Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sejarah Di Mata Syiah

Khomeini menyatakan, imam mahdi lebih besar dari nabi muhammad, rabitha marah, mahbub djunaidi menginginkan majelis ulama bicara. (ag)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBEDA dengan Sunni, golongan Syi'ah --yang dipimpin para keturunan Nabi--menganggap pemerintahan sepeninggal Nabi seharusnya dipegang keturunan beliau sendiri. Yakni lewat Ali, menantu, pernah "anak angkat" Nabi, putra paman Nabi (Abu Thalib) yang dulu juga pernah rnemelihara beliau. Buku Fischer misalnya, profesor pembantu di Harvard, AS, Iran, from Religious dispute to Revolution, 1980, yang bersumber pada pengumpulan bahan sebelum revolusi, juga tak lupa menggambarkan prinsip itu lewat berbagai penafsiran peristiwa model Syi'ah. Nabi wafat 11 Hijri--dan Ali-lah satu-satunya orang yang beliau izinkan menyaksikan ketelanJangan ienazah beliau, dalam upacara pemandian dan pengurusannya bersama enam sahabat lain. Sementara itu Abubakar dan Umar sibuk mengadakan pemilihan kepala pemerintahan di masjid. Atas "sponsor" Umar, Abubakar terpilih: sahabat senior yang dahulu menemani Nabi dalam hljrah, mertua Nabi (ayah 'Aisyah) dan orang yang disuruh Nabi menggantikan beliau menjadi imam sembahyang aktu beliau sakit. Tanggapan Ali ia tak juga mau berbai'at, dan hanya mundur dari "kegiatan politik" agar tidak mengacaukan umat --meskl bersedia memberl pertimbangan bila diminta. Umar tak puas pada sikap Ali: ia datang ke rumah Ali, menuntut Ali mengucapkan prasetia kepada khalifah terpilih di depan umum. Umar membuka pintu dengan kasar, dan daun pintu pun mengenai tubuh Fatimah dan mematahkan tulang rusuknya. Fatimah, yang sedang mengandung cucu Nabi (Muhsin), kemudian melahirkan bayi yang mati. Ini semua menurut Syi'ah. Abubakar sendiri juga merugikan keluarga Nabi khalifah ini tidak mengizinkan Fatimah mewarisi kebun ayahnya di Fadak, dengan alasan kebun itu harta umum yang dipegang Nabi untuk kepentingan umat. Dalam penelitian hadis di kalangan Sunni memang tercantum sebuah ketentuan Nabi: keluarga Nabi tidak mewarisi, di samping tidak menerima sedekah--kecuali hadiah. Abubakar sebenarnya "tidaklah jahat benar", menurut Syi'ah. Hanya ia "tidajk becus memimpin". Bahkan tidak bisa ingat berapa persen bagian seorang nenek dalam warisan, menurut hukum. Dia juga menghukum seseorang dan melepaskan orang lain, untuk kesalahan yang sama. Tapi Umar lebih-lebih lagi. Dia misalnya melarang beberapa hal yang diizinkan Qur'an kawin berjangka (mut'ah), dan "pergi ke Mekah di luar mumusim haji". Umar-lah yang memamerkan kemurahan hati" dengan memotong-motong selembar karpet Persia yang mahal dan membagi-bagikannya. Dia membagikan harta dari baitul mal (kas sosial) secara tak adil, dan "menumbuhkan keresahan sosial". Dan, sebelum meninggal, ia menunjuk enam orang untuk memilih khalifah sepeninggalnya -- dan yang terakhir ini memang benar. Dalam pemilihan itu dua kandidat lulus Ali dan Utsman. Tapi Utsmanlah yang terpilih --sebab ia menyatakan bersedia tunduk kepada tradisi dua khalifah pendahulunya, selain kepada Qur'an dan tradisi Nabi. Sedang Ali "hanya mau tunduk kepada mereka berdua sepanjang tidak menyimpang dari Qur'an dan sunnah Nabi," menurut Syi'ah. Dan, apa yang diperbuat Utsman? Ia, tokoh baik hati yang sudah lebih 80 tahun itu, mengangkat para pejabat dari marganya sendiri--dituliskan di kalangan Sunni. Tapi Syi'ah lebih suka menyebut hal lain--menurut versi mereka. Utsman mendapat pengaduan dari dua orang prajurit, dan khalifah itu menjanjikan untuk merehabilitir mereka. Tapi akhirnya para prajurit itu tahu: sang khalifah memerintahkan untuk menghukum mati mereka. Dan mereka inilah yang dikatakan membunuh Utsman dalam huru-hara massa yang kemudian mengangkat Ali sebagai khalifah pengganti. Ali sudah tentu "tidak bisa" mengambil tindakan tegas terhadap para pembunuh yang rupanya disokong massa itu. Karena itu pula 'Aisyah, istri Nabi dan mertua tiri Ali, setelah gagal menghimbau Ali untuk ditegakkannya keadilan, bangkit melawan sangkhalifah dalam perang yang disebut Pertempuran Unta ('Aisyah memimpin di atas unta). Bagi Syi'ah, inilah "segi hitam" "isyah--yang akhirnya kalah dan disuruh pulang itu. Nyanyian Imam Ali Sejarah bagi Syi 'ah memang bisa lebih dramatis--dan "indah". Misalnya, mereka menuturkan bagaimana Ali berjalan di atap rumahnya yang datar itu, di malam sebelum ia dibunuh seperti yang sudah diketahuinya, dan menyanyikan muajat ke arah langit dan bintang-bintang. Bagaimana ia berdialog dengan orang yang nantinya akan menjadi algojonya. Bagaimana ia berseru "Oh, Tuhan, alangkah beruntungnya aku!" waktu ia ditikam, dan menyerukan untuk mengampuni si pembunuh --yang akhirnya toh dihukum mati. Berbeda dengan Umar, yang menurut mereka, ketika dibunuh, berteriak: "Tangkap orang Majusi itu!" Dalam versi Syi'ah, Umar dibunuh oleh seorang budak yang kecewa kepadanya setelah mengadukan ketidakadilan majikannya dan tidak mendapat tanggapan yang patut. Ia dibunuh dirumah penggilingan (menurut penelitian Sunni Umar ditikam waktu mengimami salat, dan pembunuhnya berhasil dipegang). Waktu itu Ali sedang duduk di luar tempat penggilingan. Dan ia melihat Firuz, si pembunuh, lari. Ali lantas bangkit dan berpindah duduk. Lalu waktu orang-orang yang mengejar si pembunuh melihat Ali dan bertmya, Ali menjawab: "Sejak aku durluk. persis di sini, aku tidak melihat" . . . Firuz lalu dinasihati Ali untuk pulang saja ke Iran dan kawin. Dengan "doa khusus" imam itu, Firuz "terbang sekejap mata" ke tanah asalnya. Sehingga waktu pihak keamanan dari Madinah mencarinya --setelah perjalanan beberapa bulan--orang di sana bisa menjawab: "Memang ada orang dengan nama itu. Tapi ia bukan bujangan: sudah kawin, malah sudah berbulan-bulan pulang." Firuz selamat. Moral cerita itu, seperti juga dikatakan Fischer, agaknya boleh diwakili oleh ucapan pujangga mereka, Sa'di: "Dusta yang diucapkan demi kebaikan dan kalem, lebih baik dari kebenaran yang bisa mendatangkan bencana."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus