PEROMBAKAN besar-besaran. Itulah kalimat yang tepat, agaknya, jika melihat susunan DPP Golkar periode 1993-1998, dengan Ketua Umum Harmoko itu. Hanya delapan pengurus lama yang disisakan untuk duduk dalam kepengurusan sekarang. Selebihnya orang baru. ''Boleh dibilang tak ada kesinambungan antara era Wahono dengan era Harmoko,'' ujar seorang tokoh Golkar yang tak lagi terpilih. Soalnya, 8 pengurus lama yang masih dipertahankan di dalam tim Harmoko adalah orang yang selama ini tak berperan karena kurang dekat dengan bekas Ketua Umum Wahono. Ismael Hassan, misalnya, sekalipun di kepengurusan Wahono duduk sebagai salah seorang ketua, tapi hubungannya dengan Wahono amat dingin setelah ia terlibat dalam proyek ''doa politik''. Proyek ini untuk mendukung pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Wahono dan orang dekatnya gusar dengan langkah Ismael. Lalu, Gunariyah K. Mochdie dan Irsyad Sudiro, yang tampaknya akan berkibar di bawah Harmoko, dikenal sebagai orang pinggiran di zaman Wahono. Keduanya bahkan tersingkir dari pencalonan anggota DPR/MPR. Dalam Munas Golkar yang lalu-lalu, istilah kesinambungan dipakai untuk menunjukkan banyaknya pengurus lama yang masih terpakai. Dengan demikian diharapkan langkah kepengurusan lama akan dilanjutkan oleh yang baru. Sekadar contoh, di antara 45 orang yang duduk dalam kepengurusan Wahono, 18 orang di antaranya berasal dari pengurus DPP sebelumnya, pimpinan Sudharmono. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa sejak Koordinator Harian Dewan Pembina B.J. Habibie dengan beberapa tokoh Golkar lainnya biasa disebut Tim Enam, karena berjumlah enam orang menggodok nama-nama kader Golkar untuk dicalonkan dalam kepengurusan baru, sudah muncul dugaan bahwa orang-orang dekat Wahono akan tergusur. Bukan rahasia lagi, antara Wahono dan Habibie sering muncul ketidakcocokan. Walaupun begitu, atas desakan orang- orang dekatnya, Wahono masih berusaha ''menitipkan'' sedikitnya 15 pengurus lama di dalam kepengurusan Harmoko. Namun, upaya itu sia-sia. Maka yang menonjol dalam tim Harmoko ini adalan banyaknya orang-orang berusia muda. Mereka berasal dari ormas pendukung Golkar semacam FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri dan Purnawirawan ABRI) atau AMPI, semacam Indra Bambang Oetojo dan Rully Chairul Azwar. Yang termuda di antara mereka ialah Ais Ananta Said (AMPI). Putra mantan Ketua MA Ali Said itu kini baru berusia 33 tahun. Hal lain yang mencolok dalam kepengurusan kali ini adalah munculnya bos televisi swasta: Bambang Trihatmodjo (RCTI), Agung Laksono (AN Teve), dan Fahmi Alatas (TPI). Ada yang menghubungkan perekrutan itu untuk mengantisipasi semakin pentingnya media elektronik dalam politik di masa datang. Regenerasi Golkar juga berlangsung dalam arti sesungguhnya. Lihat saja munculnya Tantyo A.P. Sudharmono (anak mantan Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono), Bobby Suhardiman (anak tokoh SOKSI Suhardiman), dan Herry Alamsyah (anak dari pinisepuh Golkar Alamsjah Ratuperwiranegara). Kini soalnya, muncul kekhawatiran di kalangan Golkar, jalannya kepengurusan baru akan tersandung-sandung. Betulkah? ''Tak usah khawatir. Perubahan ini karena keinginan Pak Harto sebagai Ketua Dewan Pembina. Tentu dia sudah mempertimbangkannya,'' kata Amir Santoso, pengamat politik dari Universitas Indonesia. Ahmed Kurnia, Agus Basri, dan Sri Pudyastuty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini