Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jokowi Masuk Daftar OCCRP, Kilas Balik Nawadosa Usai Dua Periode Pemerintahannya

Setelah melewati 10 tahun masa kepemimpinannya, nawadosa Jokowi disebut meruntuhkan sendi demokrasi. Apa saja? Namanya pun masuk daftar OCCRP.

2 Januari 2025 | 06.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo. Tempo/Ijar Karim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) mengumumkan Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau Jokowi masuk ke dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024. Jokowi menjadi salah satu dari lima finalis lain yang paling banyak dipilih tahun ini. Keempat tokoh lain yang masuk ke dalam kategori itu ialah Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, Mantan Perdana Menteri Bangladesh Hasina, dan Pengusaha dari India Gautam Adani. 

"Kami meminta nominasi dari para pembaca, jurnalis, juri Person of the Year, dan pihak lain dalam jaringan global OCCRP," demikian keterangan OCCRP di website resmi pada Selasa, 31 Desember 2024.

Kekecewaan terhadap masa kepemimpinan Jokowi tidak dapat dihindari. Hal ini dirasakan sejumlah pihak. Pada 25 Juni 2024, Mahkamah Rakyat Luar Biasa pun menggelar People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat yang menggugat pemerintahan Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo, terhadap sembilan dosa yang disebut sebagai ‘Nawadosa’ Jokowi.

Putusan sidang dibacakan hari itu juga oleh Hakim Ketua Asfinawati.  “Tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia,” kata Asfinawati.

Pengadilan ini diadakan untuk merespons kegagalan Jokowi menjalankan tanggung jawabnya dan sumpahnya sebagai pemimpin Indonesia selama satu dekade.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana saat itu, mengatakan pemerintah terbuka menerima kritik maupun dukungan terhadap jalannya pemerintahan. "Kritik merupakan hal yang lazim dalam negara demokrasi. Kritik dapat menjadi masukan yang konstruktif untuk memperbaiki semua bidang pemerintahan," kata Ari melalui pesan singkat kepada Tempo pada Selasa, 25 Juni 2024.

Sembilan Gugatan ‘Dosa’ Jokowi

Alih-alih merealisasikan Nawacita, Jokowi sejumlah pelanggaran yang dinilai mampu meruntuhkan demokrasi. Sembilan gugatan dibacakan dalam sidang yang tidak dihadiri oleh Jokowi tersebut.

Pertama, gugatan mengenai perampasan ruang hidup dan penyingkiran masyarakat, seperti adanya proyek strategis nasional, hilirisasi nikel, dan penetapan Undang-Undang Cipta Kerja. Kedua, gugatan mengenai kekerasan, persekusi, kriminalitas, dan diskriminasi yang tercermin atas tindakan kekerasan terhadap demonstrasi sipil. 

Ketiga, soal politik impunitas dan kejahatan kemanusiaan dengan kembali gagalnya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Keempat, muncul gugatan mengenai komersialisasi, penyeragaman, dan penundukkan dalam sistem pendidikan nasional dengan munculnya rentetan isu polemik uang kuliah tunggal (UKT). 

Kelima, persoalan yang tanpa henti selalu meresahkan masyarakat Indonesia, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme yang banyak ditunjukkan Jokowi selama proses pemilu berlangsung. Jokowi banyak mendapat kritik atas perubahan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membawa Gibran Rakabuming Raka menang menjadi Wakil Presiden.

Keenam, gugatan mengenai eksploitasi sumber daya alam dan program solusi palsu terkait krisis iklim yang mengakibatkan degradasi lingkungan atas perizinan tambang yang dilakukan tanpa pengetatan pengawasan izin usaha. Ketujuh, politik perburuhan yang menindas atas diberlakukannya UU Cipta Kerja.

Kedelapan, soal pembajakan legislasi terkait kelalaian praktek Jokowi sebagai pemimpin yang tidak mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik. Kesembilan, terkait militerisme dan militerisasi dari nampaknya pengupayaan untuk mengembalikan militer ke ruang-ruang sipil.

Politik Dinasti sebagai Instrumen Pelanggengan Kekuasaan

Walaupun tidak lagi menjabat sebagai penguasa, eksistensi Jokowi dalam pemerintahan yang baru masih terasa lekat. Sebagian besar menteri Prabowo adalah mantan menteri era Jokowi.

Jokowi menggunakan otokrasi yang menopang dinasti politiknya untuk melanggengkan kekuasaannya yang telah dibangun saat awal periodenya dimulai. Dengan hadirnya rezim baru, Nawadosa Jokowi masih dapat terus berjalan.

Jokowi tidak segan mengubah wajah hukum untuk kepentingan politiknya. Hal tersebut dapat diamati dari perubahan peraturan MK yang mampu meloloskan Gibran sebagai salah satu calon Wakil Presiden. Tuduhan nepotisme terhadap perubahan peraturan MK tersebut mencuat ke publik. 

"Geliat masyarakat sipil dan parlemen jalanan yang hanya dihadapi sambil lalu tanpa diberi ruang partisipasi dan aspirasi yang memadai. Terserah Anda mau setuju atau tidak. Tetap saja ia akan mendukung politik dinasti dengan bersembunyi di balik idiom “bukan keinginan saya”, tapi keinginan anaknya saja yang berubah tiba-tiba. Dari yang awalnya gemar berbisnis lalu berubah menjadi gemar berpolitik," ujar Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, dan penasihat Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT), dan anggota CALS, dalam tulisannya di Tempo berjudul Otokrasi Penopang Dinasti Jokowi.

Selain keterhubungan antara Jokowi dan Gibran, nama Anwar Usman sebagai Ketua MK sekaligus adik ipar Jokowi juga menjadi sorotan karena mengesahkan perubahan aturan MK yang dinilai banyak pihak sebagai pelanggaran etika dan penyalahgunaan kekuasaan. Keberhasilan mengotak-atik peraturan MK tersebut berimbas pada kemenangan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru dan membawa nama Gibran  menjadi Wakil Presiden yang dianggap sah selama satu periode ke depan.

Kelembagaan politik juga menyokong keberlangsungan dinasti politik Jokowi. Dengan menguasai partai politik saat ini, maka Jokowi punya banyak jalan untuk tetap memegang kekuasaan. Sejatinya, partai boleh mengusung pemimpin, namun pemegang kendali tetap merupakan sang pemegang kekuasaan. Partai yang berbeda pandangan dapat menjadi lawan politik yang rentan untuk disingkirkan. 

Hal ini membuat banyak masyarakat menduga bila penetapan tersangka korupsi oleh KPK dari pihak oposisi, seperti Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, disinyalir merupakan cara menggeser keterlibatan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah saat ini untuk keluar dari lingkaran perpolitikan.

Selain itu, masih banyak juga Menteri Kabinet Merah Putih yang tetap sowan ke kediaman Jokowi untuk membangun hubungan baik dengan eks pimpinannya tersebut. Raja Juli Antoni, Zulkifli Hasan, hingga Bahlil Lahadalia dikabarkan mengunjungi Jokowi di luar relasi mereka yang saat ini tidak lagi terikat jabatan.

Langkah yang paling akurat untuk meneruskan politik dinasti Jokowi saat ini adalah dengan membuat lembaga legislatif tidak berani berhadapan dengan lembaga eksekutif. Sebagai lembaga yang mengawasi lembaga eksekutif, DPR tidak memiliki kekuatan untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden beserta jajaran menteri. Muncul upaya mereduksi pengawasan kinerja pemerintahan. Pelanggaran yang terjadi hanya dibiarkan tanpa adanya mekanisme penindakan di parlemen.

Zainal Arifin Mochtar, Hendrik Khoirul Muhid, dan Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Berita Awal Tahun: Jokowi Masuk Daftar OCCRP sebagai Finalis Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus