BERKAT peristiwa pembajakan pesawat Garuda, akhir Maret lalu,
Indonesia dapat nama. Bukan hanya dalam hal keberhasilan pasukan
anti-teroris. Tapi juga karena Indonesia termasuk negara yang
jadi ajang gerakan "Islam fundamentalis."
Tetapi bagaimana bisa? Menurut penelitian sementara, tak ada
kekuatan besar yang jadi majikan mereka. Nampaknya mereka hanya
segelintir belia (jumlahnya beberapa ratus) pengikut seorang
imam muda berumur 31 tahun, Imran bin Zein.
Ceritanya bisa dimulai dari sebuah masjid di Bandung. Itulah
Masjid Istiqamah -- terjemahannya: 'Masjid Sikap Lurus'. Belum
lagi berusia dua dasawarsa, terletak di salah satu daerah elite,
bangunan modern itu termasuk masjid yang khas masa mutakhir.
Di sini berkumpul ratusan anak muda. Sebagai tempat yang
digemari, mesjid ini barangkali hanya bisa ditandingi oleh
Masjid Salman di kompleks Institut Teknologi Bandung.
Ke situlah Imran yang asal Medan itu datang dari Jakarta
pertama kalinya di tahun 1979. Ia diperkenalkan oleh Azhar, anak
Kolonel Purnawirawan Cut Usman dari Cimahi. Imran memang hanya
tiga kali berceramah di sini -- dan selalu sekitar tengah malam.
Tapi nampaknya pengikutnya sebenarnya sudah lebih dulu ada di
sekitar situ. Anggota baru di Istiqamah terhitung kecil: sekitar
30 orang dari 600 orang.
Tapi militansi mereka segera dikenal. Apalagi setelah Februari
1981 yang lalu terjadi peristiwa penyerangan markas polisi di
Cicendo, yang disebut-sebut dipimpin oleh Azhar, si anak
pensiunan polisi Cimahi. Menurut keterangan resmi serangan yang
membunuh tiga orang polisi ini dimaksudkan untuk membebaskan
kawan mereka yang ditahan dan juga untuk cari senjata.
Agak jauh sebelum itu pernah pecah perkelahian massal di sebuah
pekuburan, juga di Cimahi -- akibat pertengkaran tentang
bagaimana cara pemakaman yang "benar menurut Islam."
Kemudian terjadi pula penusukan kepada dr. Syamsuddin, anggota
Yayasan Istiqamah dan ketua bidang pendidikan di situ. Tapi
pasal pertama agaknya ialah penggerebekan alat negara ke masjid
tersebut Agustus tahun lalu.
Dari situ, 44 anak muda yang sedang mengikuti ceramah yang
berapi-api -- penuh kutukan kepada para ulama dan pemerintah --
diangkut. Meskipun pengurus masjid sebenarnya sudah dibubarkan
oleh pihak Yayasan Istiqamah, ceramah itu diberikan dalam rangka
kaderisasi pemuda masjid. Pembicara: Machrizal dari Jakarta --
yang kemudian dikenal sebagai pemimpin pembajakan pesawat.
Sudah jelas, baik Machrizal -- yang sudah mati itu -- maupun,
Imran, bukan orang Istiqamah. Para jamaah masjid itu sendiri,
yang penuh kegiatan -- dari acara ibu-ibu sampai anak-anak --
kepada TEMPO hanya menyesali bahwa masjid mereka "dirugikan".
Suasananya memang jadi setengah tertutup, bahkan cukup banyak
orang yang tak mau disebut nama maupun identitasnya. Kecuali di
waktu-waktu shalat jamaah, orang asing yang datang akan diamati
dari kejauhan: jangan-jangan ia pengikut Imran -- kalau bukan
petugas negara.
Tapi yang menarik, kedatangan Imran itu dahulu seperti sudah
diharapkan --meski banyak orang kecewa kemudian. Mungkin itu
disebabkan karena Masjid Istiqamah belum punya satu idola
seperti Ir. Imaduddin dulu untuk Masjid Salman ITB. Bukhori,
anggota Dewan Pemuda Senior Masjid Al Manar bisa menuturkan
betapa Imran dahulu pada kedatangannya yang pertama diterima
para pemuda masid di Bandung -- termasuk dia sendiri. Waktu itu
Imran belum minta diakui sebagai imam, dan di pertemuan itu
hadir Ir. Bambang Pranggono, penggerak aktivitas pemuda
Istiqamah, dr. Syamsuddin, dari bidang pendidikan masjid
tersebut, di samping para pemuda Masjid Salman dan Istiqamah
sendiri.
Pertemuan itu tentunya disebabkan oleh terbukanya pintu masjid
khususnya bagi siapa saja yang dikabarkan berjuang dalam da'wah.
Tapi juga, setidaknya bagi sebagian mereka, ada kemungkinan
karena orang Istiqamah memang sedang mencari bukan hanya idola,
tapi juga imam. Dan ini adalah imam atau pemimpin agama -- bukan
imam masjid atau imam salat.
MUNGKIN kedengaran agak aneh. Tapi sebelum Imran datang, di
Istiqamah sebenarnya sudah dibentuk Usrah. Ini (kata ini
berarti: keluarga), semacam "anggota terpilih" dari seksi
pemuda, waktu itu dipimpin oleh Bambang Pranggono. Sebuah sumber
yang tak mau disebut namanya menyebutkan bahwa di tahun 1978
Usroh ini pernah maju kepada KH E.Z. Muttaqin, Ketua Majlis
Ulama Ja-Bar dan anggota Yayasan Istiqamah, KH Rusyad Nurdin,
juga sesepuh Istiqamah, dan ulama lain yakni KH Bustami Darwis
-- untuk meminta kesediaan mereka sebagai imam agama. Ditolak,
tentu saja.
Bambang sendiri sebagai pemimpin, juga tak hendak menjadi imam.
Ia bilang, ilmu agamanya "masih dangkal". Tetapi Bukhori juga
bisa menuturkan sikap keras Usrob waktu itu. Misalnya pernah
menganjurkan tidak menonton TV maupun radio, yang sedang
dipenuhi maksiat. Juga menyarankan -- dengan keras -- agar para
wanita menutup aurat. Malahan untuk itu juga memperingatkan para
murid wanita SPG Negeri, yang tempatnya berdekatan dengan
Istiqamah.
Hasilnya bagus: gerakan ini makin lama makin banyak anggotanya,
mencapai ratusan. Semuanya berkudung, sedap dipandang. Sayang,
pernah terjadi konflik antara murid dan guru karena bersitegan
soal pakaian. Di SMA Negeri III, sang gadis menuding gurunya
"kafir" -- karena memaksanya memakai pakai seragam sekolah yang
"terbuka" -- dan soal ini sampai diselesaikan oleh E.Z.
Muttaqin. Sedang di SPG para/murid yang berkudung itu kemudian
diberi kelas tersendiri.
Miftah Faridl, seorang pengajar agama di Istiqamah dan Salman,
selain dosen ITB, bisa juga menuturkan bagaimana sewaktu ia
memberi kuliah dluha (habis subuh) ia mendapat surat. Isinya:
pertanyaan apakah ia membayar zakat apakah hartanya halal dan
kenapa istrinya tidak menutup aurat.
Tapi hal-hal terakhir itu bukanlah soal yang pokok -- dibanding
misalnya soal keimaman. Imran kemudian oleh sebagian remaja
dibai'at sebagai imam, Juni 1980. Ada yang menyangka seolah
Bambang Pranggono, pemborong yang sangat salih itu, pernah juga
berbai'at. Tentu saja Bambang menolak. "Untuk apa saya mengikut
dia," katanya. "Saya kan punya akal pikiran."
Kepada TEMPO ia menegaskan: cara-cara yang ditempuh Imran tidak
Islami sama sekali. "Masakan dalam agama tidak boleh bertanya
-- padahal menambah keyakinan itu justru dengan tanya kalau
perlu debat." Lebih lagi membunuh, teror dan sebagainya, "itu
bukan cara Islam!"
Bambang juga mengingatkan betapa dulu anak buah Imran memukuli
para wanita pelacur di belakang Gedung Sate. Cara itu pun tidak
Islami -- kata Bambang.
Tapi yang menjadi pertanyaan ialah: mengapa mereka begitu ngebet
mencari imam. Sedang kebanyakan umat muslimin tidak.
Kenyataan memang menunjukkan bahwa mereka yang menginginkan
tegasnya soal imam itu (baik Islam Jama'ah, baik yang bernama
Jama'ah Muslimin Hizbullah, atau pun kalangan yang mengagumi
Abdullah Thufail di Surakarta dulu, konon), semuanya bukan orang
yang berada di bawah kewibawaan satu organisasi keagamaan yang
sudah mapan -- seperti Muhammadiyah, Persis, NU, Irsyad.
Dan itu memang bisa menunjukkan ciri kalangan besar yang
meramaikan masjid di masa-masa akhir ini. Mereka itu adalah
anak-anak yang bukan dari keturunan santri -- yang di Jawa
dikenal misalnya dengan istilah abangan. Plus mereka yang berada
dalam kultur orga-nisasi "tanpa induk" seperti PII (Pelajar
Islam Indonesia), salah satu ormas pelajar terbesar yang di masa
Orde Lama terkenal militan.
Bagi anak-anak Muhammadiyah maupun Persis, kiranya tak ada
problem imam mereka adalah pemimpin mereka. Di sini imam
fungsional sudah memenuhi kebutuhan akan "imam agama". Begitu
pun bagi anak-anak pesantren dalam tradisi NU: KH Bisri
Sjamsuri, atau rois lain, bahkan kadang "para keturunan", itulah
semuanya. Mereka cukup mencium tangan Abdurrahman Wahid,
misalnya, keturunan teras dalam NU dan aman.
Tapi perbedaan lain juga ini: masalah keimaman sebenarnya tidak
pernah dibicarakan dalam kelompok-kelompok yang lebih mapan itu.
Lewat pembicaraan ribuan kitab fiqh dari abad ke abad, keimaman
itu ternyata satu soal yang musykil, banyak diperdebatkan, dan
kalau pun dianggap perlu, sebaiknya ditunda.
Ada juga misalnya yang menganggap keimaman dalam Islam itu bukan
orang melainkan lembaga. Hamka misalnya berpendapat begitu. Juga
E.Z. Muttaqin. Dan keimaman itu pun bisa identik dengan
pemerintah. Munculnya istilah waliyyul amnidl dlaruuriy
bisy-syaukah, "pemegang perkara yang berkekuasaan penuh", di
masa Soekarno dulu, menunjukkan kemungkinan itu -- walaupun ada
yang menganggapnya salah, itu bukan dari sudut pengertian agama
-- melainkan karena melihat orangnya, yakni Soekarno yang
"abangan".
Sebaliknya, kalangan pemuda yang idak berayah" adalah produk
lingngan baru: hasil dari pengajaran da'wah secara kilat
(bahkan di sana-sini dibentuk "pesantren kilat") yang memang
dak bisa diharap memberikan pengenalan keislaman secara mendalam
dan kompleks. Apa yang mereka dapatkan malah sebuah kerangka
pokok tentang Islam jelas batas pinggirnya, jelas umatnya (yang
dipahamkan sebagai benar-benar "satu") jelas pula imamnya.
Juga PII misalnya, bukanlah ajang pengajaran agama. Mereka bisa
merupakan anak-anak paling gigih "membela" Islam. Tapi tak
jarang karena mereka memahami agama secara garis pokok. Bisa
dimengerti bila kemudian mereka cepat-cepat merasa 'ada yang
"kurang" pada pelaksanaan Islam'. Yakni imam.
Dan, konsekuensinya, mereka relatif lebih mudah terpancing oleh
provokasi. Temperamen itu boleh ditambah lagi oleh jenis
persepsi ajaran yang berbeda dengan persepsi di kalangan
anak-anak Muhammadiyah atau NU.
Di Muhammadiyah, seorang anak terutama terikat untuk,
katakanlah, memelihara ajaran yang bersih -- dari segala
takhyul dan bid'ah. Di NU, seorang muda diberi tempaan untuk
terutama mengurus kesalihan diri sendiri, demi 'keselamatannya
di alam fana dan baka. Sedang dalam kelompok lepas ini, yang
diberikan kepada mereka terutama adalah kepekaan akan posisi
Islam di dunia dan Indonesia sekarang.
Itu mungkin menumbuhkan sikap lebih dinamik. Atau keras. Atau
juga kreatif, seperti banyak terbukti. Tetapi sikap itulah yang
tidak selalu pas dengan kebutuhan maupun kemungkinan.
Karena itu tidak hanya Tatang M. Natsir, bekas aktivis PII dan
kini Sekjen Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BPKMI)
yang menyarankan perlunya usaha pengubahan persepsi alias
"indoktrinasi" itu.
Kalangan PII misalnya, dulu menekankan program pada empat pokok
akidah alias iman, jama'ah alias kesatuan umat, keimaman alias
kepemimpinan, dan khittah alias garis perjuangan. Sudah
sepantasnya itu diubah -- dan perubahan itu, yang dilaksanakan
BKPMI, adalah: akidah yang dekat dengan da'wah, akhlak,
penumbuhan intelek, dan penguasaan ketrampilan.
Dengan itu para pemuda masjid memang diharap menjadi lebih damai
-- meski mungkin memang baru harapan. Masalah-masalah yang
"hangat," masalah-masalah seperti keimaman, atau kesatuan umat
dan yang semacam, diusahakan diganti dengan usaha pembentukan
kualitas pribadi.
BKPMI sendiri organisasi baru: dibentuk baru pada 1977 di Masjid
Istiqamah Bandung, oleh tokoh-tokoh seperti Toto Tasmara yang
waktu itu jadi Ketua Umumnya, dan jangan lupa Bambang Pranggono
yang jadi Seyen, di samping Anwar yang sekarang jadi Ketua umum.
Bahwa dalam perjalanannya yang singkat telah terjadi perbenturan
di dalam, terlihat pula. Misalnya remaja Masjid Al Azhar
Jakarta, di bawah Jimly Ash Shiddieqy, tidak bersedia bergabung
pada periode yang dulu yang dalam anggapan mereka mungkin
"politis".
Memang tak begitu aneh bila sebagian remaja agak "tak suka
politik". Anwar misalnya, yang jadi Ketua Umum untuk periode
1401-1404 Hijri (1980-1983), menyebut hal yang dianggapnya
contoh persepsi keagamaan yang bersemangat politik praktis --
dulu. Misalnya: BKPMI pernah membuat pernyataan tentang
Afghanistan. Bahkan tentang Kebatinan, di tahun 1978.
"Itulah antara lain yang menyebabkan adanya tuduhan BKPMI ini
politis," kata sarjana da'wah IAIN Jakarta itu. Meskipun, "tidak
berarti studi politik terlarang bagi kami."
Sebaliknya pernyataan yang dianggap pantas diedarkan oleh sebuah
perkumpulan remaja masjid, adalah seperti yang misalnya terdapat
dalam edaran-edaran BKPMI beberapa waktu lalu -- yang isinya
seruan agar anggota mereka menghindarkan diri dari kelompok
Imran dan sebangsanya.
Belum bisa diramalkan tentunya, benarkah wadah ini akan efektif.
Toh mereka optimistis: dengan jumlah anggota lebih dari 2.000
organisasi remaja masjid, yang segera akan mereka adakan dalam
waktu dekat misalnya kursus kader koperasi dan wiraswasta.
Dalam bahasa Tatang, sang Sekjen, yang seharusnya ditekankan
bagi remaja masjid memang bukan 'kerangka Islam'. Melainkan
"nilai-nilai Islam yang harus diamalkan dan diwujudkan dalam
wadah apa saja."
Syukurlah kalau itu tidak terlalu muluk. Mereka tampaknya memang
sadar, seperti dikatakan Tatang lagi, "sebenarnya tidak ada
apa-apa, kalau tidak ada pancingan". Namun mereka juga mengerti
perlunya menyiapkan ikan-ikan yang tak lagi gampang dipancing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini