SEBUAH keputusan presiden (keppres) yang sudah berusia 27 tahun akhirnya dicabut Pemerintah, Rabu pekan lalu. Keppres No. 123 yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 25 Juni 1963 itu mencegah pemogokan atau penutupan (lock-out) di 27 perusahaan pemerintah, 14 jawatan atau badan usaha yang vital, serta 16 proyek pembangunan di zaman itu. Perusahaan pemerintah yang dilindungi dari pemogokan, antara lain, Perusahaan Listrik Negara, Perusahaan Negara Kereta Api, Pos dan Telegraf, PT Shell Indonesia, dan pabrik ban Good Year. Begitu juga Bank Indonesia, Percetakan Uang "Kebayoran" dan "Arta Yasa" yang dianggap vital waktu itu. Proyek pembangunan yang dimaksud dalam keppres itu, misalnya, Monas, Masjid Istiqlal, Proyek Ancol, Pabrik Besi dan Baja "Trikora" (kini Krakatau Steel), dan Pusat Perbelanjaan Sarinah. "Proyek-proyek yang ditulis dalam keppres itu sudah selesai, jadi buat apa lagi keppres yang sudah tidak ada gunanya," ujar Mensesneg Moerdiono, ketika ditanya Linda Djalil dari TEMPO tentang latar belakang pencabutan itu. Sebagai gantinya, dikeluarkan Keppres No. 26/1990 tentang pengesahan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 144 mengenai konsultasi tripartit untuk meningkatkan pelayanan standar perburuhan internasional. Jelasnya, Indonesia menerima seruan ILO untuk membentuk organisasi atau badan tripartit tempat buruh, pengusaha, dan pemerintah bisa duduk bersama menyelesaikan masalah mereka. Badan semacam itu sebenarnya sudah ada di sini, yakni Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4). Segala konflik buruh-majikan diharapkan bisa diselesaikan di P4. Indonesia sendiri punya Hubungan Industrial Pancasila, yang menganggap buruh adalah mitra pengusaha, dan musyawarah mufakat dianggap jalan terbaik menyelesaikan soal. Tapi, kalau toh lewat berbagai cara itu konflik tetap tak reda, mogok kerja boleh diambil sebagai alternatif paling akhir. Itu pun setelah melapor kepada P4 setempat dan mendapat izin dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di lokasi itu. Jadi, seperti kata Dosen Hukum Perburuhan FH UI H.P. Radjagukguk, mogok karena masalah sepele atau sentimen pribadi tak dibolehkan. Ini sesuai dengan Undang-Undang No. 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Mogok kerja di Indonesia sebenarnya bukan barang tabu. Paling tidak, itu berlaku sejak 1969, ketika dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14. Pasal 13 undang-undang ini mengatakan, "Penggunaan hak mogok, demonstrasi, dan lock-out diatur dengan peraturan perundangan." Namun, kenyataannya, Pemerintah memang kurang berkenan dengan hak mogok. Alasannya, mogok dianggap bisa mengganggu stabilitas pembangunan dan membuat jerih investor asing. Tatkala Sudomo menjabat menaker, misalnya, ia tegas-tegas menyatakan bahwa mogok "tak sesuai dengan kaidah Hubungan Industrial Pancasila". Lalu, mengapa Pemerintah memandang perlu mencabut Keppres 123/1963 yang sebenarnya sudah usang dan tak berfungsi itu? Boleh jadi Indonesia "risi" dengan kecaman pihak luar terhadap soal -soal buruh ini. Yang paling gencar menyorot Indonesia adalah American Federation of Labour Congress of Industrial Organization (AFL-CIO), suatu organisasi buruh Amerika yang kuat. Pada 1987, AFL-CIO mengirim petisi kepada United States Trade Representative (USTR), mendesak USTR agar mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) atau Sistem Preferensi Umum yang dinikmati barang ekspor Indonesia ke AS. Pasalnya, menurut AFL-CIO, Indonesia menekan hak-hak dasar kaum buruh. Tapi ketika itu USTR tak bereaksi, karena melihat Pemerintah Indonesia melakukan beberapa perbaikan, misalnya menetapkan upah minimum. AFL-CIO tetap ngotot. Setahun kemudian petisi kedua dilayangkan lagi ke USTR. Isinya sama dengan petisi pertama. Kali ini USTR memberi tanggapan dengan mengirim surat kepada Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara. Clayton Yeutter, pimpinan USTR ketika itu, selain menyampaikan protes AFL-CIO, juga mengimbau agar Pemerintah Indonesia terus melanjutkan usaha memperbaiki nasib kaum buruh. Di mata AFL-CIO, setelah surat USTR itu dikirim ke Jakarta, tak satu pun upaya perbaikan dilakukan Pemerintah Indonesia. Keberadaan SPSI sejak 1985 tampaknya dilecehkan AFL-CIO. Antara lain karena Imam Soedarwo, Ketua SPSI, dianggap bukan "buruh". Imam, sewaktu terpilih sebagai pimpinan SPSI, adalah direktur sebuah perusahaan garmen, dan juga bekas Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Kecaman terhadap kondisi buruh di sini juga datang dari ILO. Sebab, sampai Keppres No. 26/1990 lahir dan meratifikasi Konvensi 144 Indonesia baru meratifikasi delapan dari 169 konvensi yang ada. Tapi, patut diketahui, AS yang banyak mengecam Indonesia juga baru meratifikasi sembilan konvensi. Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara tegas-tegas menolak anggapan Indonesia "ditekan" pihak luar untuk mencabut keppres lama dan mengganti dengan keppres baru tadi. "Ah, nggak karena itu. Kita lihat yang diatur keppres itu sudah habis, sudah tidak relevan lagi," ujar Cosmas pada Andy Reza dari TEMPO. Kalaupun Indonesia meratifikasi konvensi ILO, pertimbangannya adalah karena kita ikut dalam perdagangan dunia. "Kita juga harus ikut dalam upaya menerapkan Standar Buruh Internasional, agar barang-barang yang kita jual bisa diterima negara yang mematuhi ketentuan itu," kata Cosmas lagi. Dalam usaha terus meningkatkan ekspor, serta makin berkembangnya sistem perdagangan bebas di dunia, Indonesia bagaimanapun memang tak bisa meremehkan tekanan internasional. Masalah hak asasi manusia, misalnya, belakangan sering dikaitkan oleh sejumlah negara dan organisasi, dengan persyaratan perdagangan. Dengan begitu, "ancaman" organisasi semacam AFL-CIO yang besar pengaruhnya di AS memang tak bisa dilecehkan begitu saja. Toriq Hadad, Leila S. Chudori (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini