INI bukan kampanye untuk pemilu. Tapi, maaf, bisa dibilang kampanye asap dapur. Terdengar ramai tuntutan para anggota DPRD agar kepada mereka diberikan yang disebut tunjangan purnabakti, atau lazim disebut tunjangan pensiun. Memang, agak aneh. Sementara anggota DPR pusat sejak awal berdirinya memperoleh uang pensiun, yang DPRD sampai kini tidak. Adalah Blegoh Soemarto Ketua DPRD Tingkat I Jawa Timur, orang pertama yang meniupkan tuntutan ini. "Kami ini 'kan termasuk pejabat negara, sama dengan menteri, dubes, atau gubernur. Maka, wajar kalau diberi juga tunjangan purnabakti," katanya. Rupanya, ia sedikit alpa. Sebab, duta besar sampai kini pun tak memperoleh dana pensiun. Bahwa anggota DPRD digolongkan sebagai perangkat Pemda memang ada dalam UU No. 5/1974. Tentu saja, gagasan Blegoh itu mendapat dukungan di sana-sini, yakni oleh sesama anggota DPRD. Dan alasan mereka macam-macam. Ada yang, itu tadi, membandingkan dengan anggota DPR pusat, umpamanya kata Harun Amin, Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara. Ada pula yang bilang bahwa anggota DPRD tak semuanya punya kemampuan ekonomi yang memadai hingga perlu dibantu dana, seperti kata Edi Djunaidi Ketua Fraksi PDI Jawa Barat. Tuntutan ini sebetulnya bukan gagasan baru. Dalam pertemuan Ketua DPRD se-Indonesia, 10 tahun yang lalu, soal serupa sudah pula terdengar. Tapi memang baru pada pertemuan 1985 rumusan yang lebih jelas bisa disusun. Menurut Blegoh, tunjangan purnabakti secara prinsip berbeda dengan dana pensiun. Dana pensiun berlaku seumur hidup, sedangkan tunjangan purnabakti hanya diberikan paling lama lima tahun, sesuai dengan satu kali masa jabatan anggota dewan. Bila yang bersangkautan menjadi wakil rakyat kurang dari lima tahun, ia pun hanya mendapat tunjangan sama dengan masa kerjanya. Sebaliknya, yang diangkat lebih dari sekali, tetap saja hanya memperoleh tunjangan selama lima tahun. Terdengar masuk akal dan cukup rendah hati. Masalahnya kemudian: dari mana dana itu diperoleh. Blegoh mengusulkan dana itu diambilkan dari pendapatan murni daerah. Jelas, ini segera mengundang keberatan. Pendapatan tiap daerah, siapa pun tahu, tidak sama. Bahkan ada daerah yang sering terlambat membayar honorarium bulanan para wakil rakyatnya, misalnya Tapanuli Tengah. Maka, ada yang mengusulkan, dari DPRD Jawa Tengah, agar sumber dana itu dibebankan kepada pemerintah pusat. Setuju ? Untuk yang ini, Mendagri Soepardjo Rustam-lah yang langsung menjawab. "Masalah itu urusan daerah. Pokoknya, pemerintah pusat tak campur tangan," katanya kepada Riya Sesana dari TEMPO. Mengingat soal dana itu pula, baik dari pusat maupun dari daerah, Ketua DPR-MPR Amirmachmud kepada harian Jawa Pos mengatakan agar, "Rencana pemberian pensiun itu dipikirkan lebih matang." Bila semua saja cuma berhitung atas dasar ada atau tak ada, cukup atau tak cukup dana, adalah Kepala BAKN Manihuruk berhitung dengan angka nyata. "Kini, ada 10.000-an anggota DPRD. Bila pensiun itu Rp 100.000 per orang, artinya negara harus mengeluarkan dana minimal Rp 1 milyar per bulan." katanya ketika dicegat wartawan TEMPO Sayadi. Minimal karena, menurut Kepala BAKN itu, ada sekitar 50.000 bekas wakil rakyat daerah sejak awal kemerdekaan hingga kini, yang untuk adilnya kepada mereka pun seharusnya diberikan tunjangan. Singkat cerita, berdasarkan perhitungan kemampuan negara secara nyata, tuntutan para wakil rakyat daerah demi kesejahteraan mereka itu, "Ya. masih sulit." Toh -- boleh dilihat dalam kampanye yang segera ramai -- soal pensiun ini tampaknya tak punya pengaruh terhadap daya tarik kursi wakil rakyat daerah. Tetap ada sesuatunya duduk di kursi itu. Gatot Triyanto, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini