Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Keberanian Shodanco Soeprijadi Gerakkan Pemberontakan PETA Berujung Pahlawan Nasional

Setelah pemberontakan PETA 1945, Soeprijadi tak diketahui rimbanya. Ada beberapa versi tentang sosoknya pasca pemberontakan itu.

15 Februari 2023 | 09.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Soeprijadi. Wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -- Shodanco Soeprijadi tokoh penggerak pasukan PETA yang melakukan perlawanan kepada Jepang pada 14 Februari 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soeprijadi adalah anak Bupati Blitar, Darmadi. Lahir di Jawa Timur, Hindia Belanda, pada 13 April 1923. Ia menempuh pendidikannya di Europeesche Lagere School (sekolah dasar).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah tamat SD, ia melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah pertama), lalu memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang.

Setelah bergabung dengan PETA dengan pangkat shodancho atau komandan pleton, ia kemudian ditugaskan di Blitar, Jawa Timur. Di sana ia diberi tanggung jawab untuk mengawasi para pekerja romusha, yaitu orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa oleh Jepang. 

PETA sendiri dibentuk pada 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Tujuan dibentuknya PETA yaitu untuk membantu tentara Jepang dalam menghadapi serangan dari sekutu. 

Sang inisiator Shodancho, pemimpin pleton Soeprijadi melihat kesengsaraan warga Blitar di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II . Selain itu, romusha dan perampasan hasil pertanian kerap dan memang dilakukan saat era kolonial Jepang.

Tentu, hal ini menimbulkan kekecewaan di banyak kalangan PETA yang berasal dari pribumi. Perlakuan yang tidak setara antar perwira Jepang dan Indonesia didapati pada PETA memembuat Soeprijadi tergerak untuk mengangkat senjata melakukan perlawanan.

Dia mengumpulkan dukungan beberapa batalion atau daidan. Rapat juga pernah diadakan pada November 1944 dengan melibatkan beberapa beberapa daidan PETA di Jawa Timur. Ada daidan Tulungagung, Kediri, Malang, Lumajang, Madiun, juga Surabaya.

Rencana ini sepertinya diketahui Jepang. Pemberontakan dilaksanakan, Soeprijadi mengumpulkan teman-temannya. Pukul 03.00 kala itu, 14 Februari 1954, mortar ditembakkan ke tempat tinggal para pembesar sipil Jepang di Hotel Sakura.

Hingga bendera merah putih berkibar, setidaknya selama dua jam sebelum diturunkan kembali oleh Jepang di lapangan depan markas PETA Blitar.

Setelah pemberontakan ini, Soeprijadi tak diketahui rimbanya. Walau beberapa versi mengatakan dia masih hidup dan kerap mengunjungi teman-temannya yang dihukum  penjara seumur hidup.

Sedangkan versi lain mengatakan ia meninggal dalam dalam pertempuran duel dengan pasukan Jepang. Merujuk Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi P.H.H. Simanjuntak menyebut, Soeprijadi sejatinya ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat setelah Indonesia Merdeka.

Namun, tak pernah muncul dan akhirnya digantikan. Soeprijadi, sang komandan PETA di Blitar itu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada 9 Agustus 1975.

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus