Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan masih memikirkan formula sertifikat layak kawin bagi masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini yang sedang kami pikirkan, gimana formulasinya," kata Deputi Koordinasi Bidang Pendidikan dan Agama Kemenko PMK, Agus Sartono di kantornya pada Selasa, 19 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Agus, negara dengan 17 ribu pulau bukan hal yang simplel. Untuk menjangkau lembaga ormas juga butuh waktu dan biaya. "Jadi kami perlu berpikir gimana mengatasi masalah ini. Reach the unreach population," kata dia.
Agus mengatakan, pihaknya menyadari 17 ribu pulau itu tak semua bisa terjangkau, sekalipun dengan teknologi informasi. "Enggak semua punya jaringan internet yang baik. Itu tantangan kita," kata Agus.
Meski begitu, Agus mengatakan pihaknya juga akan berupaya untuk memastikan pemerinrah daerah turut bertanggung jawab dalam program penyelarasan materi bimbingan pranikah itu.
"Nanti kami minta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang akan lead. Karena BKKBN ada di tingkat daerah. Ini tanggung jawab kita bersama untuk memastikan anak bangsa, pasangan baru tahu akan tanggung jawabnya," ujarnya.
Penolakan terhadap sertifikat layak kawin sebelumnya diutarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN meminta rencana sertifikat layak kawin yang digagas oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi dihentikan.
"Berhenti ikut campur terlalu jauh di ruang-ruang yang sudah ada hukum yang berlaku di dalamnya, terutama hukum adat. Cukup rekognisi dan pengakuan," kata Tommy Indyan, Sfaf Divisi Pembelaan Kasus, Direktorat Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN saat ditemui di Jakarta Pusat, Ahad, 17 November 2019.
Tommy mengatakan, negara telah mengintervensi terlalu jauh. Jika ruang identitas masyarakat adat diulik dan diatur negara, maka akan terjadi banyak benturan. Dia menjelaskan, banyak hal di masyarakat adat yang belum diakui negara, seperti hak wilayah, hukum adat, ritual, agama, identitas, KTP, hak politik, dan perkawinan.