Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis lingkungan mengungkap adanya lahan-lahan konsesi pertambangan dan perkebunan di seputar kawasan yang akan dijadikan Ibu Kota baru di Kalimantan Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Nasional, Merah Johansyah, oligarki industri tambang dan perkebunan menguasai mayoritas kawasan Kalimantan Timur. Daratan Kalimantan Timur seluas 12,7 juta hektare dikuasai konsesi tambang sebesar 43 persen dan perkebunan 29 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Adapun terkait dengan lokasi ibu kota baru, Jatam mencatat perusahaan yang bercokol di dua kabupaten pilihan Presiden Joko Widodo, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, terdapat 1.190 izin usaha pertambangan.
Dari jumlah izin tersebut yang diterbitkan pemerintah Kalimantan Timur sebanyak 625 izin berada di Kutai Kartanegara. Izin tambang itu di Kecamatan Samboja dan Bukit Soeharto.
Dua lokasi itu digadang jadi calon wilayah ibu kota baru. “PT Singlurus Pratama sebagai perusahaan tambang terbesar di Samboja akan sangat diuntungkan,” kata Merah.
Singlurus Pratama merupakan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) seluas 24.760 hektare.
Demikian pula kawasan Penajam yang turut jadi bagian ibu kota. Kabupaten termuda di Kaltim ini merupakan lokasi konsesi PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan PT ITCI Kartika Utama. Perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) milik pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang merupakan adik Prabowo Subianto.
“Lokasinya berada di Kecamatan Sepaku Penajam,” kata Merah.
Prabowo sempat berkompetisi sengit melawan Jokowi di Pilpres 2019 Presiden pada April lalu. Merah mencium adanya aroma kongkalikong politik yang melatari pemindahan ibu kota tersebut.
Dalam kaca mata Jatam, menurut Merah, pemerintah semestinya turut mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Ia meminta proses keputusan lokasi ibu kota baru ditentukan lewat mekanisme pengumpulan jejak pendapat masyarakat Kalimantan Timur.
Apalagi, kata Merah, kebijakan ini diyakini membawa masalah beban lingkungan serta budaya lokal. Termasuk pula eksodus lebih dari 1 juta warga dari Jakarta yang mengancam ruang hidup warga setempat. “Hak warga untuk menyampaikan pendapat jelas diingkari dan bisa disebut sebagai kediktatoran presiden,” paparnya.
Kekhawatiran lainnya, yaitu soal masa depan nelayan di Kalimantan Timur menjadi perhatian aktivis lingkungan. Berdasarkan kajian Pusat Data dan Informasi Kiara, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur dikhawatirkan berdampak perumusan aturan zona wilayah pesisir dan pulau kecil di Teluk Balikpapan.
“Perumusan zonasi wilayah pesisir ini nantinya malah diperuntukkan pembangunan ibu kota dan industri tambang,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati.