Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Sunyi Menjadi Tentara

Bekas anggota GAM bersenjata kini boleh bergabung dengan TNI. Ada yang lebih suka jadi pegawai negeri.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI dia akan menjadi seorang veteran pemberontak, berita dari Jakarta itu masih belum menarik hatinya. Abdul Hadi bin Abdullah, 26 tahun, hanya memegang dagu sambil menimbang kesempatan menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia serdadu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sudah enam tahun bergerilya di Aceh Utara.

Hadi turun gunung tak lama setelah perdamaian Aceh ditandatangani di Helsinki, Finlandia, Agustus lalu. Ditemui di Banda Aceh, rambutnya masih panjang menyentuh bahu. Badannya tampak cukup sehat. Dia berkunjung ke markas GAM di Lampriek, Banda Aceh, Rabu pekan lalu. ”Mengunjungi sanak saudara di sini,” katanya.

Pekan lalu, sebetulnya ada berita bagus buat Hadi dan kawan-kawan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 2005, pada 15 November lalu, yang mengatur pelaksanaan nota kesepahaman antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka. Perintah itu dibuat berdasarkan Perjanjian Helsinki.

Instruksi ini membuka jalan bagi gerilyawan GAM bergabung dengan TNI. Dalam satu butir keputusan itu, Presiden memerintahkan Panglima TNI memberi kesempatan kepada bekas anggota GAM menjadi tentara organik di Aceh, tanpa diskriminasi.

Tentu, proses itu dilakukan sesuai dengan standar penerimaan prajurit TNI. Perintah yang sama juga diberikan kepada Kepala Polri. Presiden meminta Polri menampung bekas gerilyawan GAM yang mau menjadi polisi organik di Aceh.

Selain Panglima TNI dan Kapolri, instruksi itu juga berlaku bagi jajaran Kabinet Indonesia Bersatu. Misalnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) mendapat tugas tambahan, mengungkap jaringan bawah tanah yang berusaha menggagalkan pelaksanaan nota kesepakatan. Sedangkan Menteri Dalam Negeri, bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, diperintahkan menyusun semua peraturan, termasuk Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

Markas Besar TNI juga tak keberatan dengan peluang bergabungnya GAM ke TNI itu. Juru bicara Mabes TNI, Mayor Jenderal Kohirin Sugandasaputra, mengatakan tentara selalu siap melaksanakan keputusan pemerintah. Meski GAM pernah angkat senjata melawan Republik, TNI tak punya beban psikologis menerima mereka. ”Tidak masalah,” ujarnya, Senin pekan lalu.

Yang pasti, semua perintah Presiden itu akan dijabarkan lagi oleh Panglima TNI. ”Penjabaran akan disampaikan lewat Asisten Operasional Mabes TNI,” kata Kohirin.

Riwayat sayap militer GAM berangkat dari strategi gerilya. Awalnya, mereka tak terlalu menonjolkan gerakan bersenjata. Seperti ditulis oleh pemimpin puncak GAM, Teungku Hasan di Tiro, saat dia memulai pemberontakan itu pada 4 Desember 1976, mereka lebih mengutamakan membangkitkan ”kesadaran politik” bangsa Aceh.

”Kami hanya punya beberapa pucuk senjata,” ujar Hasan di Tiro dalam catatan hariannya, The Price of Freedom: Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, yang terbit di Kanada pada 1984.

Seorang bekas tokoh GAM di Bireuen mengisahkan, gerakan bersenjata mulai gencar dilakukan sejak akhir 1980-an. ”Terutama setelah mereka yang dilatih di Libya kembali ke Aceh,” katanya. Pada masa itu, sejumlah pemuda Aceh yang kabur ke Malaysia dan Singapura direkrut untuk latihan militer di negeri gurun itu. Mereka lalu menjadi perintis serangan gerilya di Aceh.

Latihan militer ke Libya, kata sumber GAM, berlangsung secara bergelombang pada 1986-1989. Selama itu, GAM telah mendidik sekitar 800 orang tentang taktik gerilya, senjata, dan teknik para komando. Seusai latihan, tak semua ”kader Libya” itu pulang ke Aceh.

Ada yang tersangkut di Malaysia dan tak bisa masuk ke Aceh. Tapi ratusan lainnya berhasil menyusup ke Aceh. Panglima GAM Muzakkir Manaf boleh disebut angkatan pertama Libya. Tokoh lainnya adalah Darwis Jeunieb dan Ridwan Abu Bakar. Rata-rata mereka jebolan Maktabah Tajurra, kamp latihan militer GAM di negeri Muammar Qadhafi itu.

Sampai dengan penandatanganan perdamaian, kata sumber GAM itu, jumlah kader Libya tak banyak lagi. ”Sebagian besar tewas akibat kontak senjata, sebagian lagi menyeberang kembali ke Malaysia,” ujarnya. Puluhan lainnya bertahan dan mendidik kader baru.

Di Aceh Timur, misalnya, kata sumber itu, kader baru digembleng oleh Ishak Daud, bekas Panglima Operasi GAM wilayah Peureulak. Ishak tewas pada September tahun lalu. Dia tercatat lulusan Libya angkatan pertama.

Sebelum Perjanjian Helsinki, GAM masih memakai kurikulum pendidikan militer Libya sebagai standar pengkaderan. Misalnya, dalam baris-berbaris, semua perintah masih memakai bahasa Arab. Cara mereka berbaris juga mirip tentara Libya. ”Misalnya berjalan dengan dagu tegak, dan bergerak serempak dengan irama kaki yang dilambungkan tinggi-tinggi ke depan,” ujar sumber itu.

Kader baru, seperti Hadi, jelas bukan lulusan Libya. Hadi bergabung dengan GAM sejak tamat SMA, enam tahun lalu. Sejak itu, hidupnya bergerilya sambil menyandang senapan AK-47. Sebentar lagi, berdasarkan perjanjian damai, ia tak lagi menjadi tentara GAM. Ia veteran pada usia muda. Celakanya, dia tak punya keahlian apa-apa.

Meskipun belum mendapat pekerjaan, Hadi tak berminat bergabung dengan TNI atau Polri. ”Dulu saya melawan TNI,” katanya, ”Sulit bagi saya bergabung ke sana.” Sebab lain, ia tak ingin memegang senjata lagi.

Ia juga masih menanggung beban psikologis. Itu sebabnya, kalau boleh memilih, dia lebih suka menjadi pegawai negeri sipil. Tapi, ”Kalau masuk pegawai, katanya harus ada uang sogokan,” ujarnya. Padahal dia tak punya uang.

Gerilyawan lainnya, Darmansyah, 34 tahun, juga tak berniat bergabung dengan TNI. Anggota GAM wilayah Aceh Rayeuk (Aceh Besar) itu tak sedikit pun berniat melamar. Selain bayangan konflik belum hilang dari ingatannya, juga soal teknis. ”Pokoknya, tidak mungkin saya menjadi TNI,” ujarnya. Apalagi, dari segi umur, dia memang sudah tak masuk standar.

Soal ini sendiri sebetulnya juga belum diputuskan pemimpin GAM Swedia. Menurut juru bicara GAM Swedia, Bakhtiar Abdullah, soal GAM masuk tentara ini akan menunggu keputusan akhir Komando Peralihan Aceh (KPA). Komando itu dibentuk untuk menangani peralihan pasukan Tentara Nasional Aceh—sebutan untuk sayap militer GAM—menjadi sipil. ”KPA nanti akan memberikan pemikiran kepada bekas gerilyawan,” ujarnya.

Sampai pekan lalu, belum terdengar keputusan komando yang tetap dipimpin Panglima GAM Muzakkir Manaf itu. Mereka, kata Bakhtiar, sedang menyiapkan struktur koordinasi baru. Setelah Desember nanti, menurut Perjanjian Helsinki, sayap militer GAM akan bubar. ”Wadah komando itu akan mengatur bekas gerilyawan dalam soal reintegrasi,” ujar Bakhtiar di Banda Aceh, Selasa pekan lalu.

Meski jalan sudah terbuka, agaknya itu akan menjadi jalan sunyi. Tak semua gerilyawan berminat, dan banyak juga yang tak memenuhi standar. Belum lagi ganjalan dari Jakarta. Misalnya, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Aria Bima, meminta syarat penerimaan GAM ke TNI itu harus ketat. ”Jangan sampai ideologi Aceh Merdeka ikut terbawa,” ujarnya.

Nezar Patria, Adi Warsidi, Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus