SAMPAI berapa jauh sebuah dewan ulama melibatkan diri dalam
politik? Dalam hubungan permusuhan Iran dengan negara-negara
Arab (Irak dkk) sekarang ini, cukup menarik suara Rabithah 'Alam
Islami yang memberi reaksi terhadap isi sebuah pidato Khomeini.
Kata mereka: ucapan Khomeini itu "bertentangan dengan Islam,
dengan Qur'an dan Sunnah dan dengan prinsipprinsip yang sudah
disetujui dalam ijma' (konsensus) para ulama yang tidak
terbilang". Orang tahu bahwa Arab Saudi, tempat kantor Rabithah,
adalah pendukung Irak--dan tak salah bila suara seperti itu bisa
dipakai sebagai "senjata" di tengah udara perang.
Tapi yang diucapkan Khomeini memang kontroversial --di
telinga kita umumnya. Ia menyatakan, bahwa imam Syi'ah ke-12,
yang mereka percayai sebagai "gaib" dan akan muncul di belakang
zaman sebagai Imam Mahdi, seakan "lebih besar" dari Nabi Besar
Muhammad s.a.w. Sebab sang Mahdi "akan melaksanakan tugas yang
rasul-rasul Allah lainnya, termasuk Nabi Muhammad, tidak mampu
melaksanakannya." Semua nabi, katanya, telah datang untuk
merealisir prinsip-prinsip keadilan di dunia, "tetapi mereka
telah gagal"-"bahkan rasul tertinggi, Muhammad." Itu disiarkan
radio Teheran waktu itu.
Juru Selamat
Yang boleh menjadi pertanyaan ialah: mengapa
Rabithah--dengan tanda tangan Sekjennya, Ali Al-Harakan--merasa
perlu "membalas" pidato yang agaknya bukan ditujukan ke dunia
luar. Melainkan khusus dalam peringatan hari lahir sang imam
ke-12 itu. Rabithah sendiri mengirimkan teleks itu antara lain
kepada Moh. Natsir, yang juga direktur kantor Rabithah --dengan
permintaan agar disiarkan. Tapi tak dilakukan "Itu akan menambah
masalah saja bagi kita," katanya kepada TEMPO.
Karena itu, ketika kolumnis Mahbub Djunaedi misalnya,
lewat harian Kompas dua pekan lalu menghimbau Majlis Ulama atau
Prof. Hamka agar memberi tanggapan, Hamka sendiri malah
mengingatkan bahwa masalahnya sebenarnya "sudah 1.400 tahun
umurnya. Jadi bukan hal baru," katanya kepada TEMPO. Atau, dalam
bahasa Natsir: "Antara Syi'ah dan Sunnah selamanya tidak akan
sama."
Perbedaan pertama sudah jelas, memang bagi Syi'ah,
hampir-hampir, Islam bukanlah Islam kalau tidak menyandarkan
diri pada satu kepemimpinan yang "sah"--dan itulah imam-imam
keturunan Nabi. Sejarah Syi'ah sendiri menjelaskan, bagaimana
sebuah golongan politik pengikut Ali, menantu Nabi (dan syiah
berarti pengikut), di bawah penindasan berabad-abad akhirnya
berubah menjadi aliran agama--derjgan menjadikan politik
(kekuasaan) bagian inti dalam bangunan agama sqndiri. Dan dengan
membentuk sistem keimaman keturunan Ali yang juga keturunan abi.
Dan dambaan kepada juru selamat di tengah penindasan,
kepada seorang Mahdi atau Ratu Adil yang tak juga datang untuk
memberi merekakekuasan kemudian dimuarakan dalam diri imam
ke-12, Muhammad Al Muntazhar. Ia inilah yang diriwayatkan
menghilang ke "alam gaib"--hidup di sana, dan hanya akan kembali
pada suatu masa yang ditunggu-tunggu.
Sebagaimana figur Ali dan para imam keturunannya di
kalangan orang Syi'ah kemudian biasa diluklskan dengan aureole,
seperti gambar para santu Katolikl tidak mengherankan bila
bayangan Imam Mahdi pun menjadi tidak kepalang tanggung
besarnya. Dalam sebuahbuku yang memperkenalkan Syi'ah, misalnya,
karangan seorang ulama besar mereka, Allamah Sayyid Muhammad
Husayn Tabatabai, ada dicantumkan satu hadis yang tidak populer
di kalangan Sunni.
Di situ Nabi dikatakan menuturkan: "Sekiranya umur dunia
ini hanya tinggal sehari ini, Allah Ta'ala akan memanjangkan
hari ini--sampai Dia mengutus seseorang dari umatku dan dari
keluargaku. Namanya akan sama dengan namaku (Muhammad red). Dia
akan memenuhi bumi dengan persamaan dan keadilan, seperti selama
ini telah diisi dengan penindasan dan tirani." Majlis lain di
situ juga bahkan menuturkan bahwa sang imam nanti adalah makhluk
vang "berat bobotnya bagi seluruh langit dan bumi."
Sulitnya ialah, dunia hadis Syi'ah sendiri berbeda dengan
di kalangan Sunnah. Di kalangan Sunni, hadis merupakan bukti
terbesar dari semangat kritis keilmuan yang sangat cerewet.
Katakanlah tidak ada sebuah data yang tidak diuji --dan
abad-abad yang panjang diisi dengan pertikaian mengenai kuat dan
tidaknya sebuah hadis dari segi benarkah ia ucapan Nabi, dari
mana pun datangnya --dengan banyak konsensus yang kemudian
dicapai.
Bagi Syi'ah sebaliknya, sumber pertama riwayat Nabi harus
keturunan Nabi sendiri. Kepercayaan kepada merekalah syarat
pertama--sebelum penelitian. Bahkan tidak lazim dalam dunia
Syi'ah mengajar agama dengan mengemukakan alasan berdasar hadis
misalnya. Sebuah buku dari Ayatullah Syariatmadari misalnya,
Hidayatul 'Ibad, dibuka dengan sebuah pasal tentang wajibnya
taqlid (mengikut sambil percaya 100%) secara mutlak. Semangat
taqlid yang pernah "diserang" di Indonesia, belum apa-apanya
dibanding di kalangan Syi'ah --yang disertai legitimasi
keimanan.
Nama Umar
Perbedaan "cara berhadis" itu pula yang menyebabkan sejarah
awal Islami di mata Syi'ah berlainan dengan di mata Sunni.
Sunni mengajar memberi penghormatan tinggi kepada semua sahabat
Nabi--yang oleh Nabi sendiri disebut "bagai gemintang" --meski
diam-diam sebenarnya ada rasa ketidaksukaan kepada Mu'awiyah,
musuh Ali. Ali sendiri sebaliknya diberi sebutan lain dalam
doa. Bukan radlial Lahu'anh (semoga Allah merestuinya) seperti
kepada semua sahabat Nabi. Melainkan karramallahu wajhah
(semoga Allah tetap memuliakan wajahnya), yang dari segi lain
merupakan manifestasi ketidaksukaan para ulama kepada
dinasti-dinasti yang menghitamkan Ali dan para pengikut.
Sebaliknya, tak akan ada misalnya seorang Syi'ah yang
bernama Umar -bahkan, seorang dari sedikit mahasiswa Indonesia
di Qom, yang datang di sana dengan nama itu, menggantinya dengan
Ja'far, nama imam ke-6 Syi'ah.
Seorang anthropolog seperti Michael M.J. Fischer misalnya,
dalam satu bukunya tentang Iran, menyebut berbagai contoh betapa
"hitamnya" para sahabat Seperti Umar, Utsman, 'Aisyah, apalagi
Mu'awiyah, bahkan Abu Bakar -- di mata Syi'ah. Atau,
seperti kata Hamka "Kalau mereka menganggap Abubakar, Umar,
Utsman dan Mu'wiyah itu kafir bagaimana?" (lihat box).
Perbedaan cara menimbang hadis juga menyangkut masalah Imam
Mahdi, sudah tentu. Pertama, di kalangan Sunni, hanya hadis yang
diberitakan oleh "semua orarig, dari generasi ke generasi", yang
isinya boleh dicantumkan dalam materi keimanan. Seperti
hadis-hadis mengenai salat lima waktu, misalnya. Sedang hadis
Imam Mahdi tidak termasuk jenis itu. Ia masuk jenis aahaad -yang
diberitakan oleh satu per satu orang. Dan dalam jenis ini pun,
berita tentang Mahdi ternyata saling bertentangan --istilahnya
7nudltharib, seperti disimpulkan almarhum Syekh Mahmud ivaltut
yang terpndang dari Universitas Al Azhar. Dengan kata lain:
cukup disangsikan bahwa Nabi pernah memberikan ajaran itu.
Itulah sebabnya, seperti kata Hamka: "Kita tidak menjadikannya
suatu keyakinan."
Tunggu Dulu
Hamka sendiri, tentang Revolusi Iran, berkata "Kita sebagai
bangsa menghargainya -- karena dalam preambula UUD kita
disebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Hanya
saja, kalau masalah ajaran Syi'ahnyaj tunggu dulu!", kata ulama
yang dahulu diundang ke Iran untuk peringatan revolusi itu. Itu
pula sebabnya Hamza membenarkan tak adanya kemungkinan Iran duduk
dalam majlis seperti Rabithah Alam Islami, misalnya--setidaknya
dalam waktu dekat. "Bagaimana bisa diterima kalau mereka
mengatakan Saddam Husain kafir, dan gampang menuduh kafir?
Padahal menurut hadis, menuduh kafir itu bisa menyebabkan
kekafiran pada diri sendiri."
Hamka tentu saja tidak menganggap pernyataan Rabithah ada
berbau politik. "Pernyataan saya sendiri persis sama," katanya,
"meskipun lebih lunak." Dan iapun merasa cukup menjawab tulisan
Mahbub di tempat yang sama, Kompas minggu lalu.
Tapi bagi Natsir, pernyataan Rabithah sebenarnya tidak
begitu keras--dibanding beberapa reaksi dari Maroko,Mesir atau
lainnya. "Sebab mereka itu bukan ulama politik," katanya. Tapi
Natsir menyatakan, sebagaimana pernyataan Rabithah, pidato
Khomeini sendiri bukan didasari motif politik. Semuanya tulus
dari masing-masing keyakinannya.
Syi'ah betapapun sebuah umat yang besar, ia sudah satu
kenyataan, dan sungguh lucu bila misalnya orang akan menyatakan
"kafir" kepadanya. Tidak juga dalam pernyataan Rabithah. Berbeda
dengan paham atau sekte kecil-Ahmadiyah Qadian misalnya -- yang
oleh Rabithah dirasa perlu untuk dinyatakan "berada di luar
Islam". Mereka hanya tidak menyebut "kafir". Yang diinginkan
barangkali, apa daya, hanya "tidak menambah jumlah yang
berheda." Dan itulah situasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini