Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Iman Mahdi Model Iran

Reaksi dari rabithah 'alam islam' atas ucapan khomeini yang menyatakan bahwa imam syi'ah ke-12 akan muncul sebagai imam mahdi & lebih besar dari nabi muhammad saw dari indonesia.(ag)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI berapa jauh sebuah dewan ulama melibatkan diri dalam politik? Dalam hubungan permusuhan Iran dengan negara-negara Arab (Irak dkk) sekarang ini, cukup menarik suara Rabithah 'Alam Islami yang memberi reaksi terhadap isi sebuah pidato Khomeini. Kata mereka: ucapan Khomeini itu "bertentangan dengan Islam, dengan Qur'an dan Sunnah dan dengan prinsipprinsip yang sudah disetujui dalam ijma' (konsensus) para ulama yang tidak terbilang". Orang tahu bahwa Arab Saudi, tempat kantor Rabithah, adalah pendukung Irak--dan tak salah bila suara seperti itu bisa dipakai sebagai "senjata" di tengah udara perang. Tapi yang diucapkan Khomeini memang kontroversial --di telinga kita umumnya. Ia menyatakan, bahwa imam Syi'ah ke-12, yang mereka percayai sebagai "gaib" dan akan muncul di belakang zaman sebagai Imam Mahdi, seakan "lebih besar" dari Nabi Besar Muhammad s.a.w. Sebab sang Mahdi "akan melaksanakan tugas yang rasul-rasul Allah lainnya, termasuk Nabi Muhammad, tidak mampu melaksanakannya." Semua nabi, katanya, telah datang untuk merealisir prinsip-prinsip keadilan di dunia, "tetapi mereka telah gagal"-"bahkan rasul tertinggi, Muhammad." Itu disiarkan radio Teheran waktu itu. Juru Selamat Yang boleh menjadi pertanyaan ialah: mengapa Rabithah--dengan tanda tangan Sekjennya, Ali Al-Harakan--merasa perlu "membalas" pidato yang agaknya bukan ditujukan ke dunia luar. Melainkan khusus dalam peringatan hari lahir sang imam ke-12 itu. Rabithah sendiri mengirimkan teleks itu antara lain kepada Moh. Natsir, yang juga direktur kantor Rabithah --dengan permintaan agar disiarkan. Tapi tak dilakukan "Itu akan menambah masalah saja bagi kita," katanya kepada TEMPO. Karena itu, ketika kolumnis Mahbub Djunaedi misalnya, lewat harian Kompas dua pekan lalu menghimbau Majlis Ulama atau Prof. Hamka agar memberi tanggapan, Hamka sendiri malah mengingatkan bahwa masalahnya sebenarnya "sudah 1.400 tahun umurnya. Jadi bukan hal baru," katanya kepada TEMPO. Atau, dalam bahasa Natsir: "Antara Syi'ah dan Sunnah selamanya tidak akan sama." Perbedaan pertama sudah jelas, memang bagi Syi'ah, hampir-hampir, Islam bukanlah Islam kalau tidak menyandarkan diri pada satu kepemimpinan yang "sah"--dan itulah imam-imam keturunan Nabi. Sejarah Syi'ah sendiri menjelaskan, bagaimana sebuah golongan politik pengikut Ali, menantu Nabi (dan syiah berarti pengikut), di bawah penindasan berabad-abad akhirnya berubah menjadi aliran agama--derjgan menjadikan politik (kekuasaan) bagian inti dalam bangunan agama sqndiri. Dan dengan membentuk sistem keimaman keturunan Ali yang juga keturunan abi. Dan dambaan kepada juru selamat di tengah penindasan, kepada seorang Mahdi atau Ratu Adil yang tak juga datang untuk memberi merekakekuasan kemudian dimuarakan dalam diri imam ke-12, Muhammad Al Muntazhar. Ia inilah yang diriwayatkan menghilang ke "alam gaib"--hidup di sana, dan hanya akan kembali pada suatu masa yang ditunggu-tunggu. Sebagaimana figur Ali dan para imam keturunannya di kalangan orang Syi'ah kemudian biasa diluklskan dengan aureole, seperti gambar para santu Katolikl tidak mengherankan bila bayangan Imam Mahdi pun menjadi tidak kepalang tanggung besarnya. Dalam sebuahbuku yang memperkenalkan Syi'ah, misalnya, karangan seorang ulama besar mereka, Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai, ada dicantumkan satu hadis yang tidak populer di kalangan Sunni. Di situ Nabi dikatakan menuturkan: "Sekiranya umur dunia ini hanya tinggal sehari ini, Allah Ta'ala akan memanjangkan hari ini--sampai Dia mengutus seseorang dari umatku dan dari keluargaku. Namanya akan sama dengan namaku (Muhammad red). Dia akan memenuhi bumi dengan persamaan dan keadilan, seperti selama ini telah diisi dengan penindasan dan tirani." Majlis lain di situ juga bahkan menuturkan bahwa sang imam nanti adalah makhluk vang "berat bobotnya bagi seluruh langit dan bumi." Sulitnya ialah, dunia hadis Syi'ah sendiri berbeda dengan di kalangan Sunnah. Di kalangan Sunni, hadis merupakan bukti terbesar dari semangat kritis keilmuan yang sangat cerewet. Katakanlah tidak ada sebuah data yang tidak diuji --dan abad-abad yang panjang diisi dengan pertikaian mengenai kuat dan tidaknya sebuah hadis dari segi benarkah ia ucapan Nabi, dari mana pun datangnya --dengan banyak konsensus yang kemudian dicapai. Bagi Syi'ah sebaliknya, sumber pertama riwayat Nabi harus keturunan Nabi sendiri. Kepercayaan kepada merekalah syarat pertama--sebelum penelitian. Bahkan tidak lazim dalam dunia Syi'ah mengajar agama dengan mengemukakan alasan berdasar hadis misalnya. Sebuah buku dari Ayatullah Syariatmadari misalnya, Hidayatul 'Ibad, dibuka dengan sebuah pasal tentang wajibnya taqlid (mengikut sambil percaya 100%) secara mutlak. Semangat taqlid yang pernah "diserang" di Indonesia, belum apa-apanya dibanding di kalangan Syi'ah --yang disertai legitimasi keimanan. Nama Umar Perbedaan "cara berhadis" itu pula yang menyebabkan sejarah awal Islami di mata Syi'ah berlainan dengan di mata Sunni. Sunni mengajar memberi penghormatan tinggi kepada semua sahabat Nabi--yang oleh Nabi sendiri disebut "bagai gemintang" --meski diam-diam sebenarnya ada rasa ketidaksukaan kepada Mu'awiyah, musuh Ali. Ali sendiri sebaliknya diberi sebutan lain dalam doa. Bukan radlial Lahu'anh (semoga Allah merestuinya) seperti kepada semua sahabat Nabi. Melainkan karramallahu wajhah (semoga Allah tetap memuliakan wajahnya), yang dari segi lain merupakan manifestasi ketidaksukaan para ulama kepada dinasti-dinasti yang menghitamkan Ali dan para pengikut. Sebaliknya, tak akan ada misalnya seorang Syi'ah yang bernama Umar -bahkan, seorang dari sedikit mahasiswa Indonesia di Qom, yang datang di sana dengan nama itu, menggantinya dengan Ja'far, nama imam ke-6 Syi'ah. Seorang anthropolog seperti Michael M.J. Fischer misalnya, dalam satu bukunya tentang Iran, menyebut berbagai contoh betapa "hitamnya" para sahabat Seperti Umar, Utsman, 'Aisyah, apalagi Mu'awiyah, bahkan Abu Bakar -- di mata Syi'ah. Atau, seperti kata Hamka "Kalau mereka menganggap Abubakar, Umar, Utsman dan Mu'wiyah itu kafir bagaimana?" (lihat box). Perbedaan cara menimbang hadis juga menyangkut masalah Imam Mahdi, sudah tentu. Pertama, di kalangan Sunni, hanya hadis yang diberitakan oleh "semua orarig, dari generasi ke generasi", yang isinya boleh dicantumkan dalam materi keimanan. Seperti hadis-hadis mengenai salat lima waktu, misalnya. Sedang hadis Imam Mahdi tidak termasuk jenis itu. Ia masuk jenis aahaad -yang diberitakan oleh satu per satu orang. Dan dalam jenis ini pun, berita tentang Mahdi ternyata saling bertentangan --istilahnya 7nudltharib, seperti disimpulkan almarhum Syekh Mahmud ivaltut yang terpndang dari Universitas Al Azhar. Dengan kata lain: cukup disangsikan bahwa Nabi pernah memberikan ajaran itu. Itulah sebabnya, seperti kata Hamka: "Kita tidak menjadikannya suatu keyakinan." Tunggu Dulu Hamka sendiri, tentang Revolusi Iran, berkata "Kita sebagai bangsa menghargainya -- karena dalam preambula UUD kita disebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Hanya saja, kalau masalah ajaran Syi'ahnyaj tunggu dulu!", kata ulama yang dahulu diundang ke Iran untuk peringatan revolusi itu. Itu pula sebabnya Hamza membenarkan tak adanya kemungkinan Iran duduk dalam majlis seperti Rabithah Alam Islami, misalnya--setidaknya dalam waktu dekat. "Bagaimana bisa diterima kalau mereka mengatakan Saddam Husain kafir, dan gampang menuduh kafir? Padahal menurut hadis, menuduh kafir itu bisa menyebabkan kekafiran pada diri sendiri." Hamka tentu saja tidak menganggap pernyataan Rabithah ada berbau politik. "Pernyataan saya sendiri persis sama," katanya, "meskipun lebih lunak." Dan iapun merasa cukup menjawab tulisan Mahbub di tempat yang sama, Kompas minggu lalu. Tapi bagi Natsir, pernyataan Rabithah sebenarnya tidak begitu keras--dibanding beberapa reaksi dari Maroko,Mesir atau lainnya. "Sebab mereka itu bukan ulama politik," katanya. Tapi Natsir menyatakan, sebagaimana pernyataan Rabithah, pidato Khomeini sendiri bukan didasari motif politik. Semuanya tulus dari masing-masing keyakinannya. Syi'ah betapapun sebuah umat yang besar, ia sudah satu kenyataan, dan sungguh lucu bila misalnya orang akan menyatakan "kafir" kepadanya. Tidak juga dalam pernyataan Rabithah. Berbeda dengan paham atau sekte kecil-Ahmadiyah Qadian misalnya -- yang oleh Rabithah dirasa perlu untuk dinyatakan "berada di luar Islam". Mereka hanya tidak menyebut "kafir". Yang diinginkan barangkali, apa daya, hanya "tidak menambah jumlah yang berheda." Dan itulah situasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus