Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Kenaikan UKT jadi Polemik, Begini Solusi yang Ditawarkan Dekan FEB UI

FEB UI menilai polemik kenaikan UKT bisa diselesaikan dengan cara gotong royong dan kampus tidak menaikan biaya pendidikan hingga batas atas.

16 Juni 2024 | 07.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mengatakan polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), bisa diselesaikan secara gotong royong. Sehingga semangat saling bantu itu bisa mencegah mahasiswa berhenti kuliah karena masalah biaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Gotong royong ini mungkin terlewatkan dalam narasi besar membangun UKT. Jadi semangat gotong royong di dunia pendidikan seperti ini sudah dilupakan banyak orang," ujar Teguh, dikutip dari Antara, Minggu, 16 Juni 2024.

FEB UI berkomitmen tidak boleh ada satupun mahasiswa yang tidak bisa meneruskan sekolah karena alasan biaya. Komitmen itu merupakan upaya untuk menciptakan serta memberikan kesempatan, yang setara dan seluas-luasnya kepada seluruh elemen untuk sekolah di FEB UI.

"Bahkan banyak mahasiswa di sini yang juga termasuk penerima program Kartu Indonesia Pintar. Ini sesuai dengan prinsip kami yaitu inklusi. Bahwa pendidikan berkualitas itu untuk semua kalangan," ujarnya.

Soal penetapan biaya UKT, kata dia, pemerintah sudah mengeluarkan acuan melalui Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) No 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.

Teguh menilai aturan terbaru tersebut memberikan panduan yang lebih baik dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Aturan itu pun mengatur batas atas penetapan UKT berdasarkan student unit cost. “Namun yang terjadi beberapa universitas berlomba-lomba untuk menaikkan UKT sampai batas atas, sehingga ini yang diresahkan oleh masyarakat,” tuturnya.

Adapun batas atas yang ditetapkan peraturan pemerintah tersebut sebenarnya di bawah standar FEB UI. Pada 2023, UKT di FEB UI maksimal adalah Rp17,5 juta per semester.

Di sisi lain, mengacu regulasi anyar tersebut batas atas UKT S1 di FEB UI pun ditekan menjadi Rp14,65 juta. Teguh pun mengatakan, ada pula mahasiswa yang dikenai UKT Rp500 ribu atau Rp1 juta setiap semester. 

Besaran biaya UKT itu akan bergantung dengan pendapatan hingga penjelasan ihwal kondisi orang tua/penanggung biaya, dan mengacu pada surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak orang tua mahasiswa terkait.

Oleh karena itu, FEB UI mengalihkan beban biaya dengan proaktif mencari sumber pendanaan lain untuk mengompensasi penurunan UKT, dan mensubsidi mahasiswa yang dikenakan biaya pendidikan rendah. Seperti melalui kelas khusus internasional dan kelas pasca sarjana.

FEB UI juga bekerja sama dengan stakeholder terkait seperti perusahaan-perusahaan besar melalui program corporate social responsibility (CSR). Ada pula orang tua mahasiswa yang mampu diperkuat sesuai dengan kemampuannya untuk membantu mahasiswa dari keluarga yang berpenghasilan rendah.

Selain itu, FEB UI pun kerap berkolaborasi dengan alumni untuk membantu persoalan biaya pendidikan ini, sehingga kualitas pendidikan tetap terjaga. Hal tersebut adalah spirit FEB UI, di mana pembangunan pendidikan tinggi sifatnya bergotong royong.

Adapun dalam penetapan UKT, pihaknya selalu melibatkan stakeholder khususnya mahasiswa. Mahasiswa turut aktif melakukan verifikasi data, sehingga keringanan UKT layak diberikan kepada yang membutuhkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, butuh usaha yang luar biasa untuk mengedukasi setiap stakeholder agar bersama bergerak. "Tapi saya yakin bisa, bahwa kita harus berangkat dari sebuah values bagaimana membangun dunia pendidikan ini," kata Teguh.

Dia pun berharap semangat gotong royong membangun pendidikan tinggi ini bisa diadopsi dan menjadi solusi dari masalah yang sama di perguruan tinggi lainnya. Pasalnya, gotong royong merupakan strategi yang harus dikedepankan dalam menghadapi kompetisi global saat ini.

Setiap universitas, kata dia, harus mau berbicara dengan mahasiswa atau mendengarkan stakeholder. Tujuannya agar jangan sampai sebuah kebijakan sifatnya top-down tanpa konsultasi publik dengan baik. Kemudian perguruan tinggi perlu konsisten memberikan edukasi terkait kepada stakeholder yang bahkan sifatnya jangka panjang.

"Kerja sama dengan stakeholder untuk membantu dan saudara atau adik kita yang memiliki keterbatasan ekonomi agar tetap bisa sekolah, saya rasa sifat orang Indonesia itu selalu berusaha ingin membantu. Hal itu bisa menyelesaikan masalah, tapi memang butuh effort yang luar biasa," ucap Teguh optimistis.

Sebagai akademisi Teguh pun berharap pemerintah harus sering melakukan dialog publik. Ini sebagai solusi dari masalah UKT yang tinggi dan bisa mencegah universitas-universitas ‘ugal-ugalan’ dalam menetapkan UKT dengan hanya mematok batas atas.

Pemerintah pun dapat memonitor universitas untuk bisa mengeluarkan student unit cost masing-masing. Dengan demikian pemerintah dapat menghitung dan memadankan antara student unit cost yang dimiliki oleh Kemendikbudristek dan juga yang ada di universitas terkait.

"Jadi bisa ditetapkan batasnya ada di mana. Nanti masing-masing universitas UKT-nya akan berbeda-beda. Tidak bisa langsung men-charge mentok sampai yang paling maksimal. Dan satu hal lagi, pemerintah harus membangun sebuah iklim agar perguruan tinggi negeri (PTN) tidak menambahkan jumlah penerimaan mahasiswa baru secara masif besar-besaran untuk meningkatkan pendapatan," ungkap Teguh.

Hal tersebut, kata dia, secara jangka panjang bisa mematikan universitas swasta. Menurutnya, universitas negeri dan swasta harus sama-sama maju berkolaborasi membangun dunia pendidikan tinggi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus