Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BINTANG kelas itu pingsan di depan papan pengumuman. Setelah sadar, Nur Layla menangis- meraung-raung. Siswi kelas 3 SMA- Purusatama, Semarang, itu tak- siap menerima kenyataan tak lu-lus- ujian- nasional, Senin pekan lalu. Ia hanya mendapat nilai 4 untuk ujian matematika-, di bawah nilai minimal sya-rat kelulusan 4,26. Tak peduli nilai bahasa Inggris dan Indonesia di atas 8, Nur Layla tetap tidak lulus.
Lain lagi nasib Iskandar, 18 tahun. Siswa SMU Murni Solo ini sudah tiga kali tak lulus ujian nasional. Tahun lalu Iskandar dinyatakan tak lulus gara-gara nilai ujian bahasa Inggrisnya hanya 3,6. Ia juga gagal di ujian ulangan.
Apa boleh buat, Iskandar terpaksa mengulang setahun. Namun hasil ujian nasional Mei lalu membuat harapan Iskandar rontok. Sekali lagi ia dinyatakan tak lulus. Kali ini bukan cuma nilai bahasa Inggris, nilai ekonominya juga keok. Kegagalan itu memukul Iskandar, anak seorang buruh serabutan. Biaya sekolah selama setahun jelas tidak murah.
Di berbagai daerah ada sejumlah siswa SMA yang bernasib seperti Iskandar dan Layla. Tak semuanya murid bodoh karena ada siswa berprestasi yang tidak lulus gara-gara nilai satu dari empat mata pelajaran yang diujikan kurang dari 4,26-angka minimal yang ditetapkan Depar-temen Pendidikan Nasional.
Secara keseluruhan, angka ketidaklulusan siswa SMA tahun ini, yang diumumkan serentak Senin lalu, sesungguhnya bisa ditekan hingga kurang dari 10 persen. Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Soehendro mengatakan, jumlah itu me-nurun sekitar 11 persen dari ketidaklulusan siswa tahun lalu. "Angka kelulus-an SMA secara nasional naik mencapai 92 persen," kata Bambang.
Padahal standar nilai rata-rata tiap mata pelajaran yang diujikan di SMA, SMK, dan madrasah aliyah telah dinaik-kan dari 6 menjadi 7 pada tahun ini. Dengan kondisi seperti itu, Bambang pun menyimpulkan terjadi kenaikan mutu pendidikan. "Sebagaimana ditunjukkan dari persentase kelulusan -nasional," ujarnya.
Benar? Ketua Forum Guru Independen Indonesia Suparman menampiknya. "Pemerintah tidak bisa mengidentikkan kualitas pendidikan hanya didasarkan- hasil ujian saja," katanya. Soalnya, ba-nyak- faktor lain yang menentukan pres-ta-si belajar siswa dalam proses belajar se-lama tiga tahun. "Jadi bukan cuma ujian nasional yang 3 x 2 jam saja," tuturnya.
Bantahan juga datang dari Soedijarto, Ketua Umum Sarjana Pendidikan Indonesia. "Bagaimana bisa disamakan antara pendidikan di Aceh dan Merauke? Dihitungnya dalam satu tahun lagi."
Terlebih kenyataan di lapangan kerap tak mencerminkan kemampuan siswa. Me-nurut Suparman, banyak siswa yang ber-prestasi dan menjadi juara kelas tapi tak lulus ujian nasional. Ia menunjuk ban-yak-nya pengaduan dari siswa yang tak lulus ujian kepada forum bersama. Umum-nya, mereka telah diterima di pergur-uan tinggi negeri atau swasta ter-kemuka.
Tengoklah nasib Alex Arida, 17 tahun. Sia-pa sangka, juara Olimpiade Fisika -ting-kat Jawa Tengah di Universitas Ne-geri Semarang tahun 2005 ini dinyatakan tak lulus karena nilai ujian matematika-nya hanya 3. Padahal nilai ujian bahasa Indonesia dan Inggris siswa jurusan- IPA Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Suruh Kabupaten Semarang ini di atas 7.
Lantaran prestasinya, Mei lalu gadis- yang selalu menjadi bintang kelas ini telah diterima sebagai mahasiswa jurus-an fisika melalui jalur Penerima-an Seleksi Siswa Berprestasi (PSSB). Saat ujian lalu pun Alex mengaku bisa me-n-ger-ja-kan soal-soal yang diajukan. Tapi ha-silnya ternyata jeblok. "Itulah yang mem-buat saya tidak mengerti," kata Suharto, Kepala Sekolah MAN 1 Suruh.
Di Sleman, Yogyakarta, Hendro Satrio, siswa kelas III IPA SMU 1, tak lulus gara-gara nilai ujian matematikanya 3,50. Padahal nilai ujian bahasa Inggrisnya 9,8 dan bahasa Indonesianya 8,5. Sebelum pengumuman kelulusan, Hendro bahkan sudah diterima di Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. "Nilai matematikanya jatuh karena saat mengerjakan soal dia sakit," kata Handoyo, ayah Hendro.
Nilai ujian matematika yang cuma 4,0 itu juga mengganjal Taruno Wibisono. Padahal, untuk pelajaran bahasa Indonesia dia mendapat nilai 8,8 dan bahasa Inggris 9,2. Ironisnya, Bayu telah diterima di Jurusan Teknik Pertanian Universitas Brawijaya melalui program penelu-suran minat dan kemampuan. "Sistem penilaian ini tak adil," ujar Budi Susilo, Wakil Kepala SMA 71, Duren Sawit, tempat Taruno menuntut ilmu.
Apa pun omongan orang, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo tetap menilai ujian kali ini berhasil. Ia menganggap wajar masih banyaknya sis-wa yang tidak lulus. "Kalau tidak belajar sungguh-sungguh, ya tidak lulus," ujarnya.
Ia minta siswa, sekolah, guru, atau pemerintah daerah melakukan instrospeksi. "Kalau tak lulus, instropeksi, jangan menyalahkan orang lain. Harus ada pembenahan menyeluruh, mungkin sekolahnya kurang baik," katanya.
Pandangan Pak Menteri ditentang oleh para politisi DPR di Senayan. Dalam rapat kerja anggota Komisi Pendidikan DPR dengan Bambang Sudibyo, Selasa pekan lalu, selama lima jam me-reka menghujani Menteri dengan soal ujian nasional.
Para politisi menganggap keabsahan nilai yang menjadi penentu sangat diragukan karena banyak kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional di berbagai daerah. "Dengan adanya indikasi kecurangan itu, Komisi meminta agar ujian nasional diulang," kata Heri Akmadi, Wakil Ketua Komisi Pendidikan.
Abdul Mufalah, anggota koalisi pendi-dik-an, menunjukkan bukti adanya kesa-l-ah-an dalam praktek ujian nasional. Ia me-ne-mukan kesalahan teknis dalam ujian nasional dengan pemeriksaan LJK (lem-bar jawaban komputer). Di Jakarta Ba-rat, ada 50 soal ujian bahasa Indonesia, tapi tenyata setelah nomor 42, langsung 44.
Di Jepara, Jawa Tengah, terjadi sa-lah koreksi. Lembar jawaban ujian bahasa- Prancis Madrasah Aliyah Negeri dikoreksi dengan kunci jawaban bahasa Arab. Aki-batnya, satu kelas jurusan ba-hasa Prancis MAN tak lulus. Ketika dilakukan- koreksi ulang, 100 persen siswa lulus.
Ada pula praktek perjokian seperti di SMK 1 Cilegon, Banten. Modusnya, guru memberi kunci jawaban kepada muridnya melalui pesan pendek telepon seluler. Kasus ini sudah dilaporkan ke kepolisian. Polisi juga mengungkap ada-nya tim sukses kelulusan dengan target kelulusan 90 persen.
Terbongkarnya kasus kecurangan -membuat Menteri Sudibyo menerjunkan- tim ins-pektorat jenderal. Tak lupa ia minta mas-yarakat memberikan data konkret, bu-kan sekadar gosip. "Kalau datanya kon-kret, tindakannya juga konkret seperti di Cilegon dan Banten," ujarnya.
Bagi siswa yang tak lulus, pemerintah- menyarankan mereka mengulang lagi tahun depan. Pilihan lain adalah meng-ikuti ujian Kejar Paket C pada Oktober mendatang. Dua alternatif ini tak diinginkan para siswa yang tak lulus. Mereka ingin ujian ulangan.
Alasannya, kata Bayu, salah satu siswa, bila ia harus mengulang tahun depan, kurikulum yang digunakan di sekolah sudah berbeda. "Apa iya saya bisa ujian dengan model seperti itu?" ujarnya. Ia juga meragukan ujian persamaan level SMA. Bukan cuma lantaran ujian akan ditutup pada 7 Juli, melainkan karena peserta ujian Kejar Paket C masih butuh waktu tiga bulan untuk mengikuti ujian.
Selama itu calon peserta harus ikut bersekolah. Jadi, bila lulus, baru pada Oktober, Bayu bisa mengantongi ijazah. Repotnya, pendaftaran ke perguruan tinggi sudah ditutup pada 4 Juli.
Soal itu membuat Bayu bersama sejumlah temannya sesama korban ujian nasional mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka mendesak pemerintah agar menggelar ujian ulangan buat siswa yang tak lulus. "Pemerintah tak menjalankan sistem evaluasi dengan baik," kata Retno Listiarti, guru SMA 13 Jakarta.
Usul itu tampaknya akan membentur tembok. Menteri Sudibyo menyatakan belum berpikir melaksanakan ujian ulangan bagi siswa yang tak beruntung. "Ujian ulangan tak mendidik siswa belajar keras," ujarnya.
Ia malah menyodorkan rencana eva-luasi terhadap perguruan tinggi negeri yang sudah menjaring mahasiswa tanpa- tes, tapi yang bersangkutan ternyata tidak lulus. "Apakah seleksinya sudah benar? Kenyataannya tidak lulus ujian. Itu artinya perguruan tingginya tidak tajam," katanya.
Widiarsi Agustina, Rieka Rahadiana, Syaiful Amin, Sohirin, Imron Rosyid dan Sunudyantoro
Tingkat Kelulusan Siswa SLTA
Tahun 04/05 | Ajaran 05/06 | Peserta Ujian Nasional | |
---|---|---|---|
SMA | 80,76 % | 92,5 % | 1.093.737 siswa |
Madrasah | 80,37 % | 90,82 % | 221.801 siswa |
SMK | 78,29 % | 91,00 % | 643.208 siswa |
Total | 1.958.746 siswa |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo