Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Idham Chalid yang gambarnya ada di uang kertas baru pecahan Rp 5.000 merupakan tokoh ulama Nahdlatul Ulama (NU) dengan karir politik yang panjang. Ia aktif pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru.
Idham lahir 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sulung dari lima bersaudara pasangan Muhammad Chalid dan Umi Hani ini kenal politik dan NU dari keluarga. Ayahnya , Chalid senior, penghulu juga pengurus Sarekat Islam dan NU pada masanya. Oleh karenanya, ia sudah mengenal Nahdlatul Ulama sejak umur 10 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dilansir pada laman uin-antasari.ac.id, Idham menghabiskan masa kecilnya di daerah Amuntai setelah pindah karena sempat diserang sekolompok orang di tempat tinggal sebelumnya. Tempat kampung halaman leluhur ayahnya ini menjadi tempat singgahnya hingga ia mendaftar masuk Sekolah Rakyat (SR). Dikenal cerdas, Idham langsung ditempatkan di kelas dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kemampuannya berpidato tampak menonjol sedari kecil dan berkembang saat berpolitik. Juru kampanye setingkat penceramah kondang Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pernah berguru kepadanya.
Setamat Sekolah Rakyat, ia ke Madrasah al-Rasyidiyyah yang dahulunya bernama Arabisch School. Saat itu, sekolah ini menjadi tempat alternatif bagi sekolah yang didirikan Belanda untuk belajar pendidikan Islam dan pengetahuan dasar lainnya.
Lima tahun menimba ilmu, ia belajar pendidikan guru agama islam di Kulliyyah al-Muallimin dan sisanya di tingkat Kweeksschool Islam. Setelahnya ia melanjutkan pendidikannya di Jakarta pada 1943.
Karir Politik
Sebelum masuk ke dunia politik, ia sempat berpartisipasi dalam menjalankan misi kemerdekaan. Idham aktif sebagai sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (HSU) di kota Amuntai tahun 1945.
Usai Jepang hengkang Indonesia karena kalah perang dari Sekutu di Pasifik, mulai invansi baru Belanda melalui Netherland Indies Civil Administration (NICA) di Kalimantan. Namun, masyarakat di di bawah pimpinan Mayor A. L. Assenderp tidak diam. Salah satu strateginya ialah membuat partai politik, yaitu Persatuan Rakyat Indonesia (PRI). Idham bergabung menjadi salah satu anggotanya.
Setahun kemudian, Idham bergabung sebagai Anggota Pengurus Besar dan Komisaris Daerah Hulu Sungai Utara dan Selatan di Serikat Muslimin Indonesia atau Sermi yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan. Idham juga pernah bergabung dengan organisasi bawah tanah, Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) di tahun 1947. Pemimpinnya seseorang yang pernah berguru padanya, yakni Brigjen Hassan Basry yang belakangan juga bergelar Pahlawan Nasional. Namun, organisasi ini kemudian dilebur menjadi ALRI DIVISI IV.
Idham pernah ditahan tentara NICA pada 27 Maret 1949. Alasannya karena berbagai tuduhan menjadi penasihat, pelatih, dan memimpin perang gerilya bersama rekan-rekannya.
Pada 1950, Idham resmi anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) yang awalnya akan diduduki oleh orang pilihan Dewan Daerah Banjar. Dalam tahun yang sama, ia sebagai anggota Parlemen Sementara (DPRS) 1950 sebagai wakil dari Partai Masyumi.
Pimpim NU Sejak 34 Tahun
Ketika NU memisahkan diri dari Partai Masyumi, Idham memutuskan terlibat di NU dan aktif melakukan konsolidasi ke dalam badan internal organisasi. Di antaranya seperti menjadi anggota Majelis Pertimbangan Politik PBNU. Tugasnya memberikan arahan dan analisa sebagai saran kepada PBNU.
Melansir situs resmi Layanan Dokumentasi Ulama dan Keislaman, Idham mewakili daerah Kalimantan menjadi anggota Parlemen Sementara Negara Kesatuan seiring jabatannya sampai tahun 1955. Selama masa kampanye Pemilu 1955, ia menjabat juga sebagai Ketua Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (Lapunu).
Hasil Pemilu 1955 pun keluar, NU berhasil meraih suara peringkat ketiga. Dengan perolehan suara yang cukup besar, NU mendapatkan jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Pada Muktamar NU ke21, Idham terpilih untuk Ketua Umum PBNU. Saat itu umurnya masih 34 tahun, terbilang muda. Jabatan berlangsung sampai 1984 dan menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU selama 28 tahun.
Moncer di Luar NU
Selain aktif di NU, ia berhasil meraih kursi Wakil Perdana Menteri di era kejayaan Presiden Soekarno tahun 1959. Berkat kemampuannya, dirinya ditarik sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Tak sampai setahun kemudian ia menjadi Wakil Ketua MPRS.
Di masa Orde Baru, karir politiknya tetap moncer. Ia dipercaya sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I. Di akhir 1970, Idham setelah wafatnya mendiang A.M Tambunan dipercaya memegang jabatan Menteri Sosial sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada tahun 1973.
Kembali ke NU, dengan jabatannya itu masih membawa partai ini ke dalam kancah perpolitikan Indonesia. Hanya saja pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. NU tergabung di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Idham dipercaya memimpin PPP yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR sampai 1977. Terakhir ia menjabat juga sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai 1983.
Idham Chalid juga punya gelar Honoris Causa (HC) dari Al-Azhar University, Kairo. Sumbangsihnya kepada negara dan kemampuannya berperan ganda dalam satu situasi: sebagai ulama dan politisi diakui oleh salah satu universitas terkenal di dunia itu.
FATHUR RACHMAN