Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melepas 27 dokter peserta program beasiswa atau fellowship 2025 untuk mengikuti pendidikan spesialis di Cina dan Jepang. Program ini bertujuan mempercepat penyediaan dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskular.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan mengatakan setiap tahun ada sekitar 296 ribu orang di Indonesia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskular. Para dokter peserta program ini akan mendalami bidang kardio intervensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sebenarnya telah mengambil berbagai langkah untuk menangani penyakit kardiovaskular, seperti menyediakan alat kesehatan, menyusun skema pembiayaan bagi pasien, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Namun, kata dia, Kemenkes juga mencatat adanya kekurangan dokter yang ahli dalam kardio intervensi. Kebutuhan tambahan yang diperlukan sekitar 350 hingga 400 tenaga medis.
"Kami ingin secepatnya mempersiapkan layanan untuk bisa menyelamatkan ratusan ribu masyarakat kita yang meninggal setiap tahunnya," ujar Menteri Budi Gunadi dalam acara Pelepasan Peserta Fellowship Luar Negeri Cina dan Jepang, di Kantor Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan, Jakarta Selatan, pada Senin, 6 Januari 2025.
Kardio intervensi adalah bidang yang bertujuan untuk membantu penderita penyakit jantung melalui pengelolaan penyakit dan gejala terkaitnya tanpa memerlukan operasi besar. Budi mengatakan sudah menyiapkan alat agar pasien tidak perlu melakukan operasi besar tersebut bernama cath lab.
Adapun alat tersebut akan disiapkan secara bertahap di 514 kabupaten atau kota hingga tahun 2027. Ia menjelaskan, penempatan alat ini di kabupaten, bukan di tingkat provinsi. Hal tersebut didasarkan pada pentingnya golden period dalam penanganan penyakit jantung dan stroke.
Menurut Budi, penyakit jantung idealnya ditangani dalam waktu kurang dari 2 jam, dengan batas maksimal 6 jam. Sementara itu, stroke membutuhkan penanganan dalam waktu kurang dari 1 jam, dengan batas maksimal 4,5 jam. Karena itu, alat cath lab harus tersedia di tingkat kabupaten atau kota untuk memastikan agar pasien dapat ditangani dengan cepat.
Hanya saja, Budi mengatakan, sumber daya manusia atau dokter yang bisa mengoperasikan alat ini masih sangat kurang. Tidak mungkin, jika hanya ada 1 dokter dalam satu kota. Karena itu, beasiswa tersebut bermaksud untuk menambah jumlah dokter yang bisa menguasai kardio intervensi dan mengoperasikan alat tersebut.
Saat ini, Indonesia kekurangan sekitar 400 dokter untuk memenuhi kebutuhan satu dokter per kota. Jika mengikuti standar 3 shift dalam 24 jam, dibutuhkan tiga dokter per kota setiap hari. Artinya, total kekurangan mencapai sekitar 1.500 dokter.
Menteri Budi mengatakan, kapasitas pendidikan untuk belajar kardio intervensi di Indonesia saat ini hanya menyediakan 30 hingga 50 kursi per tahun. Jumlah ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kementerian Kesehatan memutuskan mengirimkan dokter ke luar negeri guna mempercepat pemenuhan tenaga medis yang dibutuhkan.
Pada 2025 ini, Kemenkes secara bertahap memberangkatkan sebanyak 27 peserta untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Dari jumlah tersebut, 22 orang akan belajar kardiologi intervensi, sementara 5 orang lainnya mendalami neurointervensi. Program ini dibiayai melalui dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).