Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Amira, Alumnus Unair yang Jadi Satu-satunya Dokter Obgyn di Fakfak Papua

Amira Abdat, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) 2020 mengabdikan diri menjadi dokter spesialis obgyn di Fakfak, Papua Barat.

17 Mei 2023 | 10.50 WIB

dr Amira Abdat SpOG alumnus FK UNAIR 2020. Foto: Istimewa/unair.ac.id
Perbesar
dr Amira Abdat SpOG alumnus FK UNAIR 2020. Foto: Istimewa/unair.ac.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Amira Abdat, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) 2020 mengabdikan diri menjadi dokter spesialis obgyn di Fakfak, Papua Barat. Dia menjadi dokter obgyn satu-satunya di daerah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Amira mendapat beasiswa dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2015 untuk melanjutkan pendidikan spesialisnya di Unair. Pada 2012, dia menuntaskan studi S1 di Fakulras Kedokteran di Universitas Trisakti 2012. Usai lulus, pada 2013 hingga 2015 dia  menjadi dokter umum dengan penempatan di puskesmas pelosok Fakfak. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Saya mengamati dokter spesialis kandungan di sana tidak ada yang menetap. Sehingga ada dan tiada. Dengan segala urgensi yang ada, saya melanjutkan spesialis di Unair dari 2015 hingga 2020. Selepas pendidikan hingga hari ini saya kembali mengabdikan diri di Fakfak Papua,” jelasnya dilansir dari situs Unair pada Rabu, 17 Mei 2023.

Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi itu mengatakan terdapat 95 ribu jumlah penduduk di Fakfak dan 50 persennya adalah perempuan. Ibu yang sedang hamil, kata dia, sulit mendapat akses pemeriksaan. Kondisi itu membuat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. 

“Kehadiran kami, selain pengobatan, juga penyuluhan terkait seks pra-nikah. Sebab dari fenomena yang ada, kebanyakan saat hamil anak ketiga, sang ibu baru dinikahi suami. Itu pun secara siri dan sudah dinormalisasi. Terlepas dari minimnya hiburan, mereka melakukan hubungan seksual tanpa dibekali pengetahuan,’’ paparnya.

Kondisi itu diperparah dengan penolakan penduduk terhadap dokter maupun tenaga medis. Sebab, kebiasaan penduduk yang lebih tertarik ke dukun daripada tempat pelayanan kesehatan. Jarak tempuh dari kampung ke kota menghabiskan waktu berjam-jam. Banyak pula penduduk yang belum memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

“Jangankan BPJS, akta kelahiran, kartu keluarga dan berkas administratif lainnya. Mereka cenderung belum memiliki,’’ katanya.

Selanjutnya, mengenai kondisi fasilitas kesehatan di Papua Barat, dokter asal Bogor ini memaparkan RSUD Fakfak bertipe C dengan alat kesehatan sesuai standar akreditasi dan memiliki empat dokter dasar yakni dokter bedah, penyakit dalam, kandungan, dan anak. Bagi Amira, meski fasilitas belum sempurna, tapi rumah sakit tersebut terbilang cukup lengkap.  

Jemput Bola hingga ke Pedalaman
Kondisi itu perlahan berubah dengan kehadiran gerakan jemput bola yang Amira inisiasi bersama timnya. Mereka melayani pasien hingga pedalaman yang tidak terjangkau puskesmas.

Untuk ke daerah pelosok, Almira dan kawan-kawannnya menghabiskan watu selama 4-6 jam melewati perjalanan laut dengan perahu yang bermuatan lima orang. Tak jarang, mereka berhadapan dengan angin kencang, ombak, dan hujan deras.

Di atas kapal, mereka membawa bensin dan genset agar alat USG bisa menyala. Di sana, akses listrik belum masuk.

"Persalinan itu melibatkan dua nyawa, sehingga kami datang untuk merangkul mama biang (dukun), ibu kader, dan ibu hamil sebagai keluarga. Sebelum ke pasien, kami menjalin kedekatan emosional dengan mama biangnya. Dengan memberikan forceps, underpad, dan alat persalinan steril lainnya,"ujarnya.

Tak hanya membantu persalinan, Amira dan tim yang juga berasal dari Dinas Kesehtan membantu mengurus administrasi BPJS. 

Seiring berjalannya waktu, pelayanan door to door membuahkan hasil. Tak ayal, 60 persen angka kematian ibu dan anak (AKI) teratasi, mama biang-pun teredukasi. Sejumlah pasien yang persalinannya dibantu Amira memberi nama anaknya Amira sebagai bentuk terima kasih. 

“Meski saya di sini seorang diri, tetapi tidak pernah merasa sendiri. Karena guru-guru saya di Unair kerap memberi kabar dan menawarkan bantuan. Jadi jangan pernah menyerah pada keadaan, segelap-gelap jalan, pasti di ujungnya ada cahaya yaitu cahaya diri sendiri. Tidak harus jadi sempurna, cukuplah jadi berguna bagi sesama,” pesannya.

Ia juga berpesan kepada tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan yang berada di kota besar agar bisa merangkul tempat terpencil, baik di Papua, Papua Barat atau daerah lainnya yang masih membutuhkan tenaga kesehatan. “Stigma papua penuh konflik akan patah jika berada di sini, karena komunikasi menjadi kunci,’’ katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus