Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Rebah Tersiram Senjata Kimia

Polisi menyangkal gas air mata penyebab tewasnya 132 penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan. TGPF sebaliknya.

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan setelah tragedi Kanjuruhan terjadi, mata Cahayu Nur Dewata, 15 tahun, masih berwarna merah darah. Ayahnya, Dian Sabastianto, bercerita, semula sklera, bagian putih pada mata, putrinya berwarna kehitaman akibat terpapar gas air mata. “Matanya seperti alien,” kata Dian saat dihubungi Tempo, Sabtu, 15 Oktober lalu.

Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Cahayu mengalami koma selama tiga hari. Hasil computed tomography (CT) scan menunjukkan pegawai di salah satu apartemen di Jalan Soekarno Hatta, Surabaya, itu mengalami gegar otak ringan dan hanya mengingat memori saat berada di sekolah dasar. Mata Cahayu sempat ditutup dengan kain kasa selama satu pekan.

Dian sempat khawatir putrinya tak bisa melihat lagi. “Saya takut dia tak mengenali orang tuanya,” ujar Dian. Setelah kain kasa dibuka, Cahayu hanya bisa melihat samar-samar. Namun berangsur-angsur penglihatannya mulai kembali. Cahayu yang tubuhnya masih lemas kini berobat ke salah satu klinik akupunktur dan menjalani fisioterapi di Jalan Rinjani, Kota Malang.

Baca: Tembakan Maut Gas Air Mata Kedaluwarsa

Cahayu terbilang beruntung karena masih hidup. Keluarganya sempat panik karena ia tak bisa dihubungi saat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan terjadi. Kakaknya, Yeni Puspita Eden, lalu menerima salah satu video yang merekam tubuh adiknya tergeletak di Pintu 12 Stadion Kanjuruhan. Suporter Arema atau Aremania lantas menggotong tubuh Cahayu agar tak terinjak-injak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aparat keamanan menembakkan gas air mata usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembantaian di Stadion Kanjuruhan yang terjadi selepas laga Arema Football Club versus Persebaya Surabaya, Sabtu, 1 Oktober lalu, menewaskan 132 orang. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi (TGIPF) Kanjuruhan mencatat ada 96 orang mengalami luka berat serta 484 orang menderita luka ringan dan sedang.

Setelah pertandingan yang dimenangi Persebaya dengan skor 3-2 usai, polisi menghujani suporter Arema yang masuk ke lapangan dengan gas air mata—penggunaannya dilarang oleh Federasi Sepak Bola Dunia atau FIFA. Polisi juga menembakkan senjata kimia itu ke tribun selatan. Asap yang menyakiti netra pun menyebar ke berbagai penjuru. Belakangan diketahui, gas air mata itu telah kedaluwarsa.

Seperti juga Cahayu, Kevia Naswa Ainun Rohma mengalami peradangan pada matanya. Netra perempuan 18 tahun itu bengkak dan korneanya menjadi merah setelah terpapar gas air mata. Ia juga mengalami kelumpuhan lengan dan kaki.

Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr Saiful Anwar Kota Malang, Syaifullah Asmiragani, menjelaskan, mata merah yang terjadi terhadap penyintas tragedi Kanjuruhan disebabkan iritasi dari gas air mata. Di tempatnya pun ada empat korban yang mengalami iritasi mata. “Terkena kimia basah dari gas air mata,” ucapnya, Selasa, 11 Oktober lalu.

Tak hanya menyebabkan iritasi mata, gas air mata ditengarai menjadi biang kematian para suporter Arema. Syaifullah tak menutup kemungkinan tersebut. Menurut dia, banyak korban meninggal karena mengalami hipoksia, yaitu kekurangan oksigen dalam sel dan jaringan tubuh yang mengganggu fungsi organ. “Bisa karena gas air mata atau kekurangan oksigen,” ujarnya.

Adinda, salah satu saksi mata di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan, bercerita bahwa ia menyaksikan puluhan orang tergeletak setelah polisi menembaki tribun penonton dengan gas air mata. “Wajah mereka menghitam,” ujar perempuan 22 tahun itu. Suporter lain berupaya menolong penonton yang terkapar. Tapi asap pekat gas air mata di Pintu 13 yang terkunci membuat mereka kabur.

Baca: Teror kepada Aremania Setelah Tragedi Kanjuruhan

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menampik tudingan gas air mata menyebabkan tewasnya 132 orang, 39 di antaranya anak-anak, dalam tragedi Kanjuruhan. Menurut dia, korban tewas akibat kekurangan oksigen karena berdesak-desakan ataupun terinjak-injak di Stadion Kanjuruhan.

“Mengutip pendapat para pakar, gas air mata dalam tingkat tertinggi tak mematikan,” ujar Dedi, Senin, 10 Oktober lalu. Dedi juga mengklaim gas air mata kedaluwarsa tidak berbahaya karena kandungan zat kimia di dalamnya akan menurun. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat gas air mata di Kanjuruhan diproduksi pada 2016 dan kedaluwarsa tiga tahun lalu.

Pernyataan Polri bertolak belakang dengan laporan Sound of the Silenced yang ditujukan kepada Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Hak Asasi Manusia (OHCHR) pada 2019. Ketika itu Sound of the Silenced melaporkan pelanggaran HAM yang terjadi di Hong Kong. Laporan ini juga terdapat dalam situs web OHCHR.

Dokumen itu memuat hasil penelitian profesor kimia dari Universitas Simón Bolívar, Venezuela, Mónica Kräuter, pada 2014. Saat itu pemerintah Venezuela juga menembakkan gas air mata kepada masyarakat yang sedang berunjuk rasa. Kräuter lalu mengumpulkan ribuan selongsong gas air mata dan 72 persennya diketahui kedaluwarsa.

Hasil penelitian Kräuter menunjukkan bahwa gas air mata kedaluwarsa bisa terurai menjadi sianida, oksida, fosgen, dan nitrogen yang sangat berbahaya. Tempo berupaya mengontak Kräuter melalui akun media sosialnya, tapi hingga Sabtu, 15 Oktober lalu, pesan tersebut tak berbalas.

Baca: Upaya PSSI dan Pemerintah agar FIFA Tak Menjatuhkan Sanksi

Penggunaan gas air mata secara berlebih di tempat tertutup jelas membahayakan keselamatan manusia. Dampaknya, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, bisa berupa mata buta, glaukoma atau infeksi serius yang mengakibatkan kebutaan, kematian akibat efek kimia terbakar di tenggorokan dan paru-paru, serta kesulitan bernapas.

Adapun guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menyebutkan gas air mata bisa berdampak panjang, dari dada berat, sesak napas, hingga tenggorokan seperti tercekik. “Serta pandangan kabur dan kesulitan menelan,” ujarnya, Kamis, 13 Oktober lalu.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin mengatakan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan telah menyelesaikan pekerjaannya. Hasilnya, penggunaan gas air mata oleh polisi adalah penyebab tewasnya 132 orang tersebut.

Baca: Wawancara Ketua Umum PSSI soal Desakan Mundur

Menurut Mahfud, TGIPF menugaskan Badan Riset dan Inovasi Nasional untuk meneliti tingkat bahaya racun dan gas dari senjata kimia tersebut. “Apa pun hasil pemeriksaan BRIN, tidak bisa mengurangi kesimpulan kematian massal terutama karena gas air mata,” tuturnya, Jumat, 14 Oktober lalu.

TGIPF juga menyebutkan polisi menembakkan gas air mata secara membabi buta ke arah lapangan, tribun, hingga ke luar lapangan dalam tragedi Kanjuruhan. Dokumen yang sama juga menyebutkan korban yang mengalami luka-luka bisa mengalami dampak jangka panjang.

HAMDAN CHOLIFUDIN, EKO WIDIANTO (MALANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus