DI Sulawesi Tenggara transmigrasi dimulai sejak tahun 1968.
Hingga akhir 1976 penduduk pendatang di sana sudah berjumlah
5.807 KK atau 24.296 jiwa. Angka ini tentu belum apa-apa bagi
Iuas propinsi yang 38.000 Km dengan penduduk sckitar 800.000
jiwa. Walaupun baru-baru ini sebanyak 19 KK didatangkan dari
Yogyakarta sebagai tranmigrasi udara.
Karena itu agaknya untuk waktu-waktu dekat ini Propinsi Sulawesi
Tenggara masih tetap termasuk wilayah yang membuka pintu
lebar-lebar bagi kaum pendatang. Namun ini tak berarti bahwa
daerah ini sudah seluruhnya siap menyambut kedatangan mereka.
Masalah pokok yang masih dihadapi propinsi ini tentulah
prasarana jalan, terutama untuk mengembangkan kantong-kantong
produksi di daerah transmigrasi itu dengan sekitarnya.
Di seluruh propinsi ini baru sepanjang 17 Km jalan (negara)
menghubungkan Kendari di pantai timur dan Kolaka di pantai
barat yang sudah diaspal. Ada pula yang lain, yaitu antara
lapangan terbang Wolter Monginsidi ke Kendari dan dari Kendari
ke Laimia. Selebihnya terdiri dari jalan tanah atau berbatu
yang akan berantakan bila sedikit saja tersiram hujan.
Tak mengherankan bila harga hasil bumi di tiap kota kabupaten
cukup menyolok dibanding harga asalnya di pedalaman. Harga beras
di Ladongi hanya Rp 75 per liter misalnya, di Kendari sudah jadi
Rp 200. Padahal seperti dikatakan Ketua DPRD Sulawesi Tenggara
drs. Abullah, produksi yang dicapai para transmigral1 bisa
melimpah tapi pemasarannya perlu pemecahan. Semua menyangkut
keadaan jalan yang masih perlu dibenahi, meskipun propinsi ini
terkenal sebagai penghasil aspal Buton.
Transmigran DKI
Tapi tak hanya persoalan jalan buruk yang menghambat kemajuan
para penduduk pendatang di daerah ini. Tak kalah pentingnya
masalah pelaksanaan kebijaksanaan transmigrasi itu sendiri.
Seperti diungkapkan ir. Martha Yudadibrata dari Kanwil
Transmigrasi Sulaesi Tenggara, pelaksanaan policy transmigrasi
tidak sinkron. Contohnya tanah sudah dicangkul tapi bibit belum
ada. Jika bibit sudah datang, pembagiannya sering tak merata.
Belum lagi soal irigasi yang sering menjengkelkan transmigran
karena sang air tak kunjung mengalir di saluran, apa lagi untuk
membasahi tanaman mereka.
Lebih dari semua itu, problem diantara para transmigran itu
sendiri bukannya tak ada. Transmigran dari DKI Jakarta misalnya
sering disebut sebagai biang kekerokan di beberapa lokasi.
Walaupun hanya dalam bentuk pencurian-pencurian kecil.
"Transmigran dari DKI dikirim tidak dengan persiapan yang mantap
ke mari," ujar Harsono Kakanwil Transmigrasi Sulawesi Tenggara.
Mereka, tambah Harsono, kalau mencangkul merasa seperti dihukum.
Lalu kalau ada pekerjaan di kota ramai-ramai meninggalkan sawah
atau ladang.
Tapi, komentar Dirjen Transmigrasi Sutijab Sukaddis, jangan
begitu saja menyalahkan transmigran dari DKI, teliti dulu apa
yang salah. "Mungkin seleksinya yang salah, maka sistemnya harus
diperbaiki" tambah Sutijab. Sebah yang terbilang nakal bukan
dari DKI saja. Transmigran asal Jawa Timur tak kalah. Pacul atau
kelambu mereka jual untuk pergi ke Kenduri. Selain mencopet ada
pula yang buka praktek WTS. Tanah mereka tinggalkan tak
tergarap. Dan meskipun terhadap yang nakal-nakal ini dikenakan
pengketatan surat jalan tahu-tahu suatu ketika mereka sudah
muncul di Jakarta. Entah bagaimana caranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini