Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang abadi dalam diri manusia, tak terkecuali Presiden Abdurrahman Wahid. Meski sehari-hari terkesan sebagai pemimpin yang kukuh mempertahankan pendapat bahkan cenderung tak bisa didebat, ada juga saatnya dia mengalah.
Dalam rapat konsultasi Presiden dengan anggota DPR di Istana Negara, Selasa pekan lalu, Presiden tak berkutik terhadap serangan anggota DPR. Salah satu materi yang "dimenangi" DPR adalah perihal jumlah anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Presiden, yang semula berkeras agar anggota komisi antikorupsi itu dibatasi hanya 25 orang, akhirnya tunduk kepada tekanan DPR untuk menambah jumlahnya menjadi 45. "Oke, saya tidak keberatan," kata Presiden Abdurrahman seperti ditirukan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Menurut pengamat politik Andi Mallarangeng, melemahnya Presiden itu karena ia diserang demikian keras. Dengan hanya menguasai 11 persen suara di parlemen, Abdurrahman memang tidak leluasa bergerak.
Untuk sementara, inilah akhir pertarungan Presiden dengan anggota DPR perihal KPKPN. Ini memang polemik lama. Berdasarkan Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pemerintah diwajibkan membentuk lembaga antikorupsi. Lembaga ini memiliki kekuasaan yang luas dalam memeriksa kocek pejabat yang diduga melakukan korupsi. Komisi punya hak untuk menghadirkan saksi, mengumpulkan fakta, bahkan memeriksa rekening bank. Semua pejabat penyelenggara negaratermasuk anggota DPR dan presidenbisa diperiksa.
Berbekal undang-undang tersebut, sejak Juni lalu DPR mengadakan seleksi anggota komisi itu. Calon anggota diambil dari usulan partai politik serta organisasi masyarakat lainnya. Semula terkumpul 204 orang calon. Jumlah itu kemudian diperas lagi, melalui sejumlah tes, menjadi 45 orang. Jumlah inilah yang kemudian diajukan DPR kepada eksekutif untuk disahkan.
Presiden Abdurrahman 2 September lalu memotong jumlah anggota KPKPN menjadi 25 orang. Menurut undang-undang, Presiden memang dibenarkan mengurangi anggota lembaga itu hingga 25 orang.
Tapi, DPR berpendapat Presiden Abdurrahman bersalah karena tidak mengonsultasikan pengurangan itu kepada legislatif. "Presiden tidak memenuhi prosedur," kata Ketua Panitia Kerja KPKPN, Ferry Mursidan Baldan. "Apalagi, sebelumnya pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Freddy Numberi kan telah menyetujui 45 orang itu." Karena protes DPR itu, Presiden Abdurrahman urung melantik 25 anggota KPKPN yang telah dipilihnya.
Tapi persoalannya bukan cuma prosedur semata. Menurut orang dekat Presiden Abdurrahman di Istana, pemangkasan personel KPKPN itu erat terkait dengan keberatan masyarakat tentang tidak bersihnya sejumlah kandidat. Nama yang kerap dibicarakan di media massa, di antaranya, adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Tarman Azzam. Tarman termasuk orang yang tersingkir dari daftar Presiden. "Enggak mungkin kan kita menyapu dengan sapu yang kotor," kata pengamat politik Andi Mallarangeng.
Karena itu, dugaan yang kemudian muncul adalah DPR berkeras dengan 45 anggota KPKPN karena ingin mempertahankan sejumlah nama yang tersingkir. "Ada kesan lembaga ini menjadi ajang bagi-bagi kursi di antara partai-partai," kata Andi. Tapi dugaan itu disangkal Ferry Mursidan.
Selain soal integritas anggotanya, menurut Sekretaris Jenderal KPKPN Amir Muin, jumlah anggota sebanyak 45 juga akan membawa konsekuensi lain. Di antaranya adalah soal gaji. Dengan usulan gaji Rp 40 juta per bulan, mestinya pemerintah hanya akan mengeluarkan Rp 1 miliar setiap bulan. Namun, dengan 20 anggota tambahan, jumlah itu membengkak menjadi Rp 1,8 miliar. Sementara ini, keputusan soal gaji itu masih dibahas Departemen Keuangan.
Soal tetek-bengek kantor juga akan jadi persoalan. Menurut Muin, KPKPN saat ini belum memiliki kantor. Untuk 33 staf yang baru dilantiknya, Muin masih meminjam ruangan di sana-sini. "Dengan 45 orang, berarti lebih banyak anggota dari kantornya," kata Muin.
Belum lagi akan muncul persoalan administratif. Presiden telah mengeluarkan keppres untuk pengangkatan 25 anggota. Dengan tambahan 20 lagi, kini jadi polemik apakah Presiden perlu mengeluarkan keppres baru atau memperbaharui keputusan yang lama.
Segala polemik dan kerepotan itu diperkirakan akan menunda bekerjanya tim yang sesungguhnya sangat diperlukan ini. Dengan peringkat Indonesia sebagai negara paling korup ketiga di dunia, kondisi ini tentu memprihatinkan. Dalam banyak kasus, seperti skandal Bulog dan Brunei, yang melibatkan pejabat tinggi, mestinya tim ini bisa jadi solusi. Pemerintahan yang bersih di Indonesia dalam waktu dekat tampaknya baru bisa jadi angan-angan.
Arif Zulkifli, Endah W.S., Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo