Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Itu birahi tenang

Peternak sapi di gunung kidul mengeluh, karena sapi impor jenis brahman dari australia tidak bisa bunting. pemerintah daerah akan menggantikan dengan sapi lokal. (nas)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA peternak sapi di Gunung Kidul J kabarnya resah. Sejak Agustus lalu, hampir tiap hari mereka mendatangi Kantor Dinas Peternakan Kabupaten Gunung Kidul yang terletak di Wonosari untuk mengadu. Keluhan mereka sama: sapi mereka tidak bisa bunting. Marto Suwarto, salah seorang pengadu, bersungut pekan lalu, "Banyak kerugian saya sejak memelihara sapi sial itu." Diperkirakannya, seandainya biaya perawatan dan makanan sapi per hari Rp 500, ia sudah dirugikan Rp 250.000 karena telah memelihara sapi tersebut sekitar 500 hari. "Lagi pula sapi itu galak dan liar, juga tidak bisa dimanfaatkan untuk membajak," katanya. "Sapi sial" yang dimaksud adalah sapi Australia yang diperoleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul lewat jatah Proyek Ternak Impor Dana Khusus (PTIDK). Sapi "khusus" ini datang ke Gunung Kidul sejak Januari 1982 sebanyak 850 ekor dari jenis tersohor Brahman pure, 100 di antaranya pejantan. "Pada mulanya kami gembira menerima jatah sebanyak itu," kata Drh. Suparto Hendrosubroto, kepala Dinas Pcternakan Gunung Kidul. "Sekarang sebaliknya. Kami pusing memikirkan sapi impor lni." Yang memusingkannya: para petani tak menggubris penjelasannya bahwa sapi mereka belum tentu mandul. Sapi PTIDK ini dipelihara oleh para petani, yang harus mendapat rekomendasi iurah setempat, dengan sistem gaduh. Tiap pemelihara diwajibkan menyetor dua ekor anak sapi dalam waktu lima tahun. Setelah itu sapi tersebut bisa dimiliki pemeliharanya. Untuk pejantan, pemeliharanya cukup membayar dengan 30% dari harga pejantan itu setelah lima tahun. Tatkala didatangkan ke Indonesia, sapi itu rata-rata berumur 1,5 sampai 2 tahun. Sapi normal akan melahirkan pada umur 3 sampai 3,5 tahun. Namun, sampai Oktober ini, sapi-sapi yang sudah berusia sekitar 4 tahun itu belum juga mau hamil. Memang ada 44 ekor yang telah melahirkan, tapi itu karena telah bunting sejak dari Australia. Ini yang membuat para petani resah. Lebih lagi 39 ekor telah mati, 3 di antaranya pejantan. Suatu tingkat kematian yang terbilang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, suatu tim penanggulangan segera dibentuk. Pada 22 September diputuskan: jika sapi sudah dikawinkan empat kali belum juga bunting, para pemelihara bisa meminta sapinya ditukar dengan sapi lokal. Diperkirakan, sampai batas waktu lapor 5 Oktober, paling tidak 75% dari pemelihara akan meminta ganti sapi lokal. Tapi benarkah sapi impor itu mandul? Drh. Prabowo, ketua Tim Peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, membantah. Setelah meneliti selama dua pekan, timnya tidak menemukan kejanggalan pada alat reproduksi sapi impor itu. "Cuma dari penelitian itu diketahui bahwa sapi jenis Brahman itu mempunyai gejala birahi aneh, yakni silent heat," ujarnya. Gejala birahi-tenang itu sulit diketahui. "Birahi itu sering muncul di malam hari hingga pemilik sapi tidak mengetahui," kata Prabowo.Masa birahinya pun singkat, hanya 18 jam. Sapi impor itu dinilainya juga belum terbiasa dengan lingkungannya. Di Australia, sapi-sapi itu dilepas bebas di ranch hingga perkawinan berlangsung lancar. Penyebab birahi-tenang, menurut kesimpulan Prabowo, antara lain karena faktor nutrisi. "Kadar gizi makanan yang diberikan di Gunung Kidul rendah karena hanya jerami. Seharusnya daun turi atau lamtoro gung," kata Prabowo. Ia menganggap penyuluhan pada para petani masih kurang. Untuk mengatasi masalah ini, Prabowo dan timnya mengusulkan dua cara: peningkatan nutrisi dan "gertak birahi". Caranya: sapi disuntik dengan preparat Prosta glandin F2 Alfa, guna merangsang birahi sapi. "Birahi akan muncul selang 72 sampai 96 jam," kata Prabowo. Cara kedua ini ternyata ditolak petani karena biayanya mahal. Harga per dosis Rp 8.000. Sekali suntik dua dosis berarti Rp 16.000. Belum jelas bagaimana nasib sapi-sapi impor tersebut. .Yang pasti, pemerintah daerah akan menggantinya dengan sapi lokal. "Soal penggantiannya tinggal tunggu waktu," kata Suparto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus