TAK selamanya sebutan "Bandung Selatan" dan "Bengawan Solo" ditujukan untuk judul lagu keroncong. Paling tidak di musim hujan belakangan ini. Sebab Bandung Selatan dan Bengawan Solo kini menjadi lebih terkenal sebagai pelanggan banjir tahunan. Bagi penduduk di Kabupaten Bandung, banjir bak "tamu setia" yang datang saban tahun. Kebetulan ulah bah yang merambah desa di sekitar aliran Sungai Citarum kali ini telah kelewat batas. Kecuali menelan 5 korban tewas, banjir juga merendam 18 ribu rumah, hampir 8.000 hektare sawah, 60 sekolah, 150 masjid. Kerugian ditaksir Rp 4 miliar. Bagi orang Bandung Selatan, banjir pekan lalu itu yang terbesar selama ini. "Seumur-umur baru kali ini saya melihat luapan air yang begitu besar," ujar Marwati, penduduk Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, kepada TEMPO Jumat pekan lalu. Toh ada pula yang memetik untung. Di desa Tegalluar itu, sejumlah pemancing berdatangan dari kota. Kebetulan, sekitar 200 hektare kolam ikan -- hasil andalan daerah itu -- milik penduduk terendam. Dan mereka yang punya perahu pun tak kalah sigap. Sewa sebuah perahu untuk sekali jalan Rp 3.000. Hingga, Aep Rancawaliris, pemilik usaha pembuat batu bata, sedikitnya bisa mengantongi Rp 20.000 sehari dari perahu yang "diojekkan". Bagian Jawa Barat lainnya, Ciamis Selatan, juga dilanda bah. Sekitar 1.000 penduduk Desa Pamotan dan yang berada di sekitar Sungai Citanduy terpaksa mengungsi karena air melanda kampung, setinggi pangkal paha. Daerah yang juga menjadi langganan banjir adalah sepanjang aliran Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ratusan hektare sawah dan kampung terendam air. Bahkan, kali ini Bengawan Solo minta korban. Sebuah perahu penyeberangan yang melintasi sungai itu di Sragen, dengan 65 penumpang, diterjang arus deras dan terbalik, Senin pekan lalu. Paling tidak, 14 orang tewas ditelan bah. Hujan yang tak henti-hentinya sejak pekan lalu membuat Bengawan Solo kian merambah daratan di sekitarnya. Di daerah Karangnongko, Kabupaten Bojonegoro, misalnya, ketinggian air bah mencapai 30 meter di atas muka laut dan kecepatan arus sampai 35 km per jam. Sampai-sampai, Bupati Bojonegoro Imam Soepardi memberlakukan keadaan Siaga II. Artinya, penduduk diminta berjaga-jaga dan dilarang meninggalkan wilayah itu. Dan Jakarta, akhir pekan lalu, pun kebagian jatah banjir. Beberapa tempat di sepanjang aliran Sungai Ciliwung dan Sunter, seperti Cipinang, Pulogadung, Cawang, terendam. Ketinggian air rata-rata 40 cm, walau ada gang yang terendam sampai setinggi sebahu. Beberapa jalan, seperti Otista, Bukitduri, Sabtu lalu sempat ditutup buat mobil-mobil ukuran kecil. Lantas, siapa yang harus disalahkan gara-gara air bah yang melanda di mana-mana tiap tahun itu? Tentu hujan yang terus- meneruslah yang harus dituding. Tapi, bagaimana usaha manusia mengendalikan banjir? Ada beragam cara. Bengawan Solo, misalnya, telah mempunyai pengendali banjir berupa waduk Gajahmungkur, di Wonogiri. Namun, yang terselamatkan dari bah baru Kota Solo yang dilewati sungai itu. Sementara itu, air di hilirnya masih meluap karena banyak sekali sungai kecil yang bermuara di sepanjang Bengawan Solo itu. Sedangkan nasib pelanggan banjir di Bandung Selatan baru dipikirkan pekan lalu. Itu pun setelah daerah rendah dari dataran tinggi Bandung itu dirambah bah tiap tahun. Paling tidak, itulah yang dijanjikan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar yang mengunjungi daerah banjir itu Rabu pekan lalu. Pemerintah akan membangun proyek normalisasi Sungai Citarum. Rencananya, akan dibuat dua sodetan (pelebaran sungai) antara Curug Jompong dan Katapang. "Ini untuk meminimalisasi banjir di sini," kata Menteri Radinal Mochtar. Proyek itu konon perlu dana Rp 200 miliar.ARR, Ida Farida, Kastoyo Ramelan, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini