Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Draf Miring Aturan Menguping

Dewan Perwakilan Rakyat mengebut Undang-Undang Penyadapan. Berpotensi melemahkan komisi antikorupsi.

13 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Draf Miring Aturan Menguping/TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNJUNGAN Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat ke Kolombia dan Cile pada awal tahun ini menjadi bekal Supratman Andi Agtas dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Penyadapan. Terutama untuk bagian lembaga yang bertugas mengkoordinasi penyadapan. Selama ini, kata Supratman, setiap lembaga penegak hukum bisa melakukan penyadapan tanpa perlu berkoordinasi karena masing-masing mempunyai alat sadap.

Badan Legislasi pun menyontek aturan di dua negara tersebut, yang menempatkan kejaksaan sebagai koordinator penya-dapan. Menurut Supratman, di dua negara itu hanya kepolisian yang punya alat sadap. Namun kepolisian tidak bisa seenaknya menguping pembicaraan orang karena harus melapor lebih dulu ke kejaksaan, yang kemudian meminta izin ke pengadilan. “Penyadapan baru bisa dilakukan setelah mendapat izin pengadilan,” ujar Supratman, Kamis, 11 Juli lalu.

Ketua Badan Legislasi DPR itu meya-kini aturan tersebut bisa diterapkan di dalam negeri. Di Indonesia, kata Supratman, ada tahapan proses hukum sewaktu polisi memulai penyidikan, yakni menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan untuk kejaksaan. Koordinasi dalam penyadapan kelak kurang-lebih begitu.

Maka Badan Legislasi merombak draf Undang-Undang Penyadapan versi 20 September 2018. Dalam draf terbaru yang keluar pada 2 Juli 2019 disebutkan setiap penyadapan dikoordinasi oleh Kejaksaan Agung sebelum diajukan ke pengadilan. Penyadapan juga dipersempit hanya pada tahap penyidikan. “Tapi ini bukan bermaksud menghilangkan operasi tangkap tangan KPK,” ujar Supratman. Selama ini, operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan pada tahap penyelidikan berdasarkan informasi yang didapat dari penyadapan.

Menurut Supratman, dalam RUU Penya-dapan terbaru, Badan Legislasi mengecualikan aturan tersebut berlaku bagi komisi antikorupsi. “KPK bisa bekerja seperti biasanya,” ucapnya. Pengecualian itu, kata Supratman, muncul setelah Badan Legislasi mengundang KPK dalam rapat bersama guna memberikan masukan terhadap RUU Penyadapan. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif membantah pernyataan Supratman. “Kami belum memberikan pendapat,” ujarnya.

RUU Penyadapan tak muncul begitu saja. Draf tersebut masuk Program Legislasi Nasional DPR 2015-2019. Dua tahun tak ada kabar, rencana pembuatan Undang-Undang Penyadapan mencuat bersamaan dengan bergulirnya Panitia Hak Angket DPR tentang Tugas dan Kewenangan KPK. Hak penyelidikan ini bergulir ketika KPK sedang mengusut perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Setya Novanto.

Saat angket berjalan, sejumlah anggota Panitia Hak Angket menyuarakan perlunya Undang-Undang Penyadapan. Setelah publik bereaksi menolak gagasan tersebut, Panitia Hak Angket urung memasukkan perlunya membuat Undang-Undang Pe-nyadapan dalam rekomendasinya.

Belakangan, Badan Legislasi DPR berinisiatif merancang RUU Penyadapan. Dalam Rapat Panitia Kerja RUU Penyadapan pada Rabu, 3 Juli lalu, draf terbaru diberikan kepada setiap anggota Badan Legislasi. “Saya geleng-geleng kepala begitu baca drafnya,” ucap anggota Badan Legislasi, Arsul Sani.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan ini menyoroti tiga hal dalam rancangan undang-undang tersebut. Pertama, pengecualian aturan bagi KPK yang ia sebut tak memiliki argumentasi hukum yang jelas. Arsul meminta KPK diperlakukan sama dalam aturan penyadapan karena perlu aturan main yang jelas dalam penyadapan. “Tapi ini bukan untuk melemahkan KPK,” ujarnya.

Selanjutnya, Arsul mempertanyakan cara kerja kejaksaan mengkoordinasi penyadapan di tengah banyaknya pekerjaan rumah. Terakhir, ia menyorot RUU Penya-dapan yang lebih ditujukan untuk pene-gakan hukum. Seharusnya, kata Arsul, penyadapan di lembaga keamanan dan intelijen pun diatur dalam RUU Penyadapan.

Draf Miring Aturan Menguping/Dok.TEMPO/Dhemas Reviyanto

Pengecualian bagi KPK dalam rancangan undang-undang itu juga dipersoalkan fraksi lain. Hendrawan Supratikno dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan pasal pengecualian tersebut ibarat untuk menghindari penolakan dari masyarakat dan tidak ingin membuat KPK tersinggung. “Masak, belum apa-apa dikecualikan. Lebih baik minta masukan dari KPK dan diintegrasikan kemauannya,” ujarnya.

Begitu juga anggota dari Fraksi NasDem, Taufiqulhadi, yang setuju KPK diperlakukan sama dalam RUU Penyadapan. Adapun anggota dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa, menuturkan, saat ini partainya sedang mengkaji perlu-tidaknya KPK dimasukkan ke rancangan undang-undang tersebut. “Kalau mau dimasukkan, berarti ada hukuman yang berat jika ada penyalahgunaan,” kata Ledia.

Masalahnya, jika tak dikecualikan dalam RUU Penyadapan, segala ketentuan pe-nyadapan dalam draf itu berlaku bagi KPK. Aturan bahwa penyadapan hanya dilakukan dalam penyidikan bisa menyebabkan KPK tak bisa melakukan operasi tangkap tangan lagi. “Buat apa lagi dilakukan penya-dapan dalam tahap penyidikan yang sudah ada tersangkanya,” ujar komisioner KPK, Laode Muhammad Syarif.

Selain itu, menurut Syarif, jika lembaganya perlu mengurus izin pengadilan dan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penyadapan, proses penanganan perkara  terhambat. Penyadap-an sering kali sangat mendesak karena kejahatan sedang terjadi. Selain itu, rentan muncul konflik kepentingan antar-aparat penegak hukum. Contohnya, dalam Pasal 8 RUU Penyadapan tertulis bahwa diperlu-kan izin Mahkamah Agung untuk menya-dap pemimpin instansi penegak hukum. “Kalau hakim Mahkamah Agung sendiri yang terima suap, bagaimana?” katanya.

Supratman Andi Agtas masih yakin RUU Penyadapan akan selesai pada akhir Juli ini. Nantinya RUU ini dibawa ke sidang pari-purna untuk diputuskan dibahas lebih lanjut di tingkat panitia khusus atau Komisi III DPR, yang membidangi hukum. “Saat ini yang timbul merupakan dinamika pembahasan RUU,” ujar Supratman.

Wakil Ketua Badan Legislasi Sarmuji mengatakan sebaliknya. Pembahasan masih membutuhkan banyak waktu sehingga tidak perlu diputuskan terburu-buru.

HUSSEIN ABRI DONGORAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus