INI kabar tak sedap bagi tentara. Bukan menyangkut "pertempuran Binjai" tempo hari yang melumpuhkan kota dan merobohkan sejumlah korban. Kaitannya jauh dengan pertikaian di antara mereka saat bertugas di Ambon. Tapi soal cekaknya anggaran yang dialokasikan buat angkatan perang. Presiden Megawati Sukarnoputri menyampaikan perkara prihatin ini saat berpidato pada ulang tahun Tentara Nasional Indonesia ke-57, di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu pekan lalu.
Akibatnya sampai ke kantong. Brankas di kesatuan, maupun dompet prajurit, jadinya pas-pasan. Toh, Mega berharap tentara tetap profesional. Presiden secara tegas meminta jangan sampai dengan alasan kurang duit lantas anggota TNI menjadi "tentara bayaran profesional". Secara implisit Panglima Tertinggi meminta prajurit dari tingkat kopral hingga jenderal yang masih aktif bertugas untuk tidak ngobyek menjadi pelaku, beking atau pelindung kegiatan bisnis.
Problem bujet tentara lumayan serius. Agar bisa tenang bertugas, juga bertempur, sekitar 300 ribu prajurit di seluruh Tanah Air butuh kucuran dari kas negara sedikitnya Rp 9,3 triliun per tahun. Nilai ini setara dengan 1 persen produk domestik bruto. Coba bandingkan dengan Malaysia. Di negeri dengan areal lebih kecil ketimbang Republik ini, bujet militer tahunannya 2 persen dari produk domestik bruto. Jangan lupa, angka sebesar itu cuma menutup sepertiga total kebutuhan pertahanan. Adapun untuk tahun anggaran 2002-2003, Markas Besar menyodorkan angka Rp 17 triliun.
Komandan lapangan tentu pusing tujuh keliling. Dalam perhitungan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, hingga kini jajarannya harus berkutat untuk menutup kekurangan dana berupa 70 persen sisanya (sekitar Rp 35 triliun) untuk kesejahteraan tentara. "Perusahaan mana yang mampu memasok dividen sebesar itu? Penghasilan Freeport saja tak sampai segitu," kata Jenderal Tono, saat dengar pendapat dengan Komisi Politik dan Pertahanan DPR, tengah September lalu. Ia membantah dugaan bahwa semua yayasan milik TNI bisa menutup sisa kebutuhan itu.
Dampak minimnya bujet sudah terasa di medan laga. Sudah jamak terdengar betapa prajurit dibayar terlampau pelit, peralatan tempur ibaratnya tinggal sampur. Bukan saja senjata dan kendaraan lapis bajanya bikinan zaman musik ngak-ngik-ngok, tapi perawatannya juga tak memadai. Suku cadangnya terpaksa dikanibal. Banyak pula yang jadi rongsokan. Data di Markas Besar bisa bicara. Dari 117 kapal perang milik Angkatan Laut, cuma 30 persennya yang beroperasi. Pesawat tempur tercatat 220 biji, tapi yang laik tempur kurang dari separuhnya (lihat Ulang Tahun tanpa Kado).
Jalan keluarnya, apa boleh buat, masih tak bisa beranjak dari cara lama. Penghasilan tambahan itu ditempuh lewat jalur bisnis: menggalang dana melalui pelbagai yayasan milik militer. "Keterpaksaan itu harus saya lakukan karena kesejahteraan prajurit belum terpenuhi," kata Panglima TNI kepada Adi Prasetya dan Darmawan Sepriyossa dari TEMPO, di sela-sela gladi bersih menjelang ulang tahun. Kalau tidak ditempuh jalan ini, kata Mayjen Sjafrie Sjamsoedin, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, "Ibaratnya, profesionalisme kita cuma bergerak pada skala 30 persen."
Salah satu yang asetnya besar dan jadi tumpuan adalah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP). Yayasan ini didirikan pada 1972 oleh Kepala Staf Angkatan Darat (waktu itu) Jenderal Umar Wirahadikusumah—belakangan menjadi wakil presiden di era Soeharto berkuasa. Sampai kini KSAD otomatis mengetuai YKEP. Tapi yang tertua justru dirintis Mayor Soeharto, yang mendirikan Yayasan Dharma Putra Kostrad pada 1964. Ketika itu Soeharto dikenal kerja bareng dengan mitra lamanya, Liem Sioe Liong—yang belakangan menjadi taipan paling top di Asia Tenggara.
Kiprah bisnis tentara lewat yayasan tak cuma di Angkatan Darat. Angkatan Udara punya juga sejumlah yayasan. Begitu juga Angkatan Laut. Bahkan Kostrad, Kopassus, juga BIA (badan intelijennya TNI, kini Bais), juga punya yayasan. Semua tujuannya luhur: meningkatkan kesejahteraan tentara dan keluarganya. Jangan kaget jika sedikitnya 13 ribu perumahan untuk prajurit sudah mereka bangun, sejumlah sekolah juga didirikan. YKEP punya Universitas Jenderal Ahmad Yani di Bandung. Bonus Lebaran dan Natal juga merembes sampai ke barak. Ada juga klinik dan rumah sakit. Pendek kata, selama empat tahun terakhir, yayasan telah mengucurkan sekitar Rp 178 miliar buat urusan "kesejahteraan tentara" ini.
Tradisi memanfaatkan dana nonbujeter ini bisa berabe. Aturan pertanggungjawabannya sering dikritik tak jelas. Pelbagai yayasan itu umumnya bekerja sama dengan sejumlah pengusaha, yang kemudian memakainya sebagai tunggangan. Tommy Winata, Yos Sutomo, Bob Hasan, keluarga Sunarko, bahkan juga keluarga Soeharto di Cendana tercatat punya kongsi dengan yayasan milik tentara. Bisnis ini banyak sialnya bagi yayasan, atau malah menguntungkan kompanyon di luar unsur tentara. Ingat Sempati Airlines yang bangkrut itu? YKEP punya saham 40 persen, Bob Hasan pegang 35 persen, dan sisanya milik Hutomo "Tommy" Mandala Putra.
Barangkali itu sebabnya Jenderal Tono pernah melirik YKEP. Apalagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dua tahun lalu, secara ex officio ia juga mengomandani yayasan. Alasan pemilihan YKEP agaknya tak lepas dari kinerjanya yang masih memprihatinkan. Sumber TEMPO yang dekat dengan sang Jenderal lantas buka kartu. Dalam catatan si Panglima, yayasan itu punya 13 anak perusahaan dan 26 perusahaan patungan. Total kekayaan yang tercatat hingga dua tahun lalu sekitar Rp 308 miliar.
Ironisnya, sumbangannya terhadap kocek prajurit ternyata tak bejibun. Pada tahun 2000, misalnya, dana yang digelontorkan yayasan ini hanya Rp 51 miliar untuk prajurit. Jangan terkejut jika menjelang Lebaran, mulai prajurit hingga jenderal cuma memperoleh sumbangan Rp 100 ribu per orang. Itu pun sudah menghabiskan Rp 33 miliar. "Ini akibat cuma sepertiga dari perusahaan di bawah YKEP yang terbilang sehat," kata Koordinator II Bidang Usaha, Kolonel (Purnawirawan) Yulius Harun. Seingat Yulius, pemasukan yayasannya dalam setahun cuma Rp 30 miliar hingga Rp 50 miliar.
Alamat boleh saja mentereng. YKEP berkantor di sayap kiri lantai sembilan Gedung Artha Graha di kawasan bisnis Jalan Jenderal Sudirman. Walau berkantor di gedung bertingkat yang wah, dan bahkan ikut memiliki saham perusahaan pengelola kawasan niaga mentereng di segi tiga emas Jakarta, yayasan yang menempati sekitar 200 meter persegi itu tak memiliki secuil pun papan nama di depan kantornya. Gaji eksekutifnya sekitar Rp 4 juta sebulan.
Kondisi inilah yang membuat Jenderal Tono penasaran. Ia lalu berdiskusi intensif dengan sejumlah akuntan. Ada yang bersedia membantu korps baju hijau membenahi mesin pencari uangnya. Mereka terdiri dari Erry Riyana Hardjapamekas (mantan Direktur PT Timah Tbk.), Kemal Stamboel (petinggi kantor akuntan PricewaterhouseCoopers di Indonesia), dan Arief T. Surjwidjojo (pendiri firma hukum Lubis Gani dan Surowidjojo). Ketiganya juga menjadi pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia—yang berprinsip mengelola perusahaan bebas suap dan antikorupsi. Kantor akuntan Ernst and Young juga ikutan.
Tim auditor bekerja sejak Januari tahun silam. Sebagai langkah awal, sejumlah pengurus yayasan dan jajaran petinggi Angkatan Darat kemudian diundang dalam sebuah pertemuan besar di kantor YKEP. Dalam bekerja mereka mendapat seorang pemandu yayasan berpangkat letnan kolonel. Tim ini sempat digunjing sebagai "orang-orangnya Sutarto" yang menginvestigasi kinerja yayasan. Seorang pensiunan jenderal yang pernah memimpin yayasan dikabarkan tak suka dengan kerja tim ini. Saking takutnya, beberapa anggota tim sampai mengasuransikan jiwanya. "Untuk berjaga-jaga, tapi untunglah ancaman itu cuma gertakan," kata sumber TEMPO.
Setelah bertugas delapan bulan, tim pengaudit mulai berhasil menggambarkan "peta bumi" persoalan YKEP. Laporan keuangan amburadul. Transparansi juga minim. "Itu merupakan penyakit yayasan yang paling akut," kata sumber ini. Di sejumlah perusahaan, tim ini menemukan praktek pencatatan laporan yang jauh dari standar akuntansi.
Bobot akuntabilitas kepada publik dan prajurit jeblok. Rapor merah yayasan masih diperburuk oleh kuatnya budaya militer sampai dalam tradisi surat menyurat—penyebutan pangkat ketentaraan dari nama pengurus hukumnya wajib.
Tim audit juga menemukan rangkap jabatan pengurus yayasan dan badan usaha komersial di bawah yayasan. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, fungsi ganda seperti itu jelas tabu. Hasil diskusi dan utak-atik konsep dengan tim dari lapangan dan tiga anggota pengarah membawa Jenderal Tono pada kesimpulan untuk memisahkan dengan tegas fungsi sosial dan bisnis yang semula dirangkap YKEP.
Dari konsep yang sempat dilirik sumber TEMPO tampaknya Sutarto akan condong pada pembentukan perusahaan induk alias holding company. Tahap berikutnya adalah restrukturisasi usaha dengan melepaskan saham di perusahaan patungan seperti Bank Artha Graha dan Telekomindo Primabhakti. "Wong, nggak ada kontribusinya," kata sumber TEMPO. Adapun anak perusahaan yang merugi akan dilikuidasi. Kabarnya, PT Tri Usaha Bhakti (Truba) akan dijadikan sebagai calon perusahaan induk.
Sosok mesin uang tentara ini sejatinya bukan barang baru. PT Truba lahir pada 1966 untuk menampung sekitar 40 perusahaan tentara. Alih-alih menyejahterakan mereka, gara-gara salah urus, perusahaan induk ini hampir bangkrut pada tahun ketujuh. Lantas, seiring dengan larangan pemerintah agar para pejabat, termasuk anggota TNI, tidak berbisnis, PT Truba mengalihkan sahamnya dan bermetamorfosis menjadi YKEP.
Pemisahan itu punya pesan jelas: tentara aktif dilarang berbinis, dan yayasan benar-benar akan dijadikan lembaga sosial. Tak cuma itu. Pelbagai jabatan ex-officio juga dihapus. Jadi, kelak semua struktur yayasan tak ada kaitannya dengan strata kedinasan Angkatan Darat. Sang jenderal paling banter boleh sebagai pembina. Pengurus yayasan dan badan usahanya dipilih dari kalangan profesional. "Itu langkah bagus, sekaligus bisa mengerem korupsi," kata Indria Samego, pengamat bisnis tentara. Apalagi jika ditularkan ke seluruh kesatuan militer di Tanah Air.
WM, Widjajanto, Arif Kuswardono, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini