SUHUD Warnaen, Wakil Gubernur JaBar memutuskan melarang kepala
desa menagih kredit Bimas yang tertunggak. "Pelarangan itu
antara lain untuk meneliti sejauh mana keterlibatan kepala desa
dalam penunggakan kredit tersebut," kata Suhud yang juga menjadi
ketua Tim Pengembalian Kredit Bimas Ja-Bar.
Daerah ini termasuk provinsi yang mempunyai beban tunggakan
kredit Bimas cukup besar. Dari Rp 50 milyar (sejak 1974/1975)
yang harus dikembalikan, Rp 32 milyar di antaranya macet. "Dan
dari yang Rp 32 milyar itu, 10% di antaranya berada di tangan
sekitar 30.000 orang nonpetani. Justru karena nonpetani itulah
penagihan sulit dilaksanakan," kata Suhud lagi.
Sampai akhir bulan lalu, baru Rp 7,5 milyar yang terkumpul,
padahal sampai akhir tahun ini Tim Pengembalian Kredit Bimas
mentargetkan dapat menarik 50% dari seluruh kredit Bimas yang
tertunggak itu. Karena itu tim tersebut melibatkan beberapa
aparat untuk ikut serta menagih, antara lain kejaksaan. Jaksa
diperlukan untuk memproses penyalahgunaan kredit yang sudah
dikembalikan oleh petani tapi tidak disetor ke bank.
Tim, menurut rencana, juga akan mengikut-sertakan para ulama.
Mereka diharapkan dapat memberi penyuluhan dari segi agama.
"Para ulama diharapkan agar mengingatkan para pemlnggak bahwa
tidak membayar utang itu adalah dosa, sehingga para penunggak
tergugah untuk membayar," kata Suhud. Tapi sampai minggu lalu
I.Z. Abidin, Sekretaris Majelis Ulama Ja-Bar, menyatakan belum
menerima surat dari tim untuk maksud tersebut.
"Pembicaraan secara tidak resmi saja belum pernah, apalagi
secara resmi," kata Abidin kaget. "Jadi secara resmi kami belum
mendapat ajakan untuk menagih tunggakan kredlt itu," tambahnya.
Kalaupun sudah ada permintaan, katanya lagi, pelaksanaannya
masih harus dirumuskan lagi. "Tugas seperti itu kan memerlukan
petunjuk-petunjuk khusus," katanya.
Di lapangan, praktek pemeriksaan atau penagihan tunggakan kredit
itu nyatanya memang belum mengikut-sertakan para kiai. Misalnya
yang terjadi minggu lalu di kantor Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor. Delapan orangaksa, dipimpin Kepala Kejaksaan
Negeri Bogor Suyoto SH, memeriksa 16 orang yang diduga
menyelewengkan uang pengembalian kredit itu. Puluhan penduduk
bergerombol di halaman kecamatan, menonton.
Di antara yang diperiksa itu terdapat seorang bekas jurutulis
Desa Sadengkolot yang diduga menggelapkan uang Bimas Rp 16 juta.
Penyelewengan itu dilakukannya dengan cara mencatut nama belasan
penduduk desanya sendiri untuk memperoleh kredit Bimas.
Pemeriksaan itu berlangsung sampai sore. Bila berkas
pemeriksaannya siap, perkara segera diajukan ke pengadilan.
Aparat kejaksaan di semua kabupaten di Ja-Bar kini bergerak,
melancarkan Operasi Gertak alias Gerakan serentak. Tampaknya
para pamong atau peiabat desa yang melakukan penyelewengan
benar-benar bakal ditindak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini