SEBUTLAH Pongphan Likanasudh Ping Hui-er, sekretaris sebuah perusahaan penerbitan di Bangkok. Apakah si empunya nama ini orang Thai atau Cina? Ternyata, Pongphan, 35 tahun, adalah generasi kedua keturunan Cina di Muangthai. Kakeknya berasal dari Kanton. Ayahnya. Ping, masih memakai nama Cina. Namun, "Ayah mengubah nama Cina saya," ujar Pongphan. Likanasudh adalah nama keluarga suaminya, seorang pegawai negeri yang setengah Cina. Selain nama, tempat tinggal dan gaya hidup juga membedakan Pongphan dengan orangtuanya. Ping dan istrinya tinggal di kampung Cina, Lorong Sampeng di kawasan Yaowarat di barat Bangkok. Namun, Pongphan menetap di Sumkhuvit, jauh dari kampung Cina. Pongphan sudah meninggalkan busana khas Cina, celana panjang dan blus Cina hitam, yang tetap dikenakan ibunya. Namun, Pongphan yang sudah tak bisa berbahasa Cina ini masih memegang teguh ikatan ke kerabatan keluarga Cina yang dikenal sangat erat. Ia aktif dalam perkumpulan keluarga besar Ping. Keturunan Cina seperti, Pongphan kini ditaksir berjumlah separuh dari delapan juta penduduk Bangkok. Atau sekitar 15% dari penduduk Muangthai. Mereka, bisa dikenali dari namanya yang terdengar kurang Thai. Juga masih sering terdengar seloroh, "Yang sukses pasti keturunan Cina." Di luar itu, tak begitu mudah membedakan keturunan Cina dengan pribumi Muangthai. Dalam soal kebangsaan, misalnya, keturunan Cina seperti Pongphan dengan tegas berkata, "Saya merasa berkebangsaan Thai penuh. Jika diharuskan, saya rela membela tanah air ini sampai mati." Ia punya persamaan penting dengan penduduk pribumi Thai: mereka sama-sama beragama Budha. Persamaan agama inilah agaknya yang merupakan faktor utama mulusnya pembauran di Thai. Keturunan Cina di Thai sudah sampai di kabinet. Bichai Rattakul, Ketua Partai Demokrat dan bekas Wakil Perdana Menteri dalam pemerintahan koalisi Chatichai Choonhavan, mengaku berdarah Cina. Begitu juga Chatichai Choonhavan. Thanat Khoman, bekas Menlu Muangthai yang turut membentuk ASEAN hampir seperempat silam, diketahui bermarga Tan. Kukrit Pramoj, bekas perdana menteri dan anggota Kerajaan, masih memperingati hari-hari besar Cina. Gubernur Bangkok Chamlong belum lama ini mengunjungi sebuah desa di Cina daratan. Tujuannya, mencari jejak nenek moyangnya. Boleh dikatakan di kawasan Asia Tenggara, Muangthai, negeri yang tak pernah dijajah, adalah contoh sukses pembauran antara keturunan Cina dan pribumi. Alkisah, mereka mulai merantau ke Negeri Gajah Putih pada abad ke-18. Mulanya, para perantau itu dipakai kalangan pejabat istana sebagai perpanjangan tangan mereka. Antara lain sebagai tukang pungut pajak yang bekerja untuk kaum ningrat. Pada abad ke-19, gelombang besar buruh kasar Cina masuk untuk bekerja di proyek-proyek Raja Chulalongkorn. Mereka kemudian kawin dengan gadis-gadis Thai. Dalam waktu singkat, menurut Pemred The Bangkok Post, Paisal Sricharatchanya, masyarakat Cina-Thai menonjol dalam dunia bisnis. Banyak bank swasta terkemuka, termasuk Bangkok Bank, dimiliki keturunan Cina. Padahal, Chin Sophonpanich, pendiri bank swasta terbesar di Asia Tenggara itu, ketika tiba di Thai memulai kariernya sebagai pedagang kelontong. Di dunia pendidikan juga terasa adanya kesenjangan. Jumlah mahasiswa keturunan Cina menonjol di universitas negeri seperti Chutalongkorn dan Thammasat terutama di fakultas kedokteran dan teknik. Yang pribumi kebanyakan masuk di universitas yang mutunya lebih rendah. Akibatnya, memang ada rasa anti-Cina walaupun, menurut Paisal, "Muncu]nya secara sporadis pada waktu tertentu dan tak bertahan lama." Kasus anti-Cina meledak ketika Jenderal Pibul Songkram berkuasa (1938-1944 dan 1948-1957). Sekolah Cina ditutup, keturunan Cina dilarang bekerja di lembaga pemerintah dan angkatan bersenjata. Ketika RRC dicurigai mendukung kegiatan Partai Komunis Muangthai, pada periode 1950-an sampai 1970-an, rezim Jenderal Thanom Kittikachorn membentuk undang-undang yang melarang keturunan Cina ikut memilih dalam Pemilu 1969. Tindakan keras pihak militer menutup sekolah Cina ternyata dianggap mempercepat pembauran. "Generasi Cina ketiga atau keempat seperti saya tak bisa lagi menulis dan membaca bahasa Cina. Ciri khas Cina lainnya makin menipis," kata Paisal. Mungkin ini dampak yang tak diperhitungkan militer, tapi kek- hawatiran militer pada keturunan Cina masih terasa. Akademi militer Chulachomkhlao sampai kini hanya menerima calon-calon keturunan Cina dari generasi ketiga. Di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, tak ada satu pun pasal yang membeda-bedakan antara keturunan Cina dan pribumi. Namun, dalam praktek kehidupan sehari-hari, masih terjadi pembedaan rasial. Toh Dr. Srisakra Vallibhotama, guru besar pada Universitas Silpakorn di Bangkok, beranggapan bahwa proses pembauran di Muangthai cukup maju. Namun, itu hanya pada keturunan Cina yang tak tergolong kaya. "Mereka lebih nasionalis daripada keturunan Cina yang kaya," katanya. Cina totok di Muangthai? Data terakhir mencatat jumlah mereka tinggal sekitar 250 ribu, dan menghuni pecinan Sampeng di Distrik Yaowarat, Bangkok. Di kawasan 10 km2 budaya dan adat Cina daratan masih terlihat. Sampeng, boleh jadi, adalah benteng terakhir Cina daratan di Muangthai. Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini