Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Keserempet Heli Rusia

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdullah Puteh, 56 tahun, rupanya merasa perlu lebih sering tinggal di Jakarta belakangan ini. Ia agaknya perlu mencari dukungan kawan-kawannya di Jakarta karena tuduhan korupsi puluhan miliar rupiah dalam kasus mesin listrik yang ditimpakan kepadanya di Aceh. Ini bukan serangan kosong. Seorang anak buah Gubernur Aceh itu, Tengku M. Lizam, Kepala Biro Keuangan Provinsi, sudah mendekam di tahanan penguasa darurat militer, walaupun akhirnya dibebaskan karena tidak cukup bukti.

Rabu pekan lalu, pengacara Puteh, O.C. Kaligis, perlu sowan kepada Ketua DPR Akbar Tandjung di Senayan untuk meminta agar Puteh diberi perlindungan hukum. Tak jelas apa yang bisa dilakukan Akbar, tapi kasus Puteh kelihatannya masih panjang dan berliku.

Selain terkena "sengatan mesin listrik", Puteh akan diadukan oleh Bram H.D. Manoppo, Presiden Direktur Putra Pobiagan Mandiri, ke penguasa darurat militer daerah Aceh. Pengaduan ini berkaitan dengan pembelian helikopter Mi-2 dari Rusia oleh Pemerintah Daerah Aceh pada 2002. Helikopter sudah lama tinggal di Aceh, tapi pembayarannya belum kunjung lunas. "Kami akan meminta penguasa darurat menyita helikopter itu jika pembayaran kepada kami tak kunjung beres," ujar Bram Manoppo geram.

Kasus pembelian yang membuat Bram geram itu berawal ketika Pemerintah Daerah Serambi Mekah merasa perlu membeli angkutan cepat untuk pejabatnya agar bisa meninjau 13 kabupaten di sana. Maklumlah, jalur darat tidak sepenuhnya bisa diandalkan pada masa Aceh bergolak seperti belakangan ini. "Helikopter itu dibeli untuk memudahkan kunjungan kerja gubernur dan para bupati ke tempat terpencil," ujar Azman Usmanuddin, Bupati Aceh Timur.

Singkat cerita, jatuhlah pilihan pemasok heli itu kepada PT Putra Pobiagan Mandiri, yang menawarkan helikopter buatan Rusia. Tawar-menawar akhirnya ditutup dengan kesepakatan: Aceh membeli helikopter yang mampu mengangkut enam penumpang itu. Kontrak pembelian diteken oleh Abdullah Puteh dan Bram Manoppo pada 26 Juni 2002.

Harga heli antipeluru itu lumayan, US$ 1,2 juta atau sekitar Rp 12 miliar (dengan kurs ketika itu Rp 10 ribu). Gubernur Puteh membebankan pembelian itu ke anggaran provinsi sebesar Rp 3,5 miliar, dan sisanya dipikul bersama oleh anggaran 13 kabupaten. Rata-rata beban kabupaten adalah Rp 700 juta.

Agar kantong para bupati tidak kebobolan, Puteh punya akal: ia memotong langsung dana pagu bagi hasil penerimaan pajak penghasilan dari pusat untuk kabupaten. Cara ini pernah dikritik oleh lembaga swadaya masyarakat Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (Sorak) Aceh, sebagai aksi sepihak Gubernur dan bukan atas inisiatif daerah kabupaten. Sorak juga menilai harga helikopter yang ditawarkan Putra Pobiagan terlalu mahal. Pembandingnya adalah harga heli Mi-2 yang dibeli Angkatan Laut, yang hanya US$ 350 ribu. Sorak curiga ada penggelembungan harga dalam kasus ini.

Belum jelas benar tudingan Sorak, Puteh sudah "bertikai" dengan Bram Manoppo. Ihwalnya adalah pembayaran yang seret. Bahkan, ketika pesawat sudah mendarat di Banda Aceh pada Februari 2003, menurut Bram, seharusnya Puteh langsung membayar lunas kekurangan dana pembelian heli itu. Pihak Puteh meminta kekurangan dana yang waktu itu dipersoalkan, yaitu Rp 3,7 miliar, dicicil tiga kali.

Setelah hampir setahun, utang pemerintah Aceh tinggal sekitar Rp 600 juta. Bram Manoppo kesal. Sebab, ia menerima info bahwa para bupati di Aceh sudah mulai menyetor jatah yang harus dibayar anggaran kabupaten setahun sebelum helikopter dibeli. Bram menolak anggapan harga heli itu digelembungkan, "Tak ada mark-up. Yang benar, kami rugi karena hampir dua tahun pembayaran tak beres," katanya.

Abdullah Puteh sendiri tak mau berkomentar panjang mengenai tudingan korupsinya. Selepas dimintai keterangan anggota Komisi Pertahanan DPR di Senayan, Kamis lalu, mantan Ketua Umum KNPI itu menyanggah semua tudingan. "Saya tidak pernah korupsi. Tuduhan itu saya anggap fitnah. Kalau Anda mau lebih detail, semua data ada di penasihat hukum saya."

Kelak pasti akan terbukti apakah Puteh melakukan korupsi atau ia benar-benar korban fitnah. Tapi, yang jelas, urusan heli ini membuat Gubernur Aceh itu seperti tidak betah tinggal di kantornya.

Edy Budiyarso (Jakarta), Yuswardi A. Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus