Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) akan mengembangkan mata kuliah hukum perubahan iklim bersama fakultas hukum dari sembilan universitas di Indonesia. Hal ini diresmikan dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring dan sembilan dekan Fakultas Hukum pada Kamis malam, 24 Agustus 2023, bertepatan dengan perayaan ulang tahun ICEL ke-30.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, sembilan universitas tersebut adalah Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Riau, Universitas Widyagama Malang, Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan STHI Jentera.
Saat ini, tidak banyak fakultas hukum di Indonesia yang mempunyai mata kuliah hukum perubahan iklim. Salah satunya adalah FH UI, yang mulai mengimplementasikan kurikulum mata kuliah ini pada 2014. Hal ini dijelaskan oleh Kepala Unit Manajemen Pengetahuan ICEL, Marsya Handayani saat ditemui di ballroom Djakarta Theater XXI, Jakarta pada hari Kamis.
“Tiap universitas nantinya akan mengembangkan mata kuliah hukum perubahan iklim ini dengan muatan lokalnya masing-masing. Kerentanan tiap daerah kan pasti berbeda-beda, jadi perlu disesuaikan materinya,” terangnya kepada Tempo.
Sebagai contoh, Marsya menyebut FH UI yang hingga saat ini terus mengembangkan mata kuliah hukum perubahan lingkungan bersamaan dengan munculnya kasus-kasus litigasi iklim di seluruh dunia. Salah satunya adalah kasus Milieudefensie v. Royal Dutch Shell pada 2021 atau kasus yang lebih dekat di Indonesia, yaitu gugatan Pulau Pari v. Holcim.
Sebelum nota kesepahaman ditandatangani, ICEL menggelar lokakarya bersama 23 universitas di Indonesia dari 20 sampai 23 Agustus 2023. Bagian dari lokakarya tersebut adalah ekskursi ke Pulau Pari untuk memperdalam pengetahuan tentang gugatan yang masih berlangsung.
“Ada ekskursi ke Pulau Pari, karena ada gugatan perubahan iklim melawan Holcim. Jadi, para dosen bertemu dengan masyarakat di sana, bertanya apa yang digugat dan kenapa mereka menggugat. Jadi langsung terjun ke lapangan. Harapannya, nanti mata kuliah hukum perubahan iklim seperti itu, ada muatan lokalnya dan bagaimana ke depannya,” imbuh Marsya.
Pengembangan mata kuliah diharapkan berlangsung dalam waktu setahun untuk selesai pada 2024 atau 2025. Menurut perkiraannya, mungkin akan sedikit menantang bagi tiap universitas yang telah menandatangani nota kesepahaman untuk memiliki mata kuliah hukum perubahan iklim dalam satu tahun ini.
“Tapi paling tidak kami punya riset bersama, konferensi, dan paper dalam jurnal. Para dosen dan mahasiswa berkolaborasi untuk mengembangkan hukum perubahan iklim. Jadi tidak hanya mata kuliah, tapi kita juga mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat dan penelitian,” ujarnya.
Ke depannya, ICEL juga berharap bisa bekerja sama dengan fakultas hukum lain untuk mengembangkan mata kuliah ini. Marsya menyebut 23 universitas yang sebelumnya mengikuti lokakarya sangat antusias dan aktif. Partisipasi datang dari barat sampai timur Indonesia, tepatnya dari Universitas Riau sampai Universitas Musamus.
“Harapannya kita bisa menciptakan sarjana hukum yang lebih peka pada realita saat ini, bahwa kita berada di antara triple planetary crisis. Ada tiga krisis yang saat ini sedang kita hadapi, yaitu krisis iklim, ancaman kepunahan keanegaragaman hayati, dan pencemaran,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan Editor: KPK Buka Program Magang bagi Mahasiswa dan Fresh Graduate, Ini Jadwal dan Persyaratannya
Catatan: Artikel ini mengalami perubahan pada 26 Agustus 2023 di paragraf ke-2. Sebelumnya, tertulis Universitas Sebelas Maret diubah menjadi Universitas Indonesia. Redaksi mohon maaf atas kekeliruan.