SUDAH sejak lima tahunan lalu bermunculan di Jakarta -- bahkan
di beberapa kota besar lainnya di Indonesia -- semacam sekolah
untuk anak-anak berumur antara 2-5 tahun yang disebut Kelompok
Bermain (Play Group). Hal baru selalu menimbulkan suara pro dan
kontra tak terkecuali soal KB yang bukan keluarga berencana
ini.
Didorong' untuk menjernihkan masalahnya sekaligus minta
perhatian pemerintah, Yayasan Permata Sari -- yang setahun lalu
mendirikan KB Cikal Harapan -- menyelenggarakan panel diskusi
tentang KB. Mengambil tempat di Teater Tertutup Taman Ismail
Marzuki, 21 Pebruari lalu, diundang lima orang panelis Oejeng
Soewargana, Ediasri Toto Atmodiwirjo, Harimurti Kridalaksana,
Isom Sumhudi dan Seto Mulyadi. Dan sekitar 50 hadirin, terdiri
dari guru Taman Kanak-kanak, pengasuh KB, dan beberapa peminat
lain, mengikuti diskusi yang berjalan hampir sehari penuh itu.
Toh, tak terjadi sesuatu yang seru, yang mungkin diduga orang
sebelumnya: soal tidak setuju atau setuju adanya KB. Ternyata
semua saja menyadari pentingnya Ks. Yayasan Permata Sari sendiri
memberikan alasan pentingnya ada KB karena "perhatian orangtua
kepada anak-anak setelah umur dua tahun biasanya berkurang."
Yadahal pada usia tersebut anak-anak mulai ingin mengetahui
sesuatu -- yang biasanya tercermin dalam kegiatan bermain.
Ahli-ahli psikologi mengatakan lima tahun usia pertama seorang
anak, adalah usia maha penting. Juga akhir-akhir ini dalam
beberapa pidatonya Menteri P&K Daoed Joesoef menyerukan agar
orangtua memperhatikan masa usia yang menentukan itu.
Dr. Singgih Gunarsa, ahli ilmu jiwa anak-anak, kepada TEMPO
mengatakan, meski sesudah usia itu kemungkinan kecerdasan
berkembang masih ada, "tapi hanya modifikasi yang sudah ada."
Maksudnya, kalau pada usia di bawah lima tahun itu (balita) anak
tidak mendapat rangsangan-rangsangan belajar, akan lebih sulit
mendidik mereka.
Orangtua Sibuk
Masalahnya, kemudian, tidaklah berhenti pada seruju atau tidak
setuju ada KB. Suara-suara dalam panel diskusi banyak memberikan
kritik terhadap cara-cara penyelenggaraan KB di beberapa tempat
di Jakarta ini. Meskipun tak ada pengajuan bukti-bukti kuat,
suara-suara itu pantas diperhatikan. Ialah soal besarnya biaya
bagi yang hendak menitipkan anaknya di KB. Alasan mereka yang
menyuarakan soal itu, karena "masyarakat kita sebagian besar
masih miskin." Dan ke mana larinya keluhan itu, mungkin sudah
bisa ditebak pemerintah harap turun tangan, agar semua anak
balita berkesempatan ikut KB.
Masalah berikutnya yang cukup rumit Soal hubungan KB dengan
Taman Kanak-kanak. Surjono, atau lebih dikenal dengan nama Pak
Kasur, jelas membedakan dua hal itu. Katanya, "kalau TK lebih
memberikan pengetahuan, memberikan tingkat-tingkat kelas, KB
lebih bersifat menekankan pada aspek bermain." Menurut penuntun
anak-anak yang sudah berusia 65 tahun itu, "alam anak-anak
adalah alam bermain," dan ini bisa diarahkan untuk melatih atau
menumbuhkan "daya tangkap, daya pikir dan daya terima." Dan itu
semua penting untuk bekal "masuk TK," katanya.
Isom Sumhudi Ketua Ikatan Nasional Pekerja Sosiai Indonesia yang
juga Penasihat Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial,
yang mengamati KB yang ada di Jakarta ini menyimpulkan bahwa KB
sepintas memang sama dengan TK hanya anak-anaknya lebih muda.
Itu disetujui oleh seorang pengasuh KB di Jakarta. "Kegiatan KB
dan TK sama saja, hanya usia anak-anaknya lebih muda," kata
pengasuh tadi.
Yang kemudian membingungkan ialah kalau kita hubunkan dengan
keputusan pemerintah -- dalam hal ini Dep. P&K -- yang
mengatakan TK menerima anak-anak umur 3 - 6 tahun.
Nah, lalu -- kalau benar KB merupakan persiapan anak masuk TK
--tentunya yang diterima di KB adalah anak-anak umur dua tahun
saja. Melihat kenyataan bahwa KB-KB menerima juga anak-anak
antara 3-5 rahun, memang perlu adanya pengaturan soal ini. sukan
saja agar jelas hubungan antara KB dengan TK, tapi agar tidak
memberikan kesan keliru.
Kalau kita lihat ada KB yang memungut uang masuk Rp 50 ribu dan
uang hulanan Rp 15 ribu, ditambah kenyataan bahwa untuk masuk TK
tak perlu sertifikat dari KB, tak begitu keliru kalau kemudian
orang mengatakan bahwa KB hanya kegiatan pengisi waktu sebelum
masuk sekolah bagi anak-anak orang berada saja.
Dengan demikian soal pentingnya rangsangan belajar buat
anak-anak bahta, jadi tak diperhatikan lagi. Padahal menurut
Menteri P&K Daoed Joesoef kepada EMPO, di Jakarta ini memang
sudah perlu ada Ks. Di desa-desa mungkin belum diperlukan. Hanya
masalahnya, demikian Daoed, apakah cara-cara penyelenggaraannya
sudah tepat atau belum, itu perlu dibicarakan lagi.
Ini sejalan dengan pendapat Seto Mulyadi, lebih dikenal dengan
kak Seto, pengasuh KB Istana Kanak-kanak di Taman Ria Monas dan
juga pengasuh KB Cikal Harapan. Kata Seto: "KB diperlukan kalau
orangtua sibuk, atau anak itu hanya anak tunggal sehingga tak
punya teman bermain di rumah." Ditambahkannya, kalau di
masyarakat udah ada kegiatan semacam KB, misalnya di desa-desa
yang masyarakatnya masih bersifat kolektif, mungkin KB belum
perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini