Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ketika republik berdiri

Sejarah lahirnya konstitusi. kekurangan dalam UUD 45 dianggap wajar. gol katolik & kristen tak setuju dengan bagian kata pada piagam jakarta. debat tentang bentuk negara. perjuangan bapak bangsa.

19 Agustus 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

6 AGUSTUS 1945 pagi. Sebagian warga Hiroshima baru saja selesai sarapan ketika pesawat pengebom milik Sekutu menderu di atas kedua kota itu. Sirene tanda bahaya meraung. Setelah itu bumi menggelegar. Bom atom telah meratakan kota industri tersebut. Selang tiga hari bom serupa memporak-porandakan Kota Nagasaki. Kaisar Tenno Heika tertunduk sedih mendengar laporan hancurnya Nagasaki dan Hiroshima itu. 14 Agustus, ia memutuskan untuk menyerah kepada Sekutu. Berita kekalahan Jepang itu bergaung sampai ke Indonesia. Tiga hari setelah pengeboman Nagasaki dan Hiroshima Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah republik baru telah lahir. Begitu cepatnya keputusan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diambil, sehingga Bapak-Bapak Bangsa kita tak sempat menetapkan sebuah undang-undang dasar. Selama sehari republik kita berjalan tanpa UUD. Hukum dasar bagi Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai UUD'45, sekalipun sudah dipersiapkan beberapa bulan sebelumnya, baru disepakati anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai dasar negara esoknya: 18 Agustus 1945. Jumat pekan ini, UUD'45 berusia 44 tahun. Selama kurun waktu hampir setengah abad itu sejarah kita mencatat beberapa kali usaha dilakukan sekelompok orang untuk mengganti UUD'45. Upaya itu tak pernah berhasil. Kesepakatan kita mempertahankan UUD'45 membuat kita harus berpikir menutupi celah-celah kekurangan konstitusi kita tersebut. Di antaranya, seperti dilihat Letjen. (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo, mengenai terlalu kuatnya lembaga presiden dibandingkan DPR, yang secara konstitusional mengontrolnya. Bekas Gubernur Lemhanas itu berpendapat, jika sistem lembaga eksekutif dan legislatif seperti sekarang dipertahankan, malah akan memberi hasil yang counterproductive."Pemerintah yang kuat sekali kurang menciptakan kondisi yang bisa memberi kesempatan pada rakyat mengemukakan keinginan," katanya. Muhammad Ridhwan Indra, 32 tahun, ahli hukum tata negara lulusan Pacific Western University, Los Angeles, juga melihat hal serupa. Dalam bukunya, Kedudukan Presiden dalam UUD 1945, yang diterbitkan CV Haji Mas Agung, Juni lalu, Indra bahkan mengusulkan agar dibuat Tap MPR yang membatasi usia presiden dan wakil presiden sampai 65 tahun - usia pensiun ketua, wakil ketua, dan anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) serta Mahkamah Agung. Bila pembatasan usia sulit dilakukan, Indra mengusulkan Tap MPR yang mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden. "Hal ini perlu untuk mencegah adanya presiden atau wakil presiden seumur hidup, yang tentunya tidak dikehendaki oleh pembentuk UUD '45," tulisnya. Ia mengusulkan masa jabatan presiden dan wakil presiden dua sampai tiga kali pemilihan. "ABRI mendorong siapa saja untuk mendalami Pancasila dan UUD '45, tapi jangan coba mengubahnya," kata Pangab Jenderal Try Sutrisno kepada TEMPO, Rabu pekan lalu. Tapi ia tidak menutup kemungkinan dibuatnya undang-undang yangmenjabarkan pasal-pasal dalam UUD. "Begitupun kewaspadaan tetap kita jaga. Jangan sampai undang-undang itu kemasukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD '45 dan Pancasila," katanya lebih lanjut. Meski Pasal 37 UUD '45 memungkinkan UUD itu diubah (dengan syarat: 2/3 anggota MPR harus hadir, dan keputusan baru sah bila disetujui 2/3 anggota yang hadir), wakil-wakil kita yang duduk di MPR periode 1983-1988 masih menambahkan persyaratan lain lewat Tap MPR Nomor IV/1983. Ketetapan menyebutkan, apabila berkeinginan mengubah UUD '45, MPR terlebih dahulu harus menanyakan-pendapat rakyat melalui referendum. MPR akan bersidang bila dalam referendum 90% dari rakyat yang terdaftar memberikan suara, dan 90% dari jumlah itu menyatakan setuju dilakukan perubahan UUD '45. Adanya kekurangan-kekurangan dalam UUD '45 wajar saja karena UUD '45 lahir dalam zaman yang penuh semangat. Benedict Anderson mendeskripsikan masa itu dalam buku Java in a Time of Revolution: Occupation and resistance 1944-1946, betapa semangat nasionalisme bersemi dengan cepat, bukan saja di kalangan terdidik di kota, tapi merasuk ke lapisan masyarakat desa. Penumbuhan semangat nasionalisme sengaja dilakukan tentara pendudukan Jepang guna mendukung pasukannya menghadapi kemungkinan serangan Sekutu. Lalu mereka mengadakan mobilisasi massa tempat kalangan elite dan bawah bergabung melalui gerakan semimiliter, seperti Peta (Pembela Tanah Air), Heiho, Keibodan (polisi), Barisan Pelopor, dan Hizbullah. Langkah-langkah Jepang itu menyebabkan jurang pemisah antara kaum terpelajar dan rakyat menyempit. Tak heran bila semangat nasionalisme menyebar dengan cepat ke mana-mana. Pertengahan 1944 Jepang yang mulai terpukul di banyak front pertempuran. Untuk memperoleh dukungan lebih besar lagi dari rakyat Indonesia, mereka menjanjikan kemerdekaan. Janji itu disampaikan Perdana Menteri Kuniaki Kaiso dalam sebuah resepsi di parlemen Jepan, 7 September 1944. Hanya saja tak ditegaskan kapan persisnya kemerdekaan itu akan diberikan. Setelah Filipina direbut Amerika Serikat, Februari 1945, dan tiga bulan kemudian Burma jatuh ke tangan Inggris, wibawa Jepang di mata rakyat Indonesia mulai melorot. Pada 15 Februari 1945, pecah pemberontakan Peta di Blitar. Selang dua bulan kemudian, Pemerintah Militer Jepang (Cunseikanbu) membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai - Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKI). Badan konstitante dengan 62 anggota itu dilantik pada 28 Mei. Ketuanya terpilih dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat (ketika itu 66 tahun), priayi dari Keraton Surakarta, dan juga anggota Tyoo Sangi-in--Dewan Penasihat Pusat. Radjiman dibantu dua wakil ketua dan seorang sekretaris - masing-masing Raden Pandji Soeroso, Pemimpin Redaksi Surat Kabar Kamadjoean Hindia, Ichibangase Yoshio, wakil Jepang, Abdul Gafar Pringgodigdo. Tapi tokoh paling berperan di sidang-sidang BPKI adalah Soekarno, yang kemudian menjadi presiden. Lalu, Profesor Raden Soepomo, ahli hukum adat terkemuka pada masa itu. "Pendek kata, kami ditunjuk Jepang begitu saja, tanpa jelas alasannya," kata bekas anggota BPKI, Kiai Haji Masjkur. Juga duduk dalam BPKI, wakil golongan priayi (B.P.H. Poeroebojo dan B.P.H. Bintoro), wakil golongan Cina (Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oei Ting Tjui, dan Tan Eng Hoa), wakil golongan Arab (A.R. Baswedan), wakil golongan Kristen (A.A. Maramis, Johannes Latuharhary, dan G.S.S.J. Ratu Langie), dan golongan wanita (Nyonya Raden Nganten Siti Soekaptinah Soenarjo dan Nyonya Maria Ulfah Santoso). Tokoh-tokoh yang ketika itu cukllp berpengaruh di kalangan pemuda, seperti Sutan Sjahrir, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Soekarni, tak masuk BPKI. Dalam dua kali sidang BPKI (29 Mei-1 Juni dan 10-6 Juli) di gedung Volksraad (kini: gedung Departemen Luar Negeri), Pejambon, yang dipersoalkan Bapak-Bapak Bangsa kita lebih banyak agar Indonesia merdeka secepatnya. Ini terlihat jelas ketika Soekarno memimpin tim yang beranggotakan sembilan orang dengan tugas menyiapkan rancangan UUD. Dari 38 saran yang disampaikan anggota BPKT, 26 mengusulkan agar Indonesia secepatnya merdeka. Soal-soal lain, seperti masa jabatan presiden, tak mereka kaji secara dalam. Cepatnya tugas pembuatan rancangan UUD itu selesai, karena tokoh-tokoh yang menjadi primadona dalam sidang-sidang BPKI, seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Agus Salim, Sukiman, dan Soepomo, sebelumnya sudah akrab dan memiliki pandangan dasar yang hampir sama tentang bentuk negara yang mereka angankan. Para tokoh itu kebanyakan Angkatan 1928 - generasi yang menyiapkan "Sumpah Pemuda". Dokter Abu Hanifah, yang kelak dikenal sebagai intelektual partai Islam Masyumi, menggambarkan secara jelas perkembangan tokoh-tokoh angkatan ini dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah. Ia kisahkan berbagai diskusi yang diadakan di Asrama Mahasiswa Stovia di sekitar tahun 1930-an. Bagaimana Amir Syarifudin, Muhammad Yamin, Asaat, Wongsonegoro, dan terkadang juga hadir Soekarno dari Bandung, terlepas dari paham politik yang mereka anut, membahas hampir semua perjuangan tokoh revolusioner dunia. "Dalam perdebatan-perdebatan itu, mulai terang bagi kami, bahwa Marxisme (sebagai pisau analisa - Red.) memiliki daya tarik besar pada mereka yang terjepit, merasa dihina, merasa tidak mendapat keadilan, dan terang, buat orang miskin," tulis Abu Hanifah. Tak heran bila dalam sidang-sidang Dokurisu Zyunbi Tyoo Sakai semangat antikapitalisme dan antiindividualisme tampak menggebu-gebu di kalangan Bapak-Bapak Bangsa kita. Pada sidang hari ketiga, misalnya, Soepomo memperkenalkan tiga teori tentang negara, yang ia uraikan sebagai Teori Individualistik (Barat, yang diilhami para filosof revolusi Prancis), Teori Golongan (Karl Marx dan Engels), dan Teori Integralistik (Spinoza, Hegel, dan Adam Muller). Soepomo sendiri menyarankan Teori Integralistik sebagai yang paling cocok untuk Indonesia. "Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya, berhubungan erat satu sama lain, dan merupakan persatuan masyarakat yang organis," katanya. Menurut Ismail Suny, guru besar Teori Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, "Negara integralistik itu, bila dihubungkan dengan teori Hegel, yang di sini dipelopori Soekarno dan Soepomo, ialah memusatkan negara pada seorang pemimpin." Dan Soepomo adalah orang yang amat berperan dalam menyusun pasal-pasal konstitusi itu. Frans Magnis Suseno, dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, menganggap dalam kondisi konstitusi itu disusun, terlepas dari teori negara yang melandasinya, wajar saja timbul pemikiran agar pemerintah kuat. "Dengan tantangan yang sudah mereka antisipasi di tahun 1945, membuat pemerintah yang lemah adalah bunuh diri," katanya. Dalam semangat itu, tak aneh kalau usul Mohammad Hatta agar hak-hak asasi manusia dicantumkan dalam konstitusi mendapat serangan sengit, terutama dari Soekarno dan Soepomo. Alasan Soekarno, usul Hatta itu akan melindungi orang-orang untuk mengisap, memeras, dan menindas manusia lainnya. Meski anti Barat, Bapak-Bapak Bangsa kita, yang umumnya terdidik dalam sekolah-sekolah Belanda, toh tetap terpengaruh oleh berbagai teori Barat tentang ilmu politik. Lihat saja bagaimana mereka memutuskan banyak soal muskil dengan pemungutan suara terbanyak (voting) dan juga masuk ke dalam pasal-pasal di batang tubuh konstitusi. Coba simak Pasal 2 ayat 3 (Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak), atau Pasal 6 ayat 2 (presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak). Selain itu, mereka juga memilih republik sebagai bentuk negara dengan sistem pemerintahan presidensiil, sebagaimana yang diterapkan Amerika Serikat. "Itu menunjukkan bahwa para Bapak Bangsa itu orang-orang yang berpikiran modern," kata Frans Magnis Suseno. Semula di sidang BPKI, muncul dua usul untuk dasar negara (Islam dan Kebangsaan). Para anggota BPKI segera melakukan pemungutan suara. Hasilnya: 15 suara mendukung dasar negara Islam, dan sisanya, 45 suara, memilih kebangsaan. Golongan Islam dalam badan pembentuk konstitusi ini meman cuma diwakili 15 orang 25%). Mereka di antaranya: Abdoel Wahid Hasjim, K.H. Masjkur (NU), Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII), Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H. Kahar Muzakir (Muhammadiyah). Meski sudah kalah dalam pemungutan suara, soal Islam sebagai dasar negara tetap muncul dalam perdebatan-perdebatan di badan konstitusi ini. Para pemuka Islam tampak memikul beban berat, karena merasa mendapat amanat dari umat Islam Indonesia untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konstitusi yang akan dibentuk. Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, dalam suatu pidato memperingati hari lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1963, mengatakan, pada waktu itu, di Djawa okokai ada 52.000 pucuk surat dari ulama dan tokoh Islam seluruh Indonesia, yang isinya berupa saran tentang dasar-dasar negara yang mesti diperjuangkan. Pada sidang 31 Mei 1945, menurut cerita K.H. Masjkur, K.H. Kahar Muzakir menyampaikan pidato tentang pentingnya dasar negara Islam untuk Indonesia dengan bersemangat sampai menyinggung golongan Kristen. Latuharhary dan Ratu Langie langsung berdiri memprotes keras, sembari menyatakan akan meninggalkan dan tak lain mengikuti rapat BPKI. Malamnya, kata Masjkur lebih lanjut, ia, Muzakir, dan Wahid Hasjim bertemu Soekarno di rumah Muhammad Yamin. Mereka membahas peristiwa tegan sian tadi. Soekarno menyampaikan lima asas negara yang akan disampaikannya pada sidang 1 Juni. Lima asas itu, katanya, akan bisa menjadi jalan tengah bagi semua kelompok. Masjkur dan kawankawan dapat menerima lima asas yang diajukan Soekarno (yang kemudian dikenal sebagai Pancasila) asalkan setelah Ketuhanan, ditambahkan, " . . . kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya." Soekarno berjanji akan mengusahakannya. Janji itu memang dipenuhi oleh Soekarno. Dalam Mukadimah UUD. yang disusun Tim Sembilan, tercantum tujuh kata diinginkan golongan Islam - yang kemudian sangat terkenal sebagai Piagam Jakarta. Piagam itu dimasukkan dalam rancangan UUD, yang disahkan pada sidang terakhir BPKI, 16 Juli 1945. Tapi sebulan kemudian, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta itu dicoret dari konstitusi setelah golongan Kristen dikhawatirkan akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (Lihat: Menit-Menit Menentukan di Pejambon). Berbeda dengan BPKI, PPKI dibentuk di Dalath, 300 km di utara Saigon, Vietnam. Ketika itu, Soekarno, Hatta, Radjiman, dan Soeharto (dokter), terbang ke Dalath untuk menemui Marsekal Hisaichi Terauchi, komandan militer Jepang untuk kawasan selatan. Mereka terbang dari Jakarta dengan diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyoshi. Pada pertemuan 11 Agustus itu, Soekarno dan Hatta ditunjuk Terauchi sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, dengan 19 anggota, yang kebanyakan berbeda dengan anggota BPKI sebelumnya. "Saya sendiri tak tahu alasannya mengapa saya ditunjuk menjadi anggota," ujar Teuku Moehammad Hasan kepada TEMPO, pekan lalu. Yang diingatnya, tiba-tiba ia, waktu bertugas di Kantor Gubernur Sumatera Timur, Medan, diperintahkan segera ke Singapura, dan bergabung dengan rombongan Soekarno, yang baru pulang dari Vietnam, 14 Agustus 1945. "Hari itu juga kami terbang dengan pesawat bomber ke Jakarta untuk bersidang," kata Hasan. Sidang PPKI itulah yang mencoret Piagam Jakarta. Bagi Bapak-Bapak Bangsa kita kemerdekaan adalah di atas segalanya. Karena itu, tak boleh ada perpecahan. "Ini perubahan yang maha penting, menyatukan segala bangsa," kata Hatta. Soekarno dalam pidatonya mengatakan bahwa konstitusi yang mereka buat itu adalah UUD sementara UUD kilat. "Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna," katanya. Hari itu juga Soekarno dan Hatta secara aklamasi dipilih PPKI menjadi presiden dan wakil presiden. Lalu, siangnya, presiden terpilih itu pulan, dan di tengah jalan bertemu seorang tukang sate berkaki ayam tanpa baju. Soekarno memesan 50 tusuk sate, dan menyantapnya di tepi jalan, dekat got yang bau. "Kumakan sateku dengan lahan dan inilah seluruh pesta atas pengangkatanku sebagai Kepala Negara," katanya dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Dalam perjalanan Republik selanjutnya, UUD '45 sempat diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), Desember 1949, lalu UUD Sementara (UUDS), Agustus 1950. Setelah Pemilu 1955, Konstituante, yang dilantik Presiden Soekarno, November 1956, mulai bekerja menyusun UUD. Tapi sampai Februari 1959, Konstituante tak juga berhasil menyelesaikan tugas pembuatan UUD. Golongan Islam dan Nasionalis, yang memperoleh kursi hampir berimbang (4:5), menemukan jalan buntu dalam menentukan Pancasila atau Islam sebagai dasar negara. Kesatuan bangsa terancam. Lalu, 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD '45.Amran Nasution, Liston P. Siregar, Ahmadie Thaha, Muchsin Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus