Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Siapa berani menolak gp ?

Masalah pemutaran film penerangan 'gelora pembangunan' di bioskop-bioskop. direktur ppfn, drs. gufron dwipayana menganggap pengusaha terlalu komersil, tidak mau memutar film tersebut. (fl)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELORA Pembangunan merupakan film pendek. Dengan masa putar sekitar sepuluh menit, film dokumentasi hasil Pusat Produksi Film Negara itu dibuat secara serial. Dalam berbagai macam cerita, GP biasanya menonjolkan soal pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, perekonomian dan kesenian. Beberapa tahun lalu, sebelum suatu film cerita diputar, bioskop di Jakarta selalu memutar lebih dulu GP ini. Tapi pekan lalu -- sesudah dengar pendapat dengan Komisi I DPR--Direktur PPFN, Drs. Gufron Dwipayana, mengeluh kepada pers. Kini banyak bioskop di Jakarta tidak lagi memutar GP. Ia menuduh bioskop di Jakarta cenderung bersikap komersial deslgan mengutamakan penampilan film iklan. Untuk membuktikan bahwa kualitas GP cukup memadai, Dwipayana kemudian memutarkan film Makam Bung Karno, kisah sejak pemimpin besar itu membacakan Proklamasi sampai saat pemugaran makamnya. Wajar bila PPFN agak marah melihat sikap pengusaha bioskop. Kemudian dengan nada kesal Dwipayana mengecam "Pengusaha bioskop tak punya rasa tanggung jawab nasional." Tapi benarkah bioskop menolak memutar GP ? Aries Suryaatmadja, pimpinan Djakarta Theater, dan Rudy Lukito, pimpinan New Garden Hall, Jakarta, dengan tegas membantah tuduhan itu. Mereka merasa tak pernah menolak kiriman PPFN. "Mana berani kami menolak. Kami sudah diwajibkan memutarnya sejak lama," kata Suryaatmadja. "Apa lagi film itu dimaksudkan untuk penerangan kepada masyarakat." Marius Nizart, Direksi PT Suptan Film, yang menguasai 18 bioskop jalur mandarin, juga mengemukakan pendapat serupa. "Bioskop mana yang enggan memutar film Gelora Pembangunan, tunjuk saja hidungdya biar jelas," katanya. Persoalannya ialah, menurut ketiga pimpinan bioskop itu, sudah sejak lama PPFN tidak mengirimkan film dokumentasinya. Djakarta Theater, misalnya, mengaku sudah sekitar satu tahun tak petnah lagi menerimanya. New Garden Hall tak pernah lagi menerimanya malah sejak dua tahun lalu. "Saya berani dikonfrontir kalau memang saya atau bioskop anggota grup kami pernah menyatakan menolak memutar film Gelora Pembangunan," ungkap Rudy. "Bila filmnya ada, tak ada alasan bagi kami urltuk tidak memutarnya," tambah Suryaatmadja. Kenyataan itu diakui Dwipayana. Karena persediaan rekaman (copy) terbatas, maka GP yang ada lebih banyak diedarkan di daerah. Bioskop sesungguhnya tidak akan rugi bila harus memutarnya--hanya 10 menit. Toh selama ini, mereka yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) sudah sering memutar slide penerangan-seperti ketertiban umum, kebersihan, bahaya penyalah gunaan narkotik dan berbagai pesan pemerintah lain: Acara itu paling lama menelan waktu sekitar l 5 menit. Bahkan pengusaha bioskop sering berkorban membuatkan slidenya, sementara si pemesan hanya menyodorkan teksnya. Menurut John Tjasmadi, Ketua GPBSI, produksi PPFN itu sebagian besar hanya berupa film berita. Dan biasanya tak jauh berbeda dalam isi dan penyajian film berita TVRI. "Inilah kelemahannya," ungkap Tjasmadi. "Seharusnya PPFN menyajikan dari sudut yang lain, walaupun inti ceritanya sama." Untuk konsumen masyarakat kota, sang ketua menyarankan agar PPFN membuat film yang bersifat human interest. Misalnya, tentang lingkungan yang sehat di kota dan masalah kependudukan. "Tapi itu harus dibuat demikian menarik, sehingga penonton akan merasa senang melihatnya." Tjasmadi juga menyarankan agar PPFN menyediakan sedikitnya 52 rekaman untuk setiap judul film dokumentasinya supaya bioskop tidak berebut untuk memutarnya kelak. Langkah ke arah itu memang sudah dipikirkan Dwipayana. Dengan anggaran belanja lebih besar, ia berniat membuat setiap judul film GP dengan 100 rekaman. Diperhitungkannya setiap judul film itu akan menelan biaya sekitar Rp 5,5 juta. "Baik materi maupun penyajiannya akan lebih diperkaya dan diperbaiki, " kata Dwipayana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus