Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mat Centeng Berseragam Hijau

Sebagian anggota TNI bekerja di luar jam dinas untuk menutup gajinya yang minim. Dari menjadi calo sampai preman. Panglima TNI susah melarang.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMPLEKS warung remang-remang Gunung Anta, di sepanjang jalur viaduk kereta api Kebon Pala, Jatinegara, Jakarta Timur, tengah malam pekan lalu. Prajurit Satu Zeni Marjo (bukan nama sebenarnya) terlihat gelisah. "Inilah kerja saya selepas dinas," tuturnya pasrah kepada TEMPO. Marjo, 26, anggota satuan Zeni Angkatan Darat, mengaku terpaksa mengutip "uang kamar" dan keamanan dari pelacur jalanan untuk menambah penghasilannya. Gajinya—setelah delapan tahun berdinas—hanya Rp 800 ribu. Itu pun cuma ia terima Rp 400 ribu tiap bulan. "Karena dipotong uang mes dan makan," kata bujangan yang tinggal di Kesatrian Berlan, Jakarta Timur, itu. "Kalau saya, bisalah dipepet-pepet. Tapi, rekan-rekan saya yang sudah kawin, mana bisa hidup?" ia melanjutkan. Masalahnya, prajurit yang kawin harus keluar mes, dan itu berarti tambah pengeluaran biaya untuk sewa rumah. Alhasil, ia dan kawan-kawannya mengembangkan "keterampilan" tambahan, jadi centeng di kompleks pelacuran liar Gunung Anta dan Manggarai. Satu kamar "kenikmatan" mereka tarik "uang keamanan" Rp 3.000. Padahal ada puluhan kamar di lokasi tersebut. Tiap malam, hasil tarikannya ia bagi dengan beberapa rekannya. Malam itu baru Rp 12 ribu masuk dompetnya. Marjo dan kawan-kawan bahkan tak sungkan "bekerja" dengan berseragam dinas. "Kami semua tahu sama tahulah," ujarnya, sambil menunjuk seniornya yang sedang mabuk. Kadang kala mereka juga mendapat pelacur "gratisan". Lain Jatinegara, lain pula Terminal Kampung Rambutan di Jakarta Timur. Di sana jasa calo penumpang terbuka lebar. "Abang, Tanah Abang!" kata seorang calo tanpa sungkan menunjuk metromini jalur 502 jurusan Kampung Rambutan-Tanah Abang yang sedang ngetem. Banyaknya calo di terminal "bayangan" Kampung Rambutan—muncul waktu malam, sekitar satu kilometer ke arah timur dari terminal aslinya—sebenarnya bukan pemandangan aneh. Tapi, bila diperhatikan benar, para calo itu terlalu rapi dan kekar. Jauh dari kumal layaknya calo jalanan. Malahan ada yang berseragam safari dengan pin garuda di kerah bajunya: menandakan yang bersangkutan adalah anggota Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden). Calo lainnya lagi malah masih memakai jaket dengan tanda-tanda di lengan dan dadanya, yang menunjukkan salah satu kesatuan tempur di TNI AD. Sopir dan para penumpang tampaknya terbiasa dengan "calo istimewa" itu. "Mereka tentara, anggota Kopassus dari Cijantung," tutur seorang sopir metromini jalur 112 jurusan Kampung Rambutan-Depok. Sang sopir bercerita, para tentara tersebut telah mengambil alih percaloan di terminal itu sejak beberapa bulan lalu. Dan mereka malah senang. "Lumayanlah. Lebih tertib. Tidak ada lagi tukang palak liar," ujarnya. Sebenarnya jumlah tentara yang ngobyek sebagai calo di situ ada lima atau enam orang setiap harinya. Setiap angkutan kota alias angkot ditarik bayaran Rp 1.500 sekali ngetem. Jumlah angkot yang menarik penumpang ada ratusan dengan berbagai trayek. Di sisi jalan ke arah Jalan Raya Bogor, misalnya, angkot jalur 112 jurusan Kampung Rambutan-Depok saja ada 70 buah. Masing-masing bisa ngetem dua sampai empat kali dalam semalam. Jadi, berapa perolehan para tentara ini? Hitung saja. Pemandangan seperti di Terminal Kampung Rambutan juga dijumpai di perempatan Cilandak dan Pondok Labu. Bedanya, di situ "wilayah" marinir. Banyaknya tentara lapis bawah ini membanting tulang cari tambahan sama sekali tidak disanggah Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Saat tes fit and proper di DPR, Sutarto sempat mengatakan, "Tentara nyambi, dalam peraturan, memang tidak boleh. Tapi mau diapain? Sebab, memang kesejahteraannya kurang," ujarnya. Betapa kurangnya penghasilan para prajurit rendahan ini terlihat dari aturan gaji tentara terbaru, yang diteken Presiden Abdurrahman Wahid pada Mei 2001. Gaji pokok seorang prajurit dua—golongan tamtama terendah—yang baru lulus pendidikan hanya Rp 520 ribu per bulan dan tertinggi Rp 719 ribu per bulan—itu pun didapat setelah "berkarir" selama 24 tahun! Sementara itu, gaji seorang sersan dua baru—golongan bintara terendah—cuma Rp 642.200, dan tertinggi mencapai Rp 932.500. Kalaupun ada tambahan, hanyalah uang lauk-pauk, yang besarnya hanya Rp 12.500 per hari per orang. Jumlah ini terhitung pas-pasan untuk kebutuhan makan sehari seorang prajurit. Dengan gaji tertinggi untuk seorang tamtama, misalnya dia berkeluarga, jelas sulit untuk bisa hidup di kota seperti Jakarta. Apalagi jika ada anaknya yang sekolah, ditambah kewajiban sewa rumah bagi yang masih mengontrak. Uang sewanya saja bisa memakan separuh gaji mereka. Untuk mendapat jatah rumah pun sulit karena Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan, yang dikelola Markas Besar Angkatan Darat, baru bisa memenuhi 25 persen dari jumlah prajurit yang mengajukan kebutuhan rumah setiap tahun. KSAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu sendiri "mengizinkan" anggotanya mencari uang tambahan. "Seharusnya bekerja sambilan itu tidak boleh bagi prajurit. Tetapi saya biarkan saja, karena kita belum mampu memberi mereka penghidupan yang layak. Yang penting, tugas pokoknya sebagai prajurit tidak terabaikan dan pekerjaan sambilannya bukan membekingi tempat judi atau tempat maksiat," ungkapnya dalam sebuah rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR bidang pertahanan dan hubungan luar negeri. Pertanyaannya sekarang: apakah nasib prajurit rendahan akan dibiarkan begitu terus? Arif A. Kuswardono, Levi Silalahi, Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus