Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, mengkritik pemerintah yang masih menampilkan data jumlah pasien PDP (pasien dalam pengawasan) dan ODP (orang dalam pemantauan) Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah, kata Slamet, semestinya tak memakai istilah ini lagi seiring melonjaknya kasus positif Covid-19 di Indonesia. “Di luar negeri, enggak ada istilah PDP dan ODP. Pasien yang diperiksa pagi, hasil swab-nya bisa keluar sore. Jadi, yang ada hanya istilah pasien terkonfirmasi positif atau negatif Covid-19,” ujar Slamet saat dihubungi Tempo pada Selasa, 21 April 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Data pemerintah per 21 April 2020, menunjukkan jumlah ODP Covid-19 di Indonesia mencapai 186.330 orang dan PDP sebanyak 16.763 orang.
Menurut Slamet, data pasien PDP dan ODP yang jumlahnya ribuan ini hanya memperlihatkan pemerintah yang lamban dalam uji spesimen. Sehingga, spesimen pasien PDP dan ODP menumpuk di laboratorium. Pasien harus menunggu lama untuk mengetahui terinfeksi Covid-19 atau tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, pasien meninggal sebelum hasil swab-nya diketahui.
Slamet mengatakan kelambanan ini merupakan persoalan serius. Pemerintah harus segera meningkatkan kapasitas pengujian sampel. Jika tidak, angka kematian karena Covid-19 semakin tinggi. “Hasil swab ODP dan PDP ini, yang jumlahnya lebih dari 200 ribu ini harus segera diselesaikan,” ujar dia.
Disamping itu, kata Slamet, tes swab massal Covid-19 menjadi hal mendesak yang mesti segera dilakukan. Pemerintah, kata dia, minimal harus mampu melakukan tes massal dengan jumlah 1,5 juta spesimen. Jumlah tersebut sekitar 0,6 persen dari total 267 juta penduduk Indonesia. “Ini cukup untuk melihat peta utuh persebaran Covid-19,” ujar dia.
Data yang diperoleh Tempo dari sumber pemerintahan, saat ini screening dan kapasitas deteksi Indonesia terhadap Covid-19 masih rendah, dengan proporsi kemampuan melakukan tes 0,1 per 1.000 penduduk. Sementara angka kematian tinggi yakni sekitar 8,8 persen.