Ini mengingatkan kita pada cerita peniup seruling yang berhasil menggiring dan menceburkan tikus-tikus ke sungai dengan musiknya. Ada delapan nada yang mendenting berulang-ulang dari harpsichord, instrumen cikal-bakal piano yang populer di Zaman Renaisans. Berangsur-angsur, lantas kita pun disuguhi suatu iring-iringan yang menarik: biola, obo, biolin, selo, dan bas yang mengikuti dari belakang. Pelan-pelan, di bawah pimpinan harpsichord, musik berkembang menjadi suatu jalinan harmoni "tiga dimensi" khas Barok.
Nada-nada itu memang tak tenggelam masuk sungai. Selasa pekan lalu, Musica Antiqua Koln, sebuah orkes kamar dari Jerman, membawakan 14 Canon from Goldberg Variations karya J.S. Bach dengan istimewa. Mereka memperdengarkan satu bentuk kanon dengan permainan terbaik. Delapan nada yang sambung-menyambung, terkait satu sama lain, bergerak ke arah yang sama dalam satu permainan yang mengalir seperti air dan tidak terkesan patah-patah.
Johann Sebastian Bach, yang mencipta Goldberg Variations dua setengah abad silam, tidak membubuhkan makna lebih dalam dari masterpiece-nya ini. Namun, dari permainan Musica Antiqua Koln itu, kita bisa menyaksikan suatu bayang-bayang rumus matematika yang membingkai nada-nada itu dalam konfigurasi geometris. Nada dasar dan ketukan tidak berubah dari awal sampai akhir. Semua serba simetris. Mungkin visualisasi macam ini yang akan tampak lebih jelas dalam partitur Bach yang baru ditemukan pada 1974 itu.
Barangkali karena gaya komposisinya yang matematis dan menyerupai mesin itulah sebagian orang menguap beberapa kali begitu mendengar karya-karya J.S. Bach dalam Fugue ataupun Variations. Komposisi didesain sedemikian rapi, bahkan saking rapinya sampai membuang elemen-elemen tak terduga—yang sebenarnya sangat manusiawi—dalam karyanya. Semua ada dalam perencanaan yang matang. Tidak ada letupan emosi yang sekonyong-konyong memotong garis melodi utama, tidak ada tikungan mendadak yang merepotkan para pemain musik.
Kadang J.S. Bach memang tampak begitu membosankan. Karena itu, para pencatat biografinya sering sibuk memecahkan teka-teki: bagaimana ceritanya sehingga istrinya yang bernama Anna Magdalena itu sanggup bertahan hidup bersama, bahkan kemudian menganugerahi Bach 13 orang anak?
Tapi, bagaimanapun, Johann Sebastian Bach adalah "milik" sebuah masa lalu. Waktu itu orang yang punya bakat melimpah seperti dirinya sangat akrab dengan pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan yang telah berpindah tangan: dari kalangan gereja ke tangan kaum bangsawan yang kaya-raya. Sama seperti rekan-rekan komponis di Zaman Barok (1600-1750), Bach "dipelihara" di istana seorang bangsawan pencinta musik. Dan satu hal lagi, J.S. Bach bukan komponis revolusioner. Bach menghabiskan bakatnya untuk menyempurnakan tradisi Barok ketimbang menggapai dunia musik masa depannya, satu era yang kemudian dikenal dengan sebutan Zaman Klasik (1750-1827).
Kadang kita harus meminjam tangan dunia lain—misalnya matematika— untuk menikmati keindahan yang bersembunyi dalam sejumlah karya Bach. Dan belakangan ini ada elemen non-musikal lain (baca: erotisme) yang rupa-rupanya berhasil mendekatkan sebuah karya Bach yang bersahaja, Toccata dan Fugue in D Minor, ke telinga para pendengar musik pop. Ajaib, memang. Tapi itulah yang ditawarkan Vanessa Mae, violinis bermata sipit berusia 22 tahun yang melakukan pemberontakan kecil-kecilan terhadap kekakuan Zaman Barok.
Sebagai solois, Vanessa lebih suka mengenakan setelan hot pant—kaus oblong—daripada gaun anggun berwarna gelap dalam konser-konsernya yang riuh-rendah, seraya mencampakkan pagar-pagar yang membentengi musik klasik dari dunia luar. Bila berminat, para penonton yang kebanyakan terdiri dari kaum muda diperkenankan berjingkrak-jingkrak, mengikuti beat disko yang mengalir dari drum-set. Dan manakala memainkan Fugue, ia memilih berpasangan dengan gitar listrik ketimbang dengan piano atau gitar klasik.
Vanessa dan Bach ibarat minyak dan air. Tapi, di antara tetek-bengek kaku yang menguasai musik Barok, tiba-tiba kita dapati Vanessa yang bisa mengerling, memoles bibirnya dengan lipstik warna eksotis, menggeliat lemah, dan merebahkan tubuhnya sambil menarik napas pendek. Ada sejumlah imajinasi yang bisa diajak terbang. Tapi ada pertanyaan yang belum terjawab: adakah Vanessa Mae benar-benar membawakan karya Bach? Karyanya sendiri? Yang jelas, Musica Antiqua Koln bisa menjadi "juru bicara" J.S. Bach yang lebih baik malam itu.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini