TAHUN ini, lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) tak akan diwisuda secara nasional. Ke-20 APDN di seluruh Indonesia itu dipersilakan mengadakan wisuda di tempatnya masing-masing. APDN Semarang akan melakukannya akhir bulan ini. Ketentuan baru Menteri Dalam Negeri ini ternyata tak hanya mengatur soal wisuda. Yang sangat penting adalah ke-20 APDN itu akan dilebur menjadi satu akademi. APDN di daerah-daerah akan dibubarkan secara bertahap. Itu semua tertuang dalam SK Mendagri akhir Agustus lalu. Di situ disebutkan, Departemen Dalam Negeri membentuk Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dengan program D III, namanya tetap, Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. APDN yang bersifat nasional ini berkedudukan di Bandung dan tidak punya cabang. Menurut H. Sumitro Maskun, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Depdagri, rencana ini sudah lama. "Tapi baru terlaksana ketika Mendagri Rudini," katanya. Ada tiga alasan pokok. Pertama, kalau pendidikan dilakukan satu atap secara akademis jelas lebih standar dan lebih seragam serta menghindari terjadinya perbedaan kualitas. Kedua, menghemat dana dibandingkan harus membina 20 buah APDN. Ketiga, lebih bersifat politis. "Kami akan mencetak kader yang berwawasan nasional. Tidak primordial atau berperi laku kedaerahan," kata Sumitro. Lulusan APDN selama ini, karena berpencar di 20 provinsi, dikhawatirkan wawasan nasionalnya kurang. Dalam kenyataan selama ini, kata Sumitro, sering terjadi lulusan APDN dari daerah tertentu yang ditempatkan di provinsi lain mengalami banyak kesulitan. Lalu aparat Pemda yang menerima lulusan itu mengeluh, "kenapa tidak kita ambil lulusan dari APDN provinsi kita sendiri," kata Sumitro memberi contoh. Mengapa dipilih Bandung? Pertimbangannya adalah mencari tanah yang luas di Jakarta sangat sulit, karena di Jakarta memang sejak awal tak ada APDN. Sedangkan lokasi APDN Bandung yang sekarang di Jatinangor dinilai strategis karena dekat dengan perguruan tinggi lain seperti Universitas Padjadjaran. APDN Bandung inilah yang akan diperluas mulai tahun depan. Pembangunan tahap pertama direncanakan menelan dana Rp 11,3 milyar, untuk membangun sarana tambahan termasuk asrama yang bisa menampung sedikitnya 1.000 mahasiswa. "Dengan demikian, pada tahun 1990, APDN (yang baru) sudah bisa menerima mahasiswa tingkat satu," kata Sumitro. Sementara itu, semua APDN di tingkat provinsi tak lagi menerima mahasiswa baru. Tahun-tahun berikutnya sarana akademis dan asrama mahasiswa terus ditambah. Termasuk rencana membangun perumahan untuk dosen. Sehingga, pada tahun ajaran 1992/1993, kampus baru APDN ini bisa menampung 3.000 mahasiswa. Bersamaan dengan itu, APDN di daerah-daerah sudah meluluskan semua mahasiswanya dan tinggal ditutup. Ke-20 APDN itu ada di semua provinsi kecuali DKI, DIY, Bali, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Timor Timur. Dengan adanya satu APDN, menurut Sumitro, juga berarti penyusutan mahasiswa. Sekarang ini, setiap APDN di daerah menerima 70 sampai 80 mahasiswa setahun. Itu berarti di atas seribu mahasiswa, sementara APDN yang baru maksimum menerima seribu mahasiswa. Tapi penyusutan ini tidak ada kaitannya dengan kebutuhan yang terbatas karena, menurut Sumitro sendiri, lowongan yang harus diisi oleh tenaga lulusan APDN ada 700 ribu. "Sedangkan selama ini APDN baru mampu meluluskan 23 ribu orang. Nah, dapat Anda bayangkan sendiri," katanya. Penyusutan penerimaan mahasiswa itu lebih berkaitan dengan terbatasnya dana untuk mendidik mereka. Seperti diketahui, mahasiswa APDN selain mendapat beasiswa juga mendapat pakaian seragam (seperti Akabri) dan asrama. Dengan APDN yang satu, alokasi dana bersumber di satu tempt. Sekarang ini APDN dibiayai oleh pemerintah daerah tempat APDN itu berdiri. Seperti dikatakan Roedjito, Direktur APDN Semarang, pengeluaran akademi yang dipimpinnya mencapai Rp 760 juta per tahun dan semuanya diperoleh lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dan ini memang membebam anaran pemermtah daerah sementara "hasilnya" dilempar ke daerah lain. Dengan APDN yang baru, pemerintah daerah pun berkewajiban menyumbangkan dananya, tetapi dirasakan lebih adil. Menurut Direktur APDN Malang, Soehardjono, Pemerintah Daerah Tingkat I menyediakan dana sebesar biaya yang dibutuhkan untuk mencetak lulusan yang diharapkannya setiap tahun. Kalau yang dibutuhkan banyak, biaya yang disumbangkan besar. Yang diragukan oleh seorang dosen di APDN Malang, bagaimana menentukan biaya. Tapi, secara umum, penyatuan APDN itu disambut di beberapa daerah. Seperti kata T.H. Simatupang, Direktur APDN di Medan, "Sudah lama betul itu saya impikan." Ia sependapat, dengan terpencarnya APDN di beberapa daerah, sementara daerah itu belum tentu membutuhkan banyak lulusan APDN, beban tidak sama. Di masyarakat, APDN dikenal dengan sebutan "sekolah camat". "Karena dulu lulusan APDN diarahkan untuk menjadi camat. Sekarang camat pangkatnya lebih tinggi, lulusan APDN akhirnya kalau ditaruh di kecamatan menjadi staf camat," kata Sumitro. Seseorang begitu menjadi mahasiswa APDN langsung diproses menjadi calon pegawai negeri. Mereka mendapat beasiswa rata-rata Rp 60 ribu per bulan. Lulusan APDN sudah menyandang pangkat II B sebagai perbandingan pangkat camat terendah saat ini adalah III A. Kalau indeks prestasinya bagus, mereka bisa meneruskan ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta. Kalau tidak, mereka harus bekerja minimum dua tahun baru boleh ke IIP. Itu pun kalau dikirim oleh instansi tempatnya bekerja. Agus Basri, Tri Budianto Soekarno (Jakarta), I Made Suarjana (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini