Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Pro Kontra atas Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

KontraS menilai usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah pelecehan terhadap para korban pelanggaran HAM rezim Orde Baru.

22 April 2025 | 16.47 WIB

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyerahkan surat penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Kementerian Sosial, Jakarta Pusat, 10 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyerahkan surat penolakan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Kementerian Sosial, Jakarta Pusat, 10 April 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

KEMENTERIAN Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) sedang membahas pengusulan 10 orang tokoh Indonesia untuk menyandang gelar pahlawan nasional. Dari 10 nama tersebut terdapat nama mantan presiden RI Soeharto yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Tengah dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur oleh Provinsi Jawa Timur.

Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih, dalam keterangan tertulis pada Selasa, 18 Maret 2025, mengungkapkan, dari 10 nama yang masuk, empat nama adalah usulan baru sedangkan enam nama lainnya telah diajukan dari tahun-tahun sebelumnya.

Usulan Soeharto sebagai Pahlawan nasional ditolak oleh berbagai pihak. Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menanggapi desakan masyarakat sipil yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI tersebut.

Menurut Gus Ipul, dalam proses diskusi nanti, semua kritik dan saran dari semua pihak akan dipertimbangkan oleh tim penilai. “Semua kami dengar. Usulan dari masyarakat juga kami ikuti, normatifnya juga kami lalui,” ujarnya saat ditemui usai acara halalbihalal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta pada Ahad, 20 Maret 2025.

Dia mengatakan tim penilai akan terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, sejarawan, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat. “Nah, setelah itu nanti saya akan mendiskusikan, memfinalisasi, kami tanda tangani, langsung kami kirim ke Dewan Gelar,” kata dia soal tahapan yang tersisa dari proses penyematan gelar pahlawan nasional pada Soeharto dan kandidat lainnya.

Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang merupakan Indonesia. Dia yang menerima gelar pahlawan nasional harus telah gugur atau meninggal demi membela negara, atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan maupun menghasilkan “prestasi dan karya yang luar biasa” bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia.

Berikut pro kontra atas usulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Mensesneg: Mantan Presiden Sudah Sewajarnya Dapat Penghormatan

Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah tidak mempermasalahkan usulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. “Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita. Jangan selalu melihat yang kurangnya, kita lihat prestasinya,” kata Prasetyo saat ditemui di Istana Kepresidenan pada Senin, 21 April 2025.

Politikus Partai Gerindra itu menuturkan setiap presiden memiliki permasalahan masing-masing dan semuanya memiliki jasa. Dia mengatakan tidak mudah bagi presiden memimpin jumlah penduduk yang besar, sehingga permasalahan yang selalu muncul tidak ketahui.

“Sebagaimana Bapak Presiden (Prabowo Subianto) selalu menyampaikan bahwa kita itu bisa sampai di sini kan karena prestasi para pendahulu-pendahulu kita,” kata Prasetyo. 

Menanggapi kasus hukum korupsi Soeharto, Prasetyo mengatakan tidak ada pemimpin sempurna. Namun dia menekankan permasalahannya bukan pada kekurangan Soeharto. “Semangatnya adalah kita harus terus menghargai, memberikan penghormatan, apalagi kepada para presiden kita,” tuturnya.

KontraS: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto Sama Saja Lecehkan Korban Pelanggaran HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pelecehan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru.

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jessenia Destarini menyebutkan usulan tersebut sangat bermasalah karena sama saja dengan memutihkan sejarah kelam dan menghapus jejak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pelecehan terhadap martabat para korban dan melukai perasaan mereka,” ujar Jessenia saat dihubungi pada Sabtu, 12 April 2025. “Lebih dari dua dekade pasca reformasi, korban masih harus terus menuntut keadilan dan tak kunjung mendapatkannya, namun individu yang paling bertanggung jawab atas kejahatan tersebut justru diwacanakan untuk diberi gelar pahlawan.”

Menurut Kontras, masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan pelanggaran HAM berat; represi terhadap kebebasan sipil; perampasan lahan; eksploitasi sumber daya alam; militerisasi kehidupan warga; serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Semua itu, kata Jessenia, seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak usulan tersebut.

Dia menyebutkan pemberian gelar itu juga bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang menuntut perubahan menuju pemerintahan yang demokratis dan menghargai HAM. Kontras juga menilai pemberian gelar tersebut sebagai bentuk impunitas yang berbahaya. “Pemerintah seakan memaklumi bahwa Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan HAM dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini membangun pola pikir pemakluman terhadap kejahatan negara,” ujar Jessenia.

Jessenia menyerukan agar pemerintah menghentikan wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto dan justru memperkuat komitmen penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu serta menghormati perjuangan para korban.

Golkar Hargai Usulan Jadikan Soeharto Pahlawan Nasional

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan pihaknya menghargai upaya MPR mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. 

“Ya tentu kita menghargai usulan tersebut dan kami sebagai, ya tentu saja bagian dari Golkar, akan men-support apa pun hal yang positif untuk kepentingan bangsa,” kata Hetifah saat ditemui di hotel Pullman, Jakarta Barat, Senin, 21 April 2025, seperti dikutip dari Antara.

Hetifah enggan berkomentar terlalu banyak soal usulan tersebut. Dia menyerahkan hal tersebut sepenuhnya kepada Kemensos dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terlibat langsung dalam rencana itu.

Gemas Buka Petisi Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) membuka petisi tolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto pada 8 April 2025. Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI, Zaenal Muttaqien, mengatakan petisi ini dibuat karena Soeharto tidak layak diberikan kehormatan sebagai pahlawan nasional.

“Usulan gelar pahlawan untuk Soeharto sudah berkali-kali muncul setiap tahun. Sehingga kami bersama non-government organization, pembela hak asasi manusia, lembaga bantuan hukum, dan lainnya selalu membuat petisi untuk menolaknya,” kata dia saat dihubungi Tempo pada Selasa, 15 April 2025.

Hingga Selasa, 22 April 2025, pukul 16.45 WIB, petisi berjudul “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!” itu sudah ditandatangani oleh 3.939 orang di situs web Change.org.

KontraS mendesak Mensos Saifullah Yusuf hingga Dewan Gelar Pahlawan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan tidak mengusulkan nama Soeharto menjadi pahlawan yang akan dikukuhkan pada 2025. “Kami menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Jane Rosalina, kepada Tempo pada Selasa, 15 April 2025.

Jane meyakini usulan gelar pahlawan untuk Soeharto menguat setelah MPR telah mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada September 2024. MPR mencabut nama Soeharto yang secara spesifik disebut pada Pasal 4.

Menurut Jane, pencabutan nama Soeharto juga bermasalah karena MPR tidak lagi memiliki wewenang mengeluarkan produk hukum setelah adanya amendemen Undang-Undang Dasar 1945 setelah Reformasi 1998. Bahkan, kata dia, selama 32 tahun kepemimpinannya, Soeharto telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kekerasan terhadap perempuan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang tidak pernah diadili dan memberikan keadilan bagi para korban sampai saat ini.

Petisi tersebut juga mengungkap dugaan keterlibatan Soeharto selama berkuasa berdasarkan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM menemukan terdapat sembilan kasus pelanggaran HAM berat di bawah pemerintahan Soeharto, yakni Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Tanjung Priok (1984); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Nabiila Azzahra, Eka Yudha Saputra, Dinda Shabrina, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Poin Penting Usulan Perubahan dalam RUU ASN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus