AKHIRNYA peristiwa berdarah Haur Koneng (bambu kuning) bermuara ke pengadilan. Ketua Pengadilan Negeri Majalengka, Nasril, S.H., Sabtu pekan lalu mulai memeriksa empat terdakwa: Iis Aisyah, Almanah, Wawat Setiawati, dan Ade Khaeruddin. Mereka didakwa telah terlibat peristiwa berdarah ''Haur Koneng'' di penghujung bulan Juli silam. Itu terjadi di Dusun Gunung Seureuh di Lembah Sirna Galih di kaki Gunung Ciremai, sekitar 50 kilometer dari Majalengka, Jawa Barat. Suatu peristiwa yang menelan jiwa Abdul Manan pemimpin ''aliran sesat'' yang kemudian dilarang bersama tiga anak buahnya. Peristiwa itu juga mengakibatkan tewasnya Serka Sri Ayem, Kapolsek Bantarujek. Jaksa Soeharso menuduh Iis dan kawan-kawannya sengaja menyerang polisi. Suatu tindakan yang bisa membuat mereka meringkuk selama tujuh tahun di dalam penjara. Menurut rencana, pengadilan yang sama juga akan memeriksa terdakwa Sudarna dan Sar'o Akmaruddin, Selasa pekan ini. Mereka terkena pasal pengeroyokan, yang mengakibatkan Serka Sri Ayem tewas. Keduanya diancam hukuman penjara lima tahun. Yang menarik adalah terdakwa Iis Aisyah, yang baru berusia 15 tahun. Perempuan ini terlalu muda untuk diseret ke pengadilan. Tapi dialah istri almarhum Abdul Manan. Makanya acara persidangan Iis, yang berlangsung cepat, diharapkan akan segera mengungkap tabir di balik peristiwa Haur Koneng. Timbul beberapa keterangan yang berbeda. Pihak kepolisian beranggapan, latar belakang peristiwa ini bermula dari sikap kelompok Abdul Manan yang menolak untuk disensus. Namun Tim Pencari Fakta LBH Bandung menemukan bukti, pertengkaran Rohamid-Abdul Manan hanya berpangkal pada sengketa tanah seluas dua hektare. Suatu perselisihan yang sudah turun-temurun. Perlu dicatat, para terdakwa kerusuhan berdarah ini dikenai pasal pidana murni, bukan subversif, dan tidak ada kaitannya dengan aliran sesat. Di sini, kata Situmorang, Kepala Kejaksaan Negeri Majalengka, ''Yang diperiksa adalah tindakan kriminal Sudarna dan kelompok Abdul Manan. Bukan tentang serbuan petugas kepada mereka.'' Tapi LBH Bandung minta agar para petugas yang melakukan penembakan yang menewaskan empat orang juga ditindak. Kasus pidana ini bermula dari tindakan Sudarna. Anak buah Abdul Manan ini bersama dua rekannya telah bertengkar, lalu memukul Kepala Dusun Rohamid. Polisi pada mulanya berusaha menengahi sengketa itu, dengan memanggil Sudarno untuk diperiksa. Tapi, kabarnya telah dicegah, dan dilawan oleh Abdul Manan. Maka aparat kepolisian pun memutuskan untuk menangkap Sudarno dan kawan-kawannya. Masih menurut penuntut umum Soeharso, ketika itu, 28 Juli lalu, sejumlah aparat kepolisian datang ke padepokan Abdul Manan untuk menangkap Sudarno, Sar'o, dan Kaswana. Penangkapan ini dilakukan sehubungan dengan pengaduan Rohamid, Kepala Dusun Seureuh, yang mengaku dipukul Sudarno dan kawan-kawan. Waktu itu Serma Abdullah dan Koptu Suhendi menemui Abdul Manan, mohon izin untuk membawa tiga anak buahnya yang katanya telah mengeroyok Rohamid. Tapi, menurut jaksa, Abdul Manan merasa keberatan. ''Saya tidak akan serahkan anak buah saya,'' kata Abdul Manan seperti dikatakan jaksa. ''Daripada menyerahkan tiga anak buah, lebih baik perang mandi darah.'' Dua polisi itu pun, katanya, berusaha untuk menahan diri. Tapi ketika Abdul Manan menanyakan borgol dipinggang pak polisi, Sersan Abdullah pun menjawab, ''Ini untuk menangkap anak buah Pak Kiai.'' Yang terjadi kemudian adalah teriakan- teriakan Allahu akbar.... Massa pun terus merangsek maju. Bahkan mulai mengejar sepasukan polisi. Akibatnya, bentrokan pun tak terhindari. Penembakan di padepokan itu baru berhenti setelah satuan aparat polisi meninggalkan lokasi. Kapolsek Sri Ayem meninggal dan Sersan Dua Ismail luka parah. Esoknya terjadi ''pertempuran'' yang berat sebelah antara Kelompok Abdul Manan dengan 15 jemaah, lima di antaranya wanita dan dua anak-anak, melawan satuan petugas polisi Sabhara, satu satuan tempur (SST) Brimob, dan satuan tempur dari Yonif 321 Majalengka bersenjata lengkap. Disebut-sebut ada sekitar 60 pasukan bersenjata, dilengkapi dengan gas air mata, yang bergerak masuk ke padepokan Haur Koneng. Empat buah rumah terbakar habis. Sejumlah korban bergelimpangan, mati ditembak peluru petugas. Kejadian yang mengenaskan ini kabarnya meletus setelah kelompok Abdul Manan mengotot tak mau menyerahkan diri. Menanggapi dakwaan jaksa, Iis Aisyah dan kawan-kawan tidak memberikan komentar. Tapi mereka menyatakan menyesal atas terjadinya peristiwa berdarah Haur Koneng. Keempat terdakwa yang masih sangat muda itu tampak pasrah, menyerahkan perkara mereka kepada pengacaranya. Sementara itu penasihat hukum M. Maskun mengatakan kepada TEMPO bahwa dakwaan jaksa penuntut umum sudah benar. ''Tak ada bahan-bahan yang dapat dijadikan bukti untuk menyampaikan eksepsi,'' kata Pengacara Maskun. ''Ya, saya cuma akan berusaha bagaimana agar klien kami dihukum yang seringan-ringannya.'' Agus Basri dan Taufik Abriansyah (Majalengka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini