DALAM masa kejayaan Islam, Baghdad menjadi pusat seni kaligrafi
dan dekorasi yang besar pengaruh. Salah satu bentuk buku tulisan
Arab yang dikenal sampai kini di seluruh dunia Islam, misalnya,
ialah yang disebut khath 'Iraqi. Semuanya mencapai puncak di
abad ke-12, ketika di kota seribu satu malam itu didirikan
sekolah senirupa Islam.
Kemudian peperangan silih berganti melanda Irak. Di abad ke-13
bangsa Mongol di bawah Hulgu menyerbu dan memporak
porandakannya. Perpustakaan tersohor di dunia zaman itu dibakar,
konon abunya menghitamkan Sungai Tigris. Dan dua abad kemudian
Timurleng ganti menghantamnya. Kemudian berturut-turut
pemberontakan orang Kurdi, peperangan dengan Turki dan
seumpamanya. Terakhir, secara tidak terbendung, adalah serangan
besar budaya Eropa--yang telah bangkit sekian lama untuk
menandingi (dan mengungguli) budaya bangsa-bangsa Islam yang
sedang berada pada giliran keruntuhan, perpecahan dan masa
penjajahan yang panjang.
Terbukti kemudian, kesenian masa kini Irak pun--seperti halnya
di banyak negeri--terputus dengan seni tradisionalnya di masa
lampau. Itu bisa juga dilihat pada Pameran Senilukis Kontemporer
Irak, 19-27 Oktober di Mitra Budaya, Jakarta.
Pameran yang diselenggarakan Kedubes Irak ini menampilkan 42
karya dari 3 5 pelukis. Sangat minim sekali memang, bila dari
jumlah itu diharapkan tampilnya citra senilukis Irak modern,
yang mulai dirintis tahun-tahun 30-an-meski ke-35 pelukis itu
tampak mewakili angkatan tua sampai angkatan muda.
Perintisan senilukis Irak modern -yang terbukti terlepas dari
seni tradisionalnya di abad pertengahan--dimulai ketika Inggris,
yang menduduki negeri itu sejak 1917, memberinya
kemerdekaan--1932. Sejumlah pelukis yang waktu itu bekerja di
dinas militer Turki kembali pulang dan aktif. Setahun sebelumnya
mereka sudah mengadakan pameran senirupa di Pekan Raya Industri
dan Pertanian di Baghdad.
Dengan modal itulah senilukis Irak modern mulai dirintis. Bisa
dipaham, pendorong utama (yang juga sekaligus modal) adalah
Barat yang maju. Apalagi beberapa pelukis yang belajar di Eropa
sudah pada kembali sewaktu Inggris masih berkuasa di Irak. Di
antara yang pulang dari Paris adalah Faiq Hasan (lahir di
Baghdad, 1914). Dia inilah, yang oleh para pengamat senilukis
Irak dijuluki "Orang yang tahu rahasia warna dan bentuk", dan
yang juga seorang guru yang baik, yang menjadi cikal-bakal
senilukis masa kini Irak.
Hasan di tahun 1939 mendirikan Departemen Senilukis pada
Institut Senirupa. Para pelukis Irak masa kini kebanyakan
alumnus departemen itu.
Dengan semangat yang dibawa dari Eropa boleh dikata kebebasan
mencipta begitu leluasa. Apalagi dengan berdirinya kelompok yang
menyebut dirinya Masyarakat Persahabatan Senirupa, 1941. Salah
satu aspek dari semangat kebebasan tersebut uk lain pencarian
tauun dengan warisan budaya sendiri. Tapi bahwa hanya itu
sungguh bukan perkara kecil, dibuktikan oleh ucapan seorang
pemikir senilukis--yang juga pematung dan pelukis jagoan--Jawad
Salim, hanya tiga tahun setelah kelompok itu berdiri. Katanya:
"Kami menemukan, hubungan dengan senilukis masa lalu sungguh
susah. Kami begitu terpesona oleh warna-warni lukisan Arab masa
silam." Terpesona, karena lukisan masa silam itu memang bukan
lagi milik mereka.
Maka akhir 40-an berdiri lagi sebuah kelompok -- yang menamakan
dirinya llasyarakat Primitif. Dengan tegas mereka merumuskan
tujuan senilukis Irak: lebih memandang kehidupan sosial sendiri,
terutama kehidupan luar kota. Memang, dari kelompok inilah lahir
lukisan yang terutama mengambil tema pedusunan. Kegiatan para
petani, pemandangan desa atau lukisan bertemakan cerita rakyat.
Kegelisahan Mencari
Salah seorang anggota kelompok ini, yang karyanya diikutsertakan
pada pameran, adalah Hassan 'Abd Alwan. Dia dengan tegas
mengakui, dalam buku Iraq Contemporary Art, bahwa ia memadukan
suasana kuno dengan selera modern. Hasilnya: karya-karya
dekoratif dengan warna transparan, yang memberi kesan ringan dan
melayang. Inosen, mendekati naif.
Tahun 50-an lahir pula satu pameran dari Kelompok Senirupa
Modern Baghdad. Kelompok ini dengan tegas mengatakan, mereka
sengaja memadukan Barat dengan kejeniusan Irak. Mereka mengakui
bergaya Barat, tapi penciptaan mereka adalah hasil menghirup
udara Irak, katanya.
Dan 1969 lahirlah kelompok pelukis yang membentuk grup Pandangan
Baru--karena tak puas lagi dengan rumusan kelompok yang telah
ada. Kelompok ini lebih bebas lagi. Di antaranya, yang karyanya
diikutsertakan disini, ialah Rafi' An-Nasiri (lahir 1940).
Pelukis satu ini, menarik, bertolak dari kaligrafi (Arab, tentu
saja). Cuma kebebasannya dalam menyusun bentuk, warna dan irama
berdasar huruf Arab, memang lepas. Hasilnya: sebuah karya yang
meski terasa bertolak dari kaligrafi Arab, huruf-huruf Arabnya
sendiri kadang susah dicari.
Yang paling akhir, 1976, terbentuk satu pameran yang disebut
Pameran Satu Dimensi. Bukan saja mengemukakan karya baru, tapi
juga yang lama, pameran ini dimaksud pula sebagai pameran
dokumentasi.
Kecemasan pada karya yang "tak berpijak di bumi sendiri",
rupanya uk hanya ada di Indonesia. Barangkali itu sebabnya karya
pelukis Irak terasa tak begitu mementingkan teknik. Gejolak
batin lebih terekspresikan dengan sapuan dan warna yang bebas,
tanpa memperhatikan kaidah komposisi konvensional. Hasilnya:
sapuan yang tebal atau tipis, warna yang campur-baur, komposisi
bentuk yang tumpang tindih. Ada yang bagus, ada pula yang kurang
menyenangkan, tapi tampak kegelisahan mencari--entah apa.
Sebab yang lampau memang sebenarnya sudah lampau. Yang hilang,
seperti terjadi di mana-mana, adalah masa-antara: tahun-tahun,
bahkan abad-abad panjang, yang menghubungkan yang dulu dengan
yang kini. Padahal orang, baik di Irak maupun kita, ingin
mengenal diri sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini