PARA peternak sapi di Gunung Kidul J kabarnya resah. Sejak
Agustus lalu, hampir tiap hari mereka mendatangi Kantor Dinas
Peternakan Kabupaten Gunung Kidul yang terletak di Wonosari
untuk mengadu. Keluhan mereka sama: sapi mereka tidak bisa
bunting.
Marto Suwarto, salah seorang pengadu, bersungut pekan lalu,
"Banyak kerugian saya sejak memelihara sapi sial itu."
Diperkirakannya, seandainya biaya perawatan dan makanan sapi per
hari Rp 500, ia sudah dirugikan Rp 250.000 karena telah
memelihara sapi tersebut sekitar 500 hari. "Lagi pula sapi itu
galak dan liar, juga tidak bisa dimanfaatkan untuk membajak,"
katanya.
"Sapi sial" yang dimaksud adalah sapi Australia yang diperoleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul lewat jatah Proyek
Ternak Impor Dana Khusus (PTIDK). Sapi "khusus" ini datang ke
Gunung Kidul sejak Januari 1982 sebanyak 850 ekor dari jenis
tersohor Brahman pure, 100 di antaranya pejantan.
"Pada mulanya kami gembira menerima jatah sebanyak itu," kata
Drh. Suparto Hendrosubroto, kepala Dinas Pcternakan Gunung
Kidul. "Sekarang sebaliknya. Kami pusing memikirkan sapi impor
lni." Yang memusingkannya: para petani tak menggubris
penjelasannya bahwa sapi mereka belum tentu mandul.
Sapi PTIDK ini dipelihara oleh para petani, yang harus mendapat
rekomendasi iurah setempat, dengan sistem gaduh. Tiap pemelihara
diwajibkan menyetor dua ekor anak sapi dalam waktu lima tahun.
Setelah itu sapi tersebut bisa dimiliki pemeliharanya. Untuk
pejantan, pemeliharanya cukup membayar dengan 30% dari harga
pejantan itu setelah lima tahun.
Tatkala didatangkan ke Indonesia, sapi itu rata-rata berumur 1,5
sampai 2 tahun. Sapi normal akan melahirkan pada umur 3 sampai
3,5 tahun. Namun, sampai Oktober ini, sapi-sapi yang sudah
berusia sekitar 4 tahun itu belum juga mau hamil. Memang ada 44
ekor yang telah melahirkan, tapi itu karena telah bunting sejak
dari Australia. Ini yang membuat para petani resah. Lebih
lagi 39 ekor telah mati, 3 di antaranya pejantan. Suatu tingkat
kematian yang terbilang tinggi.
Untuk mengatasi masalah ini, suatu tim penanggulangan segera
dibentuk. Pada 22 September diputuskan: jika sapi sudah
dikawinkan empat kali belum juga bunting, para pemelihara bisa
meminta sapinya ditukar dengan sapi lokal. Diperkirakan, sampai
batas waktu lapor 5 Oktober, paling tidak 75% dari pemelihara
akan meminta ganti sapi lokal.
Tapi benarkah sapi impor itu mandul? Drh. Prabowo, ketua Tim
Peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, membantah. Setelah
meneliti selama dua pekan, timnya tidak menemukan kejanggalan
pada alat reproduksi sapi impor itu. "Cuma dari penelitian itu
diketahui bahwa sapi jenis Brahman itu mempunyai gejala birahi
aneh, yakni silent heat," ujarnya.
Gejala birahi-tenang itu sulit diketahui. "Birahi itu sering
muncul di malam hari hingga pemilik sapi tidak mengetahui,"
kata Prabowo.Masa birahinya pun singkat, hanya 18 jam. Sapi
impor itu dinilainya juga belum terbiasa dengan lingkungannya.
Di Australia, sapi-sapi itu dilepas bebas di ranch hingga
perkawinan berlangsung lancar.
Penyebab birahi-tenang, menurut kesimpulan Prabowo, antara lain
karena faktor nutrisi. "Kadar gizi makanan yang diberikan di
Gunung Kidul rendah karena hanya jerami. Seharusnya daun turi
atau lamtoro gung," kata Prabowo. Ia menganggap penyuluhan
pada para petani masih kurang.
Untuk mengatasi masalah ini, Prabowo dan timnya mengusulkan dua
cara: peningkatan nutrisi dan "gertak birahi". Caranya: sapi
disuntik dengan preparat Prosta glandin F2 Alfa, guna merangsang
birahi sapi. "Birahi akan muncul selang 72 sampai 96 jam," kata
Prabowo. Cara kedua ini ternyata ditolak petani karena biayanya
mahal. Harga per dosis Rp 8.000. Sekali suntik dua dosis berarti
Rp 16.000.
Belum jelas bagaimana nasib sapi-sapi impor tersebut. .Yang
pasti, pemerintah daerah akan menggantinya dengan sapi lokal.
"Soal penggantiannya tinggal tunggu waktu," kata Suparto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini