BERBEDA dengan Sunni, golongan Syi'ah --yang dipimpin para
keturunan Nabi--menganggap pemerintahan sepeninggal Nabi
seharusnya dipegang keturunan beliau sendiri. Yakni lewat Ali,
menantu, pernah "anak angkat" Nabi, putra paman Nabi (Abu
Thalib) yang dulu juga pernah rnemelihara beliau. Buku Fischer
misalnya, profesor pembantu di Harvard, AS, Iran, from Religious
dispute to Revolution, 1980, yang bersumber pada pengumpulan
bahan sebelum revolusi, juga tak lupa menggambarkan prinsip itu
lewat berbagai penafsiran peristiwa model Syi'ah.
Nabi wafat 11 Hijri--dan Ali-lah satu-satunya orang yang
beliau izinkan menyaksikan ketelanJangan ienazah beliau, dalam
upacara pemandian dan pengurusannya bersama enam sahabat lain.
Sementara itu Abubakar dan Umar sibuk mengadakan pemilihan
kepala pemerintahan di masjid. Atas "sponsor" Umar, Abubakar
terpilih: sahabat senior yang dahulu menemani Nabi dalam hljrah,
mertua Nabi (ayah 'Aisyah) dan orang yang disuruh Nabi
menggantikan beliau menjadi imam sembahyang aktu beliau sakit.
Tanggapan Ali ia tak juga mau berbai'at, dan hanya mundur
dari "kegiatan politik" agar tidak mengacaukan umat --meskl
bersedia memberl pertimbangan bila diminta.
Umar tak puas pada sikap Ali: ia datang ke rumah Ali,
menuntut Ali mengucapkan prasetia kepada khalifah terpilih di
depan umum. Umar membuka pintu dengan kasar, dan daun pintu pun
mengenai tubuh Fatimah dan mematahkan tulang rusuknya. Fatimah,
yang sedang mengandung cucu Nabi (Muhsin), kemudian melahirkan
bayi yang mati. Ini semua menurut Syi'ah.
Abubakar sendiri juga merugikan keluarga Nabi khalifah ini
tidak mengizinkan Fatimah mewarisi kebun ayahnya di Fadak,
dengan alasan kebun itu harta umum yang dipegang Nabi untuk
kepentingan umat. Dalam penelitian hadis di kalangan Sunni
memang tercantum sebuah ketentuan Nabi: keluarga Nabi tidak
mewarisi, di samping tidak menerima sedekah--kecuali hadiah.
Abubakar sebenarnya "tidaklah jahat benar", menurut Syi'ah.
Hanya ia "tidajk becus memimpin". Bahkan tidak bisa ingat berapa
persen bagian seorang nenek dalam warisan, menurut hukum. Dia
juga menghukum seseorang dan melepaskan orang lain, untuk
kesalahan yang sama.
Tapi Umar lebih-lebih lagi. Dia misalnya melarang beberapa
hal yang diizinkan Qur'an kawin berjangka (mut'ah), dan "pergi
ke Mekah di luar mumusim haji". Umar-lah yang memamerkan
kemurahan hati" dengan memotong-motong selembar karpet Persia
yang mahal dan membagi-bagikannya. Dia membagikan harta dari
baitul mal (kas sosial) secara tak adil, dan "menumbuhkan
keresahan sosial". Dan, sebelum meninggal, ia menunjuk enam
orang untuk memilih khalifah sepeninggalnya -- dan yang terakhir
ini memang benar.
Dalam pemilihan itu dua kandidat lulus Ali dan Utsman. Tapi
Utsmanlah yang terpilih --sebab ia menyatakan bersedia tunduk
kepada tradisi dua khalifah pendahulunya, selain kepada Qur'an
dan tradisi Nabi. Sedang Ali "hanya mau tunduk kepada mereka
berdua sepanjang tidak menyimpang dari Qur'an dan sunnah
Nabi," menurut Syi'ah.
Dan, apa yang diperbuat Utsman? Ia, tokoh baik hati yang
sudah lebih 80 tahun itu, mengangkat para pejabat dari marganya
sendiri--dituliskan di kalangan Sunni. Tapi Syi'ah lebih suka
menyebut hal lain--menurut versi mereka. Utsman mendapat
pengaduan dari dua orang prajurit, dan khalifah itu menjanjikan
untuk merehabilitir mereka. Tapi akhirnya para prajurit itu
tahu: sang khalifah memerintahkan untuk menghukum mati mereka.
Dan mereka inilah yang dikatakan membunuh Utsman dalam huru-hara
massa yang kemudian mengangkat Ali sebagai khalifah pengganti.
Ali sudah tentu "tidak bisa" mengambil tindakan tegas
terhadap para pembunuh yang rupanya disokong massa itu. Karena
itu pula 'Aisyah, istri Nabi dan mertua tiri Ali, setelah gagal
menghimbau Ali untuk ditegakkannya keadilan, bangkit melawan
sangkhalifah dalam perang yang disebut Pertempuran Unta ('Aisyah
memimpin di atas unta). Bagi Syi'ah, inilah "segi hitam"
"isyah--yang akhirnya kalah dan disuruh pulang itu.
Nyanyian Imam Ali
Sejarah bagi Syi 'ah memang bisa lebih dramatis--dan
"indah". Misalnya, mereka menuturkan bagaimana Ali berjalan di
atap rumahnya yang datar itu, di malam sebelum ia dibunuh
seperti yang sudah diketahuinya, dan menyanyikan muajat ke arah
langit dan bintang-bintang. Bagaimana ia berdialog dengan orang
yang nantinya akan menjadi algojonya. Bagaimana ia berseru "Oh,
Tuhan, alangkah beruntungnya aku!" waktu ia ditikam, dan
menyerukan untuk mengampuni si pembunuh --yang akhirnya toh
dihukum mati. Berbeda dengan Umar, yang menurut mereka, ketika
dibunuh, berteriak: "Tangkap orang Majusi itu!"
Dalam versi Syi'ah, Umar dibunuh oleh seorang budak yang
kecewa kepadanya setelah mengadukan ketidakadilan majikannya dan
tidak mendapat tanggapan yang patut. Ia dibunuh dirumah
penggilingan (menurut penelitian Sunni Umar ditikam waktu
mengimami salat, dan pembunuhnya berhasil dipegang). Waktu itu
Ali sedang duduk di luar tempat penggilingan. Dan ia melihat
Firuz, si pembunuh, lari. Ali lantas bangkit dan berpindah
duduk. Lalu waktu orang-orang yang mengejar si pembunuh melihat
Ali dan bertmya, Ali menjawab: "Sejak aku durluk. persis di
sini, aku tidak melihat" . . .
Firuz lalu dinasihati Ali untuk pulang saja ke Iran dan kawin.
Dengan "doa khusus" imam itu, Firuz "terbang sekejap mata" ke
tanah asalnya. Sehingga waktu pihak keamanan dari Madinah
mencarinya --setelah perjalanan beberapa bulan--orang di sana
bisa menjawab: "Memang ada orang dengan nama itu. Tapi ia bukan
bujangan: sudah kawin, malah sudah berbulan-bulan pulang." Firuz
selamat.
Moral cerita itu, seperti juga dikatakan Fischer, agaknya
boleh diwakili oleh ucapan pujangga mereka, Sa'di: "Dusta yang
diucapkan demi kebaikan dan kalem, lebih baik dari kebenaran
yang bisa mendatangkan bencana."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini