Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islam fundamentalis ? di rumah kaum "fundamentalis"

Penafsiran islam fundamentalis dan gerakan islam fundamentalis di indonesia. sekilas tentang masjid istiqamah di bandung, dimana ada beberapa jamaahnya terlibat kejahatan. (ag)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAT peristiwa pembajakan pesawat Garuda, akhir Maret lalu, Indonesia dapat nama. Bukan hanya dalam hal keberhasilan pasukan anti-teroris. Tapi juga karena Indonesia termasuk negara yang jadi ajang gerakan "Islam fundamentalis." Tetapi bagaimana bisa? Menurut penelitian sementara, tak ada kekuatan besar yang jadi majikan mereka. Nampaknya mereka hanya segelintir belia (jumlahnya beberapa ratus) pengikut seorang imam muda berumur 31 tahun, Imran bin Zein. Ceritanya bisa dimulai dari sebuah masjid di Bandung. Itulah Masjid Istiqamah -- terjemahannya: 'Masjid Sikap Lurus'. Belum lagi berusia dua dasawarsa, terletak di salah satu daerah elite, bangunan modern itu termasuk masjid yang khas masa mutakhir. Di sini berkumpul ratusan anak muda. Sebagai tempat yang digemari, mesjid ini barangkali hanya bisa ditandingi oleh Masjid Salman di kompleks Institut Teknologi Bandung. Ke situlah Imran yang asal Medan itu datang dari Jakarta pertama kalinya di tahun 1979. Ia diperkenalkan oleh Azhar, anak Kolonel Purnawirawan Cut Usman dari Cimahi. Imran memang hanya tiga kali berceramah di sini -- dan selalu sekitar tengah malam. Tapi nampaknya pengikutnya sebenarnya sudah lebih dulu ada di sekitar situ. Anggota baru di Istiqamah terhitung kecil: sekitar 30 orang dari 600 orang. Tapi militansi mereka segera dikenal. Apalagi setelah Februari 1981 yang lalu terjadi peristiwa penyerangan markas polisi di Cicendo, yang disebut-sebut dipimpin oleh Azhar, si anak pensiunan polisi Cimahi. Menurut keterangan resmi serangan yang membunuh tiga orang polisi ini dimaksudkan untuk membebaskan kawan mereka yang ditahan dan juga untuk cari senjata. Agak jauh sebelum itu pernah pecah perkelahian massal di sebuah pekuburan, juga di Cimahi -- akibat pertengkaran tentang bagaimana cara pemakaman yang "benar menurut Islam." Kemudian terjadi pula penusukan kepada dr. Syamsuddin, anggota Yayasan Istiqamah dan ketua bidang pendidikan di situ. Tapi pasal pertama agaknya ialah penggerebekan alat negara ke masjid tersebut Agustus tahun lalu. Dari situ, 44 anak muda yang sedang mengikuti ceramah yang berapi-api -- penuh kutukan kepada para ulama dan pemerintah -- diangkut. Meskipun pengurus masjid sebenarnya sudah dibubarkan oleh pihak Yayasan Istiqamah, ceramah itu diberikan dalam rangka kaderisasi pemuda masjid. Pembicara: Machrizal dari Jakarta -- yang kemudian dikenal sebagai pemimpin pembajakan pesawat. Sudah jelas, baik Machrizal -- yang sudah mati itu -- maupun, Imran, bukan orang Istiqamah. Para jamaah masjid itu sendiri, yang penuh kegiatan -- dari acara ibu-ibu sampai anak-anak -- kepada TEMPO hanya menyesali bahwa masjid mereka "dirugikan". Suasananya memang jadi setengah tertutup, bahkan cukup banyak orang yang tak mau disebut nama maupun identitasnya. Kecuali di waktu-waktu shalat jamaah, orang asing yang datang akan diamati dari kejauhan: jangan-jangan ia pengikut Imran -- kalau bukan petugas negara. Tapi yang menarik, kedatangan Imran itu dahulu seperti sudah diharapkan --meski banyak orang kecewa kemudian. Mungkin itu disebabkan karena Masjid Istiqamah belum punya satu idola seperti Ir. Imaduddin dulu untuk Masjid Salman ITB. Bukhori, anggota Dewan Pemuda Senior Masjid Al Manar bisa menuturkan betapa Imran dahulu pada kedatangannya yang pertama diterima para pemuda masid di Bandung -- termasuk dia sendiri. Waktu itu Imran belum minta diakui sebagai imam, dan di pertemuan itu hadir Ir. Bambang Pranggono, penggerak aktivitas pemuda Istiqamah, dr. Syamsuddin, dari bidang pendidikan masjid tersebut, di samping para pemuda Masjid Salman dan Istiqamah sendiri. Pertemuan itu tentunya disebabkan oleh terbukanya pintu masjid khususnya bagi siapa saja yang dikabarkan berjuang dalam da'wah. Tapi juga, setidaknya bagi sebagian mereka, ada kemungkinan karena orang Istiqamah memang sedang mencari bukan hanya idola, tapi juga imam. Dan ini adalah imam atau pemimpin agama -- bukan imam masjid atau imam salat. MUNGKIN kedengaran agak aneh. Tapi sebelum Imran datang, di Istiqamah sebenarnya sudah dibentuk Usrah. Ini (kata ini berarti: keluarga), semacam "anggota terpilih" dari seksi pemuda, waktu itu dipimpin oleh Bambang Pranggono. Sebuah sumber yang tak mau disebut namanya menyebutkan bahwa di tahun 1978 Usroh ini pernah maju kepada KH E.Z. Muttaqin, Ketua Majlis Ulama Ja-Bar dan anggota Yayasan Istiqamah, KH Rusyad Nurdin, juga sesepuh Istiqamah, dan ulama lain yakni KH Bustami Darwis -- untuk meminta kesediaan mereka sebagai imam agama. Ditolak, tentu saja. Bambang sendiri sebagai pemimpin, juga tak hendak menjadi imam. Ia bilang, ilmu agamanya "masih dangkal". Tetapi Bukhori juga bisa menuturkan sikap keras Usrob waktu itu. Misalnya pernah menganjurkan tidak menonton TV maupun radio, yang sedang dipenuhi maksiat. Juga menyarankan -- dengan keras -- agar para wanita menutup aurat. Malahan untuk itu juga memperingatkan para murid wanita SPG Negeri, yang tempatnya berdekatan dengan Istiqamah. Hasilnya bagus: gerakan ini makin lama makin banyak anggotanya, mencapai ratusan. Semuanya berkudung, sedap dipandang. Sayang, pernah terjadi konflik antara murid dan guru karena bersitegan soal pakaian. Di SMA Negeri III, sang gadis menuding gurunya "kafir" -- karena memaksanya memakai pakai seragam sekolah yang "terbuka" -- dan soal ini sampai diselesaikan oleh E.Z. Muttaqin. Sedang di SPG para/murid yang berkudung itu kemudian diberi kelas tersendiri. Miftah Faridl, seorang pengajar agama di Istiqamah dan Salman, selain dosen ITB, bisa juga menuturkan bagaimana sewaktu ia memberi kuliah dluha (habis subuh) ia mendapat surat. Isinya: pertanyaan apakah ia membayar zakat apakah hartanya halal dan kenapa istrinya tidak menutup aurat. Tapi hal-hal terakhir itu bukanlah soal yang pokok -- dibanding misalnya soal keimaman. Imran kemudian oleh sebagian remaja dibai'at sebagai imam, Juni 1980. Ada yang menyangka seolah Bambang Pranggono, pemborong yang sangat salih itu, pernah juga berbai'at. Tentu saja Bambang menolak. "Untuk apa saya mengikut dia," katanya. "Saya kan punya akal pikiran." Kepada TEMPO ia menegaskan: cara-cara yang ditempuh Imran tidak Islami sama sekali. "Masakan dalam agama tidak boleh bertanya -- padahal menambah keyakinan itu justru dengan tanya kalau perlu debat." Lebih lagi membunuh, teror dan sebagainya, "itu bukan cara Islam!" Bambang juga mengingatkan betapa dulu anak buah Imran memukuli para wanita pelacur di belakang Gedung Sate. Cara itu pun tidak Islami -- kata Bambang. Tapi yang menjadi pertanyaan ialah: mengapa mereka begitu ngebet mencari imam. Sedang kebanyakan umat muslimin tidak. Kenyataan memang menunjukkan bahwa mereka yang menginginkan tegasnya soal imam itu (baik Islam Jama'ah, baik yang bernama Jama'ah Muslimin Hizbullah, atau pun kalangan yang mengagumi Abdullah Thufail di Surakarta dulu, konon), semuanya bukan orang yang berada di bawah kewibawaan satu organisasi keagamaan yang sudah mapan -- seperti Muhammadiyah, Persis, NU, Irsyad. Dan itu memang bisa menunjukkan ciri kalangan besar yang meramaikan masjid di masa-masa akhir ini. Mereka itu adalah anak-anak yang bukan dari keturunan santri -- yang di Jawa dikenal misalnya dengan istilah abangan. Plus mereka yang berada dalam kultur orga-nisasi "tanpa induk" seperti PII (Pelajar Islam Indonesia), salah satu ormas pelajar terbesar yang di masa Orde Lama terkenal militan. Bagi anak-anak Muhammadiyah maupun Persis, kiranya tak ada problem imam mereka adalah pemimpin mereka. Di sini imam fungsional sudah memenuhi kebutuhan akan "imam agama". Begitu pun bagi anak-anak pesantren dalam tradisi NU: KH Bisri Sjamsuri, atau rois lain, bahkan kadang "para keturunan", itulah semuanya. Mereka cukup mencium tangan Abdurrahman Wahid, misalnya, keturunan teras dalam NU dan aman. Tapi perbedaan lain juga ini: masalah keimaman sebenarnya tidak pernah dibicarakan dalam kelompok-kelompok yang lebih mapan itu. Lewat pembicaraan ribuan kitab fiqh dari abad ke abad, keimaman itu ternyata satu soal yang musykil, banyak diperdebatkan, dan kalau pun dianggap perlu, sebaiknya ditunda. Ada juga misalnya yang menganggap keimaman dalam Islam itu bukan orang melainkan lembaga. Hamka misalnya berpendapat begitu. Juga E.Z. Muttaqin. Dan keimaman itu pun bisa identik dengan pemerintah. Munculnya istilah waliyyul amnidl dlaruuriy bisy-syaukah, "pemegang perkara yang berkekuasaan penuh", di masa Soekarno dulu, menunjukkan kemungkinan itu -- walaupun ada yang menganggapnya salah, itu bukan dari sudut pengertian agama -- melainkan karena melihat orangnya, yakni Soekarno yang "abangan". Sebaliknya, kalangan pemuda yang idak berayah" adalah produk lingngan baru: hasil dari pengajaran da'wah secara kilat (bahkan di sana-sini dibentuk "pesantren kilat") yang memang dak bisa diharap memberikan pengenalan keislaman secara mendalam dan kompleks. Apa yang mereka dapatkan malah sebuah kerangka pokok tentang Islam jelas batas pinggirnya, jelas umatnya (yang dipahamkan sebagai benar-benar "satu") jelas pula imamnya. Juga PII misalnya, bukanlah ajang pengajaran agama. Mereka bisa merupakan anak-anak paling gigih "membela" Islam. Tapi tak jarang karena mereka memahami agama secara garis pokok. Bisa dimengerti bila kemudian mereka cepat-cepat merasa 'ada yang "kurang" pada pelaksanaan Islam'. Yakni imam. Dan, konsekuensinya, mereka relatif lebih mudah terpancing oleh provokasi. Temperamen itu boleh ditambah lagi oleh jenis persepsi ajaran yang berbeda dengan persepsi di kalangan anak-anak Muhammadiyah atau NU. Di Muhammadiyah, seorang anak terutama terikat untuk, katakanlah, memelihara ajaran yang bersih -- dari segala takhyul dan bid'ah. Di NU, seorang muda diberi tempaan untuk terutama mengurus kesalihan diri sendiri, demi 'keselamatannya di alam fana dan baka. Sedang dalam kelompok lepas ini, yang diberikan kepada mereka terutama adalah kepekaan akan posisi Islam di dunia dan Indonesia sekarang. Itu mungkin menumbuhkan sikap lebih dinamik. Atau keras. Atau juga kreatif, seperti banyak terbukti. Tetapi sikap itulah yang tidak selalu pas dengan kebutuhan maupun kemungkinan. Karena itu tidak hanya Tatang M. Natsir, bekas aktivis PII dan kini Sekjen Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BPKMI) yang menyarankan perlunya usaha pengubahan persepsi alias "indoktrinasi" itu. Kalangan PII misalnya, dulu menekankan program pada empat pokok akidah alias iman, jama'ah alias kesatuan umat, keimaman alias kepemimpinan, dan khittah alias garis perjuangan. Sudah sepantasnya itu diubah -- dan perubahan itu, yang dilaksanakan BKPMI, adalah: akidah yang dekat dengan da'wah, akhlak, penumbuhan intelek, dan penguasaan ketrampilan. Dengan itu para pemuda masjid memang diharap menjadi lebih damai -- meski mungkin memang baru harapan. Masalah-masalah yang "hangat," masalah-masalah seperti keimaman, atau kesatuan umat dan yang semacam, diusahakan diganti dengan usaha pembentukan kualitas pribadi. BKPMI sendiri organisasi baru: dibentuk baru pada 1977 di Masjid Istiqamah Bandung, oleh tokoh-tokoh seperti Toto Tasmara yang waktu itu jadi Ketua Umumnya, dan jangan lupa Bambang Pranggono yang jadi Seyen, di samping Anwar yang sekarang jadi Ketua umum. Bahwa dalam perjalanannya yang singkat telah terjadi perbenturan di dalam, terlihat pula. Misalnya remaja Masjid Al Azhar Jakarta, di bawah Jimly Ash Shiddieqy, tidak bersedia bergabung pada periode yang dulu yang dalam anggapan mereka mungkin "politis". Memang tak begitu aneh bila sebagian remaja agak "tak suka politik". Anwar misalnya, yang jadi Ketua Umum untuk periode 1401-1404 Hijri (1980-1983), menyebut hal yang dianggapnya contoh persepsi keagamaan yang bersemangat politik praktis -- dulu. Misalnya: BKPMI pernah membuat pernyataan tentang Afghanistan. Bahkan tentang Kebatinan, di tahun 1978. "Itulah antara lain yang menyebabkan adanya tuduhan BKPMI ini politis," kata sarjana da'wah IAIN Jakarta itu. Meskipun, "tidak berarti studi politik terlarang bagi kami." Sebaliknya pernyataan yang dianggap pantas diedarkan oleh sebuah perkumpulan remaja masjid, adalah seperti yang misalnya terdapat dalam edaran-edaran BKPMI beberapa waktu lalu -- yang isinya seruan agar anggota mereka menghindarkan diri dari kelompok Imran dan sebangsanya. Belum bisa diramalkan tentunya, benarkah wadah ini akan efektif. Toh mereka optimistis: dengan jumlah anggota lebih dari 2.000 organisasi remaja masjid, yang segera akan mereka adakan dalam waktu dekat misalnya kursus kader koperasi dan wiraswasta. Dalam bahasa Tatang, sang Sekjen, yang seharusnya ditekankan bagi remaja masjid memang bukan 'kerangka Islam'. Melainkan "nilai-nilai Islam yang harus diamalkan dan diwujudkan dalam wadah apa saja." Syukurlah kalau itu tidak terlalu muluk. Mereka tampaknya memang sadar, seperti dikatakan Tatang lagi, "sebenarnya tidak ada apa-apa, kalau tidak ada pancingan". Namun mereka juga mengerti perlunya menyiapkan ikan-ikan yang tak lagi gampang dipancing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus