BOLEH tidaknya murid berjilbab, terutama di sekolah negeri yang umum, muncul lagi di permukaan. Soal jilbab ini, yang pernah ramai empat tahun lalu, memang ditangani dengan sangat hati-hati oleh Departemen P dan K. Pendekatan yang dilakukan lebih banyak "musyawarah yang mendidik", sementara ketentuan seragam sekolah harus tetap dilaksanakan. Di SMAN I Bogor pendekatan terhadap murid yang masih berjilbab tak bisa selesai dengan musyawarah. Malah, kasus ini akan dibawa ke pengadilan. Dua pekan lalu, empat murid di sekolah itu memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Bogor lewat LBH Jakarta. Yang digugat kepala sekolah itu, Ngatijo. Awalnya, seperti halnya di semua sekolah negeri, menjelang tahun ajaran dimulai kepala sekolah menyerahkan peraturan sekolah kepada murid-muridnya ini dimuat berbagai hal, antara lain, pakaian seragam. Nah, ternyata ada 26 pelajar putri di sekolah itu yang mengenakan jilbab. Ngatijo lalu melayangkan surat kepada para orangtua murid itu, tertanggal 25 Agustus. Isinya: "Dengan menyesal kami beritahukan kepada Bapak/Ibu/Saudara bahwa putrinya telah melanggar ketentuan yang telah digariskan oleh sekolah (yaitu masih berkerudung). Oleh karena itu melalui surat ini kami telah mencoret nama siswa tersebut diabsen sebagai siswa yang tidak hadir." Setelah menerima surat itu, 17 anak memilih kompromi. Mereka melepas jilbabnya jika berada di lingkungan sekolah. Dua anak memilih pindah sekolah. Yang lain tetap berjilbab ke sekolah. Mereka yang masih berjilbab ini merasa diperlakukan tidak adil. Mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mereka tetap mengikuti pelajaran. Tetapi tidak diabsen. Pekerjaan rumah dan praktikum di laboratorium yang dilakukan murid ini tidak diperiksa gurunya. "Jelas, ini tindakan yang tidak manusiawi," kata Ida Nurhaida, 18 tahun, siswi kelas II Jurusan Biologi, salah satu dari empat pelajar yang menggugat itu. Teman Ida, Hepti Mulyati Hakim, 17 tahun, mengaku hampir setiap hari dipanggil ke kantor sekolah dan diminta agar meninggalkan jilbabnya. Tetapi ia tetap bertahan dan akibatnya, "Ulangan-ulangan saya tidak dinilai, kasarnya saya ini sama saja tidak sekolah di situ," kata pelajar kelas I ini. Karena tak tahan dengan perlakuan seperti itu, empat orang siswi: Nur Farhanah, Tika Ryanti Sukmana, Ida Nurhaida, dan Ranti Aryani, mengadu ke LBH. Entah pertimbangan apa, Hepti tak ikut bergabung mengadukan nasibnya. Dan pengaduan ini, menurut Ida Nurhaida, karena cara musyawarah yang mereka usahakan tidak berhasil. "Akhirnya dengan berat hati kami mengupayakan secara hukum. Kebetulan LBH Jakarta mau membela kami yang tertekan ini," kata Ida. Sebelum kasus itu dibawa ke pengadilan, LBH pun berusaha menempuh jalan mu syawarah. "Tapi Ngatijo tetap bertahan dengan pendapatnya," kata Rudjito dari LBH. Ngatijo sendiri mengelak untuk diwawancarai dengan alasan persoalan kerudung ini sudah diserahkan ke Kanwil P dan K Jawa Barat. Sementara itu, Kepala Kanwil P dan K Jawa Barat Drs. Tating Kartadinata agak menyesalkan kebijaksanaan yang ditempuh Kepala SMAN I Bogor. "Betul kita harus berpegang pada peraturan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah soal seragam sekolah. Tapi semuanya 'kan bisa diselesaikan lewat jalan musyawarah," kata Tating kepada Hedy Susanto dari TEMPO. Yang disesalkan adalah murid yang masih berjilbab itu statusnya "diambangkan". Gugatan memang sudah masuk ke Pengadilan Negeri Bogor, 4 Oktober lalu. Keempat siswi itu mengajukan ganti rugi Rp 100 juta. "Yang kami tuntut adalah kerugian imateriil berupa kebimbangan dan ketidakmenentuan masa depan para siswi akibat nama mereka dicoret dari daftar absensi," kata Rudjito. Sasaran yang dicapai memang bukan uang. "Yang penting, siswi-siswi itu diizinkan menjadi warga SMAN I seperti semula dan tidak mengalami perlakuan yang berbeda dengan siswi lain." Namun, seperti yang dikatakan Tika Ryanti Sukmana, target gugatan itu selain diterima sebagaimana siswa lainnya, mereka tetap minta "perlakuan berbeda" yaitu ke sekolah memakai jilbab. "Keberadaan kami sebagai siswi SMAN I diakui kembali, dengan syarat kerudung tidak ditanggalkan," kata murid kelas II ini. Masalah kerudung pernah menjadi isu nasional menginjak tahun ajaran 84/85. Ketika itu sejumlah siswi sekolah menengah di Bandung dan Jakarta terpaksa pindah ke sekolah swasta yang membebaskan pemakaian jilbab. Alasan penindakan terhadap mereka adalah penyimpangan terhadap pakaian seragam. "Mereka melanggar janji. Kan mereka menandatangani tata tertib sekolah," kata Dardji Darmodihardjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P dan K ketika itu. Pedoman pakaian seragam sekolah untuk TK hingga SMTA diterbitkan tahun 1982 melalui SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Alasan pokok penyeragaman ini adalah menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan di kalangan siswa, memperkecil kemungkinan akibat yang ditimbulkan dengan adanya diskriminasi yang disebabkan keanekaragaman pakaian, memperkecil perbedaan status sosial tempat siswa itu berasal. Pada tahun 1984 diedarkan "Penjelasan Tentang Pakaian Seragam Sekolah". Isinya, bagi sekolah yang karena situasi dan kondisinya belum mampu mengatur dan melaksanakan pedoman tersebut, pelaksanaannya secara bertahap. Di bagian lain dijelaskan bila ada siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan agamanya, diberlakukan secara persuasif, edukatif, dan manusiawi, agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Tapi prinsip keseragaman pakaian dalam satu sekolah tetap dilaksanakan. Di Provinsi Sumatera Barat, misalnya. "Pakaian seragam itu dipakai hari Senin hingga Kamis. Hari Jumat, khusus untuk siswi memakai baju kurung dan selendang. Sedang setiap Sabtu, semua pelajar wajib mengenakan seragam pramuka," kata Drs. Attahillah, Kakanwil P & K Sumatera Barat. Karena semua mengenakan seperti itu, artinya, ya, seragam. Dan tak ada masalah. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini