TAK ada lagi alasan, warga negara Indonesia tak mengenyam pendidikan dasar. Rabu petang pekan lalu, di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Presiden Soeharto mencanangkan awal wajib belajar di scluruh Indonesia. Baru setelah 39 tahun merdeka, Indonesia mencanangkan wajib belajar, kata Presiden. Tapi bukan berarti kita mengabaikan pendidikan. Sebab, demi suksesnya wajib belajar, diperlukan persiapan-persiapan. Presiden benar. Baru setelah kita punya sekitar 136.000 SD (negeri dan swasta), ditambah sekitar 21.000 madrasah ibtidaiyah, dan 600-an sekolah luar biasa, persiapan dianggap memadai. Sarana itu dipersiapkan guna menampung sekitar 23 juta anak usia SD, yang 1,2 juta di antaranya belum pernah bersekolah sama sekali. Berikut wawancara TEMPO dengan Menteri P & K, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Apa masalah utama dalam program wajib belajar? "Masalah utamanya adalah masalah ekonomi masyarakat. Masih ada masyarakat berekonomi lemah, yang tak mampu menyekolahkan anaknya. Merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan mereka mampu menyekolahkan anaknya." Sejak 1979 Departemen P & K sebenarnya sudah melaksanakan uji coba wajib belajar di beberapa daerah, antara lain di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Lewat pendataan di kelurahan-kelurahan di Sleman diketahui, anak-anak yang tak bersekolah ternyata dibutuhkan orangtuanya untuk membantu bekerja. Saniyem, 16,misalnya, baru masuk SD tiga tahun lalu dan kini baru duduk di kelas III SD Inpres Sompokan, Sleman. "Sejak kecil saya membantu Emak jualan kue," kata murid yang tak pernah bersepatu ini. "Kalau saya sekolah, siapa membantu Emak." Lewat bujukan para warga setempat, antara lain ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan PKK, akhirnya Saniyem bersekolah juga. Bila secara teknis tak ada lagi hambatan, bagaimana mengusahakan anak-anak yang bekerja membantu orangtuanya bisa masuk sekolah? "Ada program kelompok belajar yang waktu belajarnya terserah kepada pesertanya. Kejar bisa juga berarti bekerja sambil belajar. Selain itu, sudah sejak pertengahan 1970an ada yang disebut SD Pamong (pendidikan anak oleh masyarakat, orangtua, dan guru) di beberapa daerah. SD yang belajarnya dengan modul pelajaran itu tak mengharuskan siswa belajar secara formal di dalam kelas. Boleh di mana saja, misalnya sambil menggembalakan kambing. Lalu ada SD kecil di pedalaman Kalimantan, untuk mengatasi bila suatu daerah tak cukup punya anak usia SD untuk ditampung dalam satu sekolah. Dalam satu kelas SD kecil, bisa saja ada siswa kelas I sampai kelas IV, sementara gurunya hanya satu. Dari sekitar 1,2 juta anak usia 7-12 tahun yang belum pernah mencium bangku sekolah, tak diperoleh data tersebar di mana saja mereka. Yang jelas, hampir di setiap provinsi ada. Bahkan di DKI Jakarta, menurut sensus Biro Pusat Statistik 1980, sekitar 50.000 anak usia itu belum pernah sekolah. Di Jakarta anak-anak itu bukannya harus membantu orangtua bekerja, tapi karena memang tak ada biaya sama sekali. Bukan untuk membayar SPP, karena di SD murid dibebaskan dari uang sekolah, tapi untuk membeli pakaian seragam dan sepatu. Tapi menurut Menteri P & K sasaran utama wajib belajar ialah Irian Jaya dan Timor Timur. Bukan karena di daerah itu terbanyak anak yang belum sekolah, tapi karena daerah itu yang paling akhir lepas dari kolonialisme, kata Menteri Adakah sanksi wajib belajar? yang wajib itu pemerintah, jadibuat masyarakat tak ada sanksi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini