GELORA Pembangunan merupakan film pendek. Dengan masa putar
sekitar sepuluh menit, film dokumentasi hasil Pusat Produksi
Film Negara itu dibuat secara serial. Dalam berbagai macam
cerita, GP biasanya menonjolkan soal pembangunan di bidang
pendidikan, pertanian, perekonomian dan kesenian. Beberapa tahun
lalu, sebelum suatu film cerita diputar, bioskop di Jakarta
selalu memutar lebih dulu GP ini.
Tapi pekan lalu -- sesudah dengar pendapat dengan Komisi I
DPR--Direktur PPFN, Drs. Gufron Dwipayana, mengeluh kepada pers.
Kini banyak bioskop di Jakarta tidak lagi memutar GP. Ia menuduh
bioskop di Jakarta cenderung bersikap komersial deslgan
mengutamakan penampilan film iklan. Untuk membuktikan bahwa
kualitas GP cukup memadai, Dwipayana kemudian memutarkan film
Makam Bung Karno, kisah sejak pemimpin besar itu membacakan
Proklamasi sampai saat pemugaran makamnya.
Wajar bila PPFN agak marah melihat sikap pengusaha bioskop.
Kemudian dengan nada kesal Dwipayana mengecam "Pengusaha bioskop
tak punya rasa tanggung jawab nasional."
Tapi benarkah bioskop menolak memutar GP ? Aries Suryaatmadja,
pimpinan Djakarta Theater, dan Rudy Lukito, pimpinan New Garden
Hall, Jakarta, dengan tegas membantah tuduhan itu. Mereka
merasa tak pernah menolak kiriman PPFN. "Mana berani kami
menolak. Kami sudah diwajibkan memutarnya sejak lama," kata
Suryaatmadja. "Apa lagi film itu dimaksudkan untuk penerangan
kepada masyarakat."
Marius Nizart, Direksi PT Suptan Film, yang menguasai 18
bioskop jalur mandarin, juga mengemukakan pendapat serupa.
"Bioskop mana yang enggan memutar film Gelora Pembangunan,
tunjuk saja hidungdya biar jelas," katanya.
Persoalannya ialah, menurut ketiga pimpinan bioskop itu,
sudah sejak lama PPFN tidak mengirimkan film dokumentasinya.
Djakarta Theater, misalnya, mengaku sudah sekitar satu tahun tak
petnah lagi menerimanya. New Garden Hall tak pernah lagi
menerimanya malah sejak dua tahun lalu.
"Saya berani dikonfrontir kalau memang saya atau bioskop
anggota grup kami pernah menyatakan menolak memutar film Gelora
Pembangunan," ungkap Rudy. "Bila filmnya ada, tak ada alasan
bagi kami urltuk tidak memutarnya," tambah Suryaatmadja.
Kenyataan itu diakui Dwipayana. Karena persediaan rekaman
(copy) terbatas, maka GP yang ada lebih banyak diedarkan di
daerah.
Bioskop sesungguhnya tidak akan rugi bila harus
memutarnya--hanya 10 menit. Toh selama ini, mereka yang
tergabung dalam Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia
(GPBSI) sudah sering memutar slide penerangan-seperti ketertiban
umum, kebersihan, bahaya penyalah gunaan narkotik dan berbagai
pesan pemerintah lain: Acara itu paling lama menelan waktu
sekitar l 5 menit. Bahkan pengusaha bioskop sering berkorban
membuatkan slidenya, sementara si pemesan hanya menyodorkan
teksnya.
Menurut John Tjasmadi, Ketua GPBSI, produksi PPFN itu
sebagian besar hanya berupa film berita. Dan biasanya tak jauh
berbeda dalam isi dan penyajian film berita TVRI. "Inilah
kelemahannya," ungkap Tjasmadi. "Seharusnya PPFN menyajikan dari
sudut yang lain, walaupun inti ceritanya sama."
Untuk konsumen masyarakat kota, sang ketua menyarankan agar
PPFN membuat film yang bersifat human interest. Misalnya,
tentang lingkungan yang sehat di kota dan masalah kependudukan.
"Tapi itu harus dibuat demikian menarik, sehingga penonton akan
merasa senang melihatnya." Tjasmadi juga menyarankan agar PPFN
menyediakan sedikitnya 52 rekaman untuk setiap judul film
dokumentasinya supaya bioskop tidak berebut untuk memutarnya
kelak.
Langkah ke arah itu memang sudah dipikirkan Dwipayana.
Dengan anggaran belanja lebih besar, ia berniat membuat setiap
judul film GP dengan 100 rekaman. Diperhitungkannya setiap judul
film itu akan menelan biaya sekitar Rp 5,5 juta. "Baik materi
maupun penyajiannya akan lebih diperkaya dan diperbaiki, " kata
Dwipayana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini