Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Asean: Kembali Pada Akar

Pameran keliling lukisan grafis dan foto Asean II berlangsung di Jakarta. Thailand tampil dengan ketrampilan teknis & ide, Malaysia menampilkan semua tokohnya, filipina dengan aneka raga bahan tak resmi.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH lukisan akrilik menggambarkan lukisan-dinding tua: pada banak dinding, cat sudah rontok. Judul Cahaya di Dinding. Di sisi kiri bawah terdapat bagian yang dilukis lebih terang dari selebihnya. Itulah gambar cahaya jatuh pada lukisan-dinding. Di situ pula terdapat beberapa cercah dan bintik-bintik kemilau. Cahaya fisik yang menyilaukan mata, dipantulkan cat emas yang digunakan si pelukis. Tetapi masih ada cahaya lain lagi itulah Bodhisatva sedang samadi, memancarkan praba (cahaya). Memang ia nyaris tak nampak, karena jauh dari kenyataan kita yang kasar (ia hadir sebagai lukisan dalam lukisan), lagipula dilukis sama redup dengan sekitarnya. Lukisan yang selayang pandang nampak sebagai salinan lukisan tradisional tua itu ternyata bicara dengan bahasa seni masa kini. Telaah tentang tingkat-tingkat kenyataan itu, tema yang sangat Budhis, digarap dengan trampil dan cerdas oleh pelukis Thailand Preecha Thaothong, dan dapat disaksikan dalam Pameran Keliling Lukisan, Grafis dan Foto ASEAN 11 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 13 Oktober--1 November 1981. Pameran itu menghidangkan 200 buah lukisan, grafis dan foto buahtangan 155 orang seniman kelima negara ASEAN. Ia bermula di Thailand, telah singgah di Malaysia dan Singapura, dan akan berakhir di Filipina, 16 November - 31 Desember nanti. Muda dan Bertenaga Memang, pelukis Thailand mempesona ketrampilan teknik dan ketrampilan ide mereka. Biarpun menggambarkan obyek sehari-hari (kobis, lampu, tas), apakah dengan media lukis atau grafis (cetak saring, cetak dalam, mesotin), mereka bekerja dengan jitu. Lukisan akrilik Sompong Aduonyasarapan, Manusia (atau Manusiawi), menggambarkan dengan sempurna aspek-aspek fisik (volume, ruang tiga dimensi, kepejalan, sinar dan bayangan, dan lain-lain). Tetapi aspek khayali yang kuat mendorong kita melangkah lebih jauh dari tafsir harafiah. Dalam ruangan yang bersih dan geometris (rasionalitas, peradaban teknologi tinggi) terdapat celah gelap, dan melompat liar dua sosok manusia dalam adegan kekerasan (nafsu, kebiadaban). Malaysia yang perkembangan seni modernnya baru bermula 20 atau 30 tahun yang lalu dapat menampilkan semua tokoh yang menggerakkan gelombang-gelombang perkembangan itu. Kita menjumpai Abdul Latiff Mohidin, Khoo Siu Hoe, dan Mustapha Haji Ibrahim-para pendekar yang menjagoi tahun 60-an. Dalam masa itu pula terjadi dua hal penting. Pertama, pulangnya seniman-seniman didikan luar negeri (banyak dari Inggris dan Amerika Serikat) yang membentuk gelombang kedua: Syed Ahmad Jamal, Ismail Zain, Ahmad Khalil Yusuf, Chew Teng Beng dan Redza Piyadasa. Kedua, berdirinya dua lembaga pendidikan seni rupa: pada Institut Teknologi Mara Shah Alam, dan pada Sekolah Humaniti Universitas Ilmu Pengetahuan Penang. Pada gilirannya kedua lembaga itu menghasilkan gelombang ketiga: Ruzaika Omar Basaree, Ponirin Amin, Fauzan Omar, Sharifah Fatimah Zubir, Abdul Mansor Ibrahim, Normah Nordin dan Ismail Hashim. Tentu terdapat seniman di luar kelompok itu, misalnya Khalil Ibrahim. Akhirnya, seniman yang muncul belakangan: Lye Yau Fatt dan Nirmala Shanmughalingam. Perkembangan berjangka pendek itu menyebabkan gelombang-gelombang itu tidak membentuk babak-babak yang susul-menyusul, melainkan bercampur. Dan dalam pameran ini bersama-sama membentuk kesenian yang muda dan bertenaga, yang menggarap aneka ragam ide, teknik dan bahan, dalam aneka ragam gaya. Sebuah contoh, dengan modal tiga buah foto kanak-kanak, yang direproduksi dengan sedikit variasi, Nirmala memberi kesan bahwa bidang gambarnya penuh dengan potret anak menderita (Anak Asia, grafis, media campuran). Penggunaan hitam-putih, dengan ulasan cokelat di beberapa tempat, mendukung suasana muram itu. Dan bidang-bidang segi empat meninggi berisi huruf-huruf cetak memberi konotasi surat kabar, media yang menyebarkan informasi tentang kondisi anak-anak itu. Pengamat yang cermat akan menemukan, bahwa tulisan itu ternyata sebuah prosa liris. Terbaca antara lain "Meski hitam atau kuning warna kulitnya, bayi itu tak berdosa untuk diwariskan keganasan, atau diajar apa artinya kehidupan dengan darah pembunuhan, atau dibesark,an dengan susu berbau mesiu, di bawah bayang-bayang sepatu perang." Inilah memang media campuran, termasuk medium verbal dan medium gambar, yang bersatu jadi wahana komunikasi yang kuat. Sedikit, nyaris tiada, dalam pameran ASEAN ini, karya yang bicara langsung dan lantang tentang keadaan sosial-politik masa kini di Asia Tenggara: di situ pentingnya Nirmala Shanmughalingam. Dari delapan orang juru lukis dan grafis Filipina yang ikut serta dalam pameran ASEAN tahun yang lalu, tiga kita jumpai lagi dalam pameran tahun ini. Perbedaan antara pekerjaan mereka yang sekarang dan yang kemarin, memberi petunjuk tentang suatu arus dalam seni rupa negara itu dewasa ini. Apabila tahun lalu Phyllis Zaballero diwakili sebuah lukisan akrilik pada kanvas yang menghidangkan sebuah gubahan yang rumit dan banyak kerja, sekarang ia menempelkan secarik karung dan mengulaskan cat kelam sekelilingnya. Sikap yang lugu, tak banyak ulah dan rekaan, dan memungut sembarang bahan yang terdapat di lingkungan sehari-hari, itulah yang terkesankan dari secuil kertas robek dan kerut-merut, dengan coretan-coretan tipis di atasnya (Rolando Santos Veneraction). Orang-orang Tua Kurang menarik? Kurang mantap? Apa boleh buat. Kembali kepada akar, kepada laku kesenian yang dasar, yang awal. Begitulah arus itu, yang muncul di Filipina sesudah ledakan yang hebat dan membingungkan dalam masa 70-an, ketika di negeri itu datang segala arus kesenian metropol dunia masa kini. Environments, Installations, Minimal Art Pop Art, Conceptual Art .... Menjelang 1980, sejumlah seniman tertegun dan mempertanyakan semua praktek itu, gejala yang dengan cekatan ditangkap dan diungkap oleh Pusat Kebudayaan Filipina dalam pamerannya Roots, Basics, Beginnings pada pertengahan 1977. Segera, sebuah nama diberikan: Developmental Art. Membandingkan kekayaan garapan gaya, teknik dan bahan, maka Singapura dan Indonesia tampak terbatas. Barangkali ini disebabkan diutamakannya orang-orang tua (lahir sebelum 1940) dan keengganan memberi tempat pada seniman muda berumur di bawah 30 tahun. Meskipun begitu, Singapura mencoba menamp ilkan semua angkatan dan semua corak. Ada kanvas dalam tradisi impresionisme, Sungai Singapura, oleh Choo Keng Kwang). Dan Choy Wang Yang menyindirnya dengan bagus dalam lukisan berjudul Impressionisme.Yang terakhir ini tidak lain sebuah kanvas penuh sapuan kuas pendek dan halus-ciri dan teknik Impressionisme yang masyhur. Mereka yang menganggap bahwa identitas Indonesia seyogyanya terwujud dalam gaya dekoratif tentu akan puas dengan pilihan itu, yang nyaris didominasi gaya tersebut. Tetapi mereka yang menyimak perkembangan seni rupa Indonesia, mengenal tokoh-tokohnya, corak-coraknya, dan ledakan kaum mudanya, akan bertanya-tanya tentang dasar pemilihan selain, tentunya, mutu yang baik. Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus