TANPA banyak diberitakan, ternyata pekan lalu telah terjadi aksi mogok buruh paling besar selama beberapa tahun terakhir ini -- serentak dan merebak di berbagai kota. Dihitung-hitung, tak kurang dari 20 ribu buruh yang mogok dan melakukan aksi demo. Di Tangerang, misalnya, Senin pekan lalu ada 13 ribu buruh dari tujuh pabrik yang mogok serentak. Karawang, Bekasi, dan Serang juga ambil bagian dengan "mengerahkan" sedikitnya 6.300 buruh. Hal sama terjadi di Surabaya dan Denpasar, Bali, masing-masing tak kurang dari 1.000 buruh. Dan tuntutan mereka pun seragam yakni meminta agar majikan menaikkan upah mereka sedikitnya sebesar upah minimum yang ditetapkan Pemerintah. Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya atau Jabotabek, misalnya, sejak 1 Januari lalu Departmen Tenaga Kerja telah menaikkan standar upah minimum dari Rp 2.600 menjadi Rp 3.800 sehari. Ada yang sudah menaikkan, tapi ada pula yang belum sempat mengumumkan kapan hal itu dilakukan setelah aksi mogok "akbar" itu. Maka, di beberapa tempat muncul lagi demo susulan. "Kebanyakan persoalannya sudah beres. Buruh mengira upahnya tak dinaikkan. Padahal, gaji bulan Januari kan dibayarnya akhir bulan ini," kata Budi Maryoto, Sekretaris Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Hubungan Kerja Departemen Tenaga Kerja. Yang menarik dari serangkaian unjuk rasa itu: aparat keamanan hanya mengawasi saja. Dan mungkin kebetulan pula bahwa aksi mogok buruh di pabrik-pabrik itu merebak setelah Pemerintah mencabut ketentuan Menteri Tenaga Kerja tahun 1986 yang membolehkan keterlibatan aparat keamanan dalam aksi dan sengketa buruh-majikan. "Sekarang Pemerintah mencabut ketentuan Nomor 342/1986 itu," kata Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief ketika mengumumkan pencabutannya, 15 Januari lalu. Dan itu terlihat dalam perundingan antara buruh dan pengusaha pekan lalu. Aparat keamanan tak lagi dilibatkan. Sebab dalam peraturan baru itu, yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa perburuhan hanya aparat kantor Departemen Tenaga Kerja dan serikat pekerja di perusahaan itu. "Aparat keamanan bisa turun tangan jika aksi unjuk rasa buruh sudah menjurus ke tindakan kekerasan dan kriminal," ujar seorang pejabat di Departemen Tenaga Kerja. "Kalau dulu, belum apa-apa, aparat keamanan sudah dikontak oleh pengusaha." Kecuali menghadapi kaum buruh yang berdemo, ketika itu, aparat keamanan juga bisa aktif dalam perundingan antara buruh dan pengusaha. Keterlibatan militer ini pula yang mengundang kritik dari pemerintah Amerika Serikat. Sampai, muncul ancaman dihentikannya fasilitas GSP (Generalized System of Preferences), kemudahan ekspor negara berkembang ke negeri itu, bila hingga 15 Februari 1993 ketentuan itu tak dicabut. Cuma masih ada yang meragukan ketentuan Menteri Tenaga Kerja itu. Aris Merdeka Sirait, Sekretaris Sisbikum (Saluran Informasi dan Bantuan Hukum) yang aktif mengamati masalah perburuhan, melihat SK Bakorstanas tahun 1990 tentang pedoman penanganan hubungan industrial Pancasila itu, katanya, masih memungkinkan ABRI masuk dengan alasan mengganggu stabilitas nasional. Dengan ketentuan itu, SPSI pun terdorong punya tangan di setiap perusahaan. "Kayaknya banyak pengusaha yang enggan adanya SPSI," kata A. Saragih, Wakil Ketua SPSI Tangerang daerah peringkat teratas jumlah demo buruh.Bambang Sujatmoko dan laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini