lewat KKN. Dengan terjun ke desa, mahasiswa bisa tahu secara langsung bahwa masalah dalam masyarakat itu kompleks sifatnya, dan pemecahannya pun tak bisa hanya dilihat dari satu segi, kata penyusun undang-undang lingkungan hidup ini. Yang juga mendapat rektor baru adalah Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, yang punya 14.000 mahasiswa dan 800 dosen. "Idealnya, perbandingan jumlah dosen mahasiswa itu 1:10," kata Moelyono, 52, rektor baru Undip yang dilantik Sabtu pekan lalu, menggantikan Soedarto, rektor lama. Itu sebabnya. berbeda dengan dua rektor baru yang telah disebutkan, Moelyono lebih memprioritaskan pengadaan dosen. Yakni, dengan cara menarik lulusan yang selama kuliah mendapatkan ikatan dinas khusus dari Undip. Undip (baru berdiri pada 1960) memang tak sebesar UI ataupun UGM (berdiri pada 1950 dan 1949). Tak berarti universitas di Jawa Tengah ini tak punya apa-apa buat diandalkan. Sebagaimana sambutan Menteri P & K dalam pelantikan rektor baru di Undip, perguruan tinggi ini punya tugas mengembangkan ilmu khas daerah. Yakni ilmu kelautan. Untuk itu, Moelyono telah merencanakan meningkatkan Jurusan Perikanan, yang masih di bawah Fakultas Pe ternakan, menjadi Fakultas Perikanan. Dan bukan karena sama-sama lulusan FK UI bila Moelyono sependapat pula dengan Sujudi. Yakni soal mahasiswa. "Mahasiswa tetap tanggap terhadap masalah sosial, cuma mereka mengeksposnya berbeda dengan dulu," kata Sujudi. "Diskusi mahasiswa cukup banyak, dan yang jadi bahan bahasan adalah persoalan yang ada hubungannya dengan gejolak masyarakat," kata Koesnadi. Dan kata Moelyono, bekas Pembantu Rektor I Bidang Akademis Undip ini, "Apakah lewat KKN, seminar, dan riset mahasiswa tidak belajar berorganisasi dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sosialnya?" Benar yang mungkin perlu dipertanyakan yakni, adakah semua wadah yang kini ada cukup memberikan pengalaman bagi mahasiswa untuk gagal atau berhasil atas nama mereka sendiri. Ataukah mereka hanya jadi orang kedua, bahkan ketiga, dalam semua kegiatan itu, yang dengan mudah bisa melemparkan tanggung jawab? Bambang Bujono Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini