Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jangan jadi tembok baru

Kini istilah bersih diri dan bersih lingkungan digantikan keterpengaruhan. anak muda yang lahir setelah 1965 dapat divonis terlibat pki jika pola pi kir dan perbuatannya senada dengan komunis.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Mabes ABRI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis pekan lalu, telah diluncurkan istilah baru: keterpengaruhan. Dari segi estetika bahasa, "keterpengaruhan" mungkin terasa agak kurang enak diucapkan lidah, tapi di hari-hari mendatang istilah baru itu pastilah akan banyak diucapkan orang. Soalnya, "keterpengaruhan" ini dimunculkan untuk menggusur istilah "bersih diri" dan "bersih lingkungan", yang sudah cukup lama populer. Kedua istilah itu, menurut Pangab Jenderal Try Sutrisno "rancu dan tidak pernah secara resmi dibakukan." Maka, "keterpengaruhan" pun pekan lalu disebut berulang-ulang oleh Jenderal Try ketika membuka Rapat Koordinasi Bakorstanas di Mabes ABRI Cilangkap. Amanat Jenderal Try itu menjelaskan perihal juklak (petunjuk pelaksanaan) bagaimana departemen/instansi pemerintah dan Bakorstanasda menangani penelitian khusus (litsus), alias skrining, di kalangan pegawai negeri. Juklak bernomor 01/Stanas/VII/1990, dan bertanggal 9 Juli 1990 itu merupakan aturan pelengkap dari Keppres Nomor 16 Tahun 1990, yang terbit 17 April lalu. Keppres itu, antara lain, memuat perlunya litsus terhadap pegawai negeri, mengenai keterlibatannya dalam G30S-PKI dan organisasi terlarang lainnya yang berkaitan dengan itu. Litsus tadi dilaksanakan oleh departemen atau instansi secara fungsional -- tak lagi oleh lembaga semacam Laksus Kopkamtib yang memang sudah tak ada lagi. Kendati tak lagi terjun secara langsung, Bakorstanas, yang menggantikan Kopkamtib, masih terlibat dalam pembinaan pelaksanaan litsus di setiap departemen, instansi BUMN tertentu, dan lembaga negara. Tak mengherankan jika penjelasan juklak litsus itu dibarengkan dengan pembukaan Rakor Bakorstanas, yang dihadiri oleh pimpinan organ litsus dari semua departemen dan instansi pemerintah. Jenderal Try juga mengingatkan, litsus diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya laten, infiltrasi sisa-sisa G30S-PKI, atau penyusupan penganut Marxisme-Leninisme-Komunisme di jajaran pemerintahan dan posisi-posisi penting lainnya. Masalahnya sekarang adalah mencari ukuran untuk "memvonis" seseorang sebagai antek PKI. Dalam siaran persnya, Pusat Penerangan ABRI menyebut tiga ukuran. Pertama: kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah. Kedua: keterlibatan dalam aksi G30S-PKI, dan ketiga: keterpengaruhan terhadap G30S -PKI. Berkenaan dengan itu, kata Try Sutrisno, "Siapa saja yang menunjukkan sikap, ucapan, dan tulisan, atau perbuatan yang senada, atau menguntungkan garis strategi PKI, dapat dinyatakan terlibat atau terpengaruh oleh G30S-PKI". Dengan begitu, pengaruh ideologi PKI akan terus diwaspadai. "Sebab, setiap interaksi dalam pergaulan akan menimbulkan keterpengaruhan, dan tak ada manusia yang kedap terhadap pengaruh masyarakat sekitarnya," tambah Tri. Dengan begitu anak muda yang lahir setelah 1965 bisa saja divonis terlibat PKI. Dengan catatan, "Dia punya pola pikir dan perbuatan yang senada dengan komunis," ujar Brigjen. Todo Sihombing, Wasesbid VI Bakorstanas. Penilaian ini, katanya, lebih fair. "Dulu dilihat dari pertalian darah, sekarang keterpengaruhannya," tambah Todo Sihombing. Pengaruh ideologi PKI itu pernah pula dicoba ditangkal lewat pelbagai macam skrining, seperti yang dilakukan sebelum Keppres No. 16/1990 turun. Dari skrining itu lantas muncul istilah bersih diri (yang diartikan tak terlibat PKI secara langsung) bersih lingkungan (tak memiliki anggota keluarga PKI), dan juga "sampul D", yang mengacu pada pemeriksaan riwayat hidup. Namun, istilah-istilah tak resmi itu dinyatakan gugur dengan lahirnya "keterpengaruhan". Ukuran keterpengaruhan itu antara lain adalah ucapan, tulisan, dan perbuatan. Jelaskah ukuran itu? Bagi Marzuki Darusman, Wakil Sekretaris Bidang Polkam FKP di DPR RI, ukuran keterpengaruhan itu masih perlu dirinci secara lebih gamblang. Perumusan yang samar-samar justru akan menjadikannya perangkap baru, yang bisa menggiring orang menghubung-hubungkan pemikiran politik baru dengan ideologi-ideologi bukan Pancasila. "Ini akan membelenggu aspirasi masyarakat," ujar Marzuki. Padahal, kata tokoh FKP ini, Presiden Soeharto sendiri menyebut Pancasila sebagai ideologi terbuka. Kekhawatiran Marzuki memang beralasan. Sebab, litsus dan keterpengaruhan itu bisa berdampak luas jika tak dijalankan secara hati-hati, dan dengan batasan-batasan yang jelas. Apalagi litsus juga disarankan agar dikenakan terhadap personel yang terkait dengan kebijaksanan, pembinaan teknis, dan hubungan pekerjaan dengan departemen tertentu. Dengan begitu, Departemen Penerangan boleh melitsus wartawan, Departemen Kehakiman melitsus pengacara, dan Departemen Kesehatan memeriksa dokter, kendati wartawan, pengacara, dan dokter itu sepenuhnya orang swasta. Dalam waktu dekat ini, menurut Kepala Puspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro, juklak soal litsus ini disebar ke departemen dan instansi pemerintah untuk dilaksanakan. Lalu, pada Agustus-September-Oktober mendatang akan dilakukan serangkaian kegiatan berbentuk penyegaran dan penataran di pusat dan daerah untuk menjelaskan juklak ini, "agar ada keseragaman, dan aturan main benar-benar dikuasai," kata Todo Sihombing. Menanggapi rencana Bakorstanas itu, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan di DPR, Djaffar Siddiq, berharap agar keterpengaruhan tak cuma ditangani secara politik, tapi juga dilihat dari kaca mata sosial. "Sebab, saya yakin, penilaian keterpengaruhan itu tak dimaksudkan untuk membangun tembok yang membatasi kebebasan berpikir dan berbicara warga negara," ujarnya. Putut Tri Husodo, Diah Purnomowati, dan Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus