Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga atau FK Unair mendapat sorotan setelah dekannya, Profesor Budi Santoso atau kerap disapa Prof Bus, dicopot dari jabatannya oleh Rektor Unair, Muhammad Nasih. Pencopotan tersebut ditengarai karena Prof Bus menolak program pemerintah mendatangkan dokter asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FK Unair adalah salah satu FK tertua di Indonesia. Dikutip dari laman resmi FK Unair, sejarah FK Unair dimulai dari berdirinya perguruan tinggi di Indonesia. Saat itu pemerintah Hindia Belanda membangun sekolah untuk pendidikan dokter di Jawa, “Dokter Djawa School” (Sekolah Dokter Jawa), di Batavia (kini Jakarta) pada 1851.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekolah tersebut menjadi poros pendidikan kedokteran di Indonesia. Setelah berjalan beberapa waktu, pemerintah Hindia Belanda melihat semakin bertambahnya kebutuhan dokter untuk kepentingan kesehatan dan rumah sakit mereka. Akhirnya pada 1902 lembaga itu direorganisasi menjadi School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA).
STOVIA, yang saat ini menjadi FK UI, dalam beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1913, membuka cabang sekolah kedokteran di wilayah Surabaya. Surabaya dipilih karena lokasinya yang strategis dan pusat industri sehingga memerlukan tenaga kesehatan yang lebih banyak lagi.
Kemudian dibangulah Sekolah Dokter di Surabaya bernama Netherlandsch Indische Artsen School (NIAS) lewat Keputusan Pemerintah “Besluit van de Gouverneur van Netherlandsch Indie” Nomor 4211 tanggal 8 Mei 1913. Sekolah kedokteran tersebut berlokasi di Jalan Kedungdoro 38 Surabaya.
NIAS diresmikan pada 1 Juli 1913, sedangkan kegiatan belajar mengajarnya dimulai pada 15 Juli 1913. Tak hanya membuka untuk pendidikan kedokteran umum, pada 1928 didirikan juga School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) sebagai sekolah pendidikan kedokteran gigi.
Selama bertahun-tahun NIAS dan STOVIT telah meluluskan dokter-dokter yang mengabdi untuk masyarakat. Baik mereka dari keturunan Belanda, campuran, maupun bumiputera.
Sayangnya, pada masa kedatangan Jepang pada 1942, baik STOVIA di Jakarta dan NIAS di Surabaya, dihentikan sementara. Pada masa itu Jepang ingin membentuk tenaga kesehatan guna kepentingan perang dan akhirnya membuka kembali sekolah kedokteran yang dilebur menjadi “Ika Dai Gaku”.
Masa kolonial tak berlangsung lama. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengambil alih seluruh sekolah tinggi, termasuk NIAS dan STOVIT, lalu mengganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran RI.
Namun, pada masa agresi Belanda pada 1948 diganti dengan Faculteit der Geneeskunde Cabang Surabaya sebagai cabang Fakultas Kedokteran Universitet Indonesia. Pimpinan saat itu dijabat oleh Prof. A.B. Droogleever Fortuyn, pakar ilmu hewan dan genetika. Kemudian pada 1949 diganti oleh pakar biokirnia dan ilmu faal, Prof. Dr. G.M. Streef.
Setelah Indonesia mendirikan pemerintahan Republik, akhirnya pada 1949 pemerintah Belanda memberikan pengelolaan sekolah tinggi sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia mempunyai tiga fakultas kedokteran, yaitu di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta (yang menyusul mendirikan Universitet Gajah Mada termasuk Fakultet Kedokterannya telah didirikan 1949).
Saat itu FK cabang Surabaya baru memulai pendidikan dan mahasiswanya baru di tingkat II, yang sebagian besar dari Faculteit der Geneeskunde. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, menteri pendidikan saat itu, Muhammad Yamin, ingin mendirikan perguruan tinggi dan Surabaya menjadi kota yang strategis karena sudah ada beberapa fasilitas pendukung. Apalagi dengan adanya NIAS yang sudah memiliki banyak laboratorium untuk mendukung kegiatan perkuliahan.
Pada 1955, lewat Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 Tahun 1954 tentang Pendirian Universitas Airlangga, per tanggal 1 November 1954, Fakultas Kedokteran dan Lembaga Ilmu Kedokteran Gigi di Surabaya berdiri sendiri dan berpisah dari Universitas Indonesia.
Tepat pada 10 November 1954, Presiden Soekarno meresmikan berdirinya Universitas Airlangga sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ketiga di Indonesia setelah Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Satu paket dengan itu, Fakultas Kedokteran di Surabaya menjadi bagian dari Universitas Airlangga.