Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Theresia Dwiaudina Sari Putri merupakan salah satu pemenang Semangat Astra Terpadu atau SATU Indonesia Awards 2023. Dia meraih penghargaan karena upayanya memberantas stunting dan membantu ibu hamil di desa terpencil, Uzuzozo, Nusa Tenggara Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi bidan sebetulnya bukan keinginan Dini sapaan Theresia. Setelah lulus dari SMA 1 Ende pada 2013, Dini ingin mengambil kuliah bidang seni di salah satu kampus di NTT. Di lingkungan rumahnya, Dini saban kali mengajari anak-anak untuk bernyanyi di gereja. Maka itu, dia ingin bisa mendalami dunia seni musik dan tarik suara. Namun, orang tua Dini tak setuju. “Orang tua saya ingin saya kuliah di bidang kesehatan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengikuti arahan orang tuanya, Dini merantau ke Surabaya untuk kuliah. Dini awalnya ingin kuliah di Universitas Surabaya, namun karena biaya kuliah yang mahal, akhirnya dia memutuskan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya.
Penghasilan orang tuanya pas-pasan. Belum lagi, orang tuanya harus membiayai sekolah tiga adiknya yang masih kecil. Ayahnya, Kanis Sari merupakan staf pegawai negeri sipil di Kecamatan Nangapanda dan Ibunya, Herlin Kaleka adalah petani.
Lulus kuliah D3 Kebidanan dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya pada 2016, Dini memutuskan kembali ke kampung halamannya di Desa Kekandere, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Padahal, kala itu Dini sudah ditawari bekerja di tempat dia praktik kerja lapangan saat kuliah.
Dini memilih mengabdi di kampung halamannya, selain karena orang tuanya juga menginginkan Dini kembali. Ketika Theresia Kembali ke Nusa Tenggara Timur, dia melamar pekerjaan di puskesmas tempat tinggalnya di Kecamatan Nangapanda. Dini bekerja sebagai tenaga honorer yang tak menerima bayaran.
Dia hanya diberikan bayaran jika ada tugas-tugas tertentu seperti membantu program puskesmas melakukan asistensi ke desa-desa untuk pendataan. “Sebagai tenaga honorer di sana, saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan tertentu baru dibayar. Itu juga seikhlasnya saja,” ujarnya.
Dini membantu memeriksa kesehatan ibu hamil di sejumlah desa di Kecamatan Nangapanda. Hingga akhirnya pada Maret 2017, Dini mengajukan diri sebagai bidan di salah satu desa, Uzuzozo. Tenaga kesehatan enggan masuk ke desa tersebut karena lokasi desa yang terpencil dengan medan yang cukup ekstrem.
Fasilitas Minim hingga Dibayar Rp 1 Juta
Namun, Dini justru terpanggil untuk menjadi bidan di desa tersebut. Di saat bersamaan, Kepala Desa Uzuzozo sedang mencari bidan untuk desanya. Akhirnya, Dini diterima menjadi bidan di Desa Uzuzozo. Dia dibayar Rp 1 juta per bulan menggunakan dana desa. Gajinya naik setiap tahun Rp 100 ribu dan saat ini dia dibayar Rp 1,5 juta per bulan.
“Saya tergerak ingin menjadi bidan di sini untuk membantu masyarakat karena fasilitas kesehatan di sini belum ada dan ditambah akses sulit ke faskes,” ujar Dini.
Fasilitas kesehatan di desa tersebut memang belum ada. Ada bangunan kecil yang dijadikan puskesmas desa, namun di dalamnya tak ada alat kesehatan pemeriksaan ibu hamil. Jarak antara desa Uzuzozoz ke Puskesmas Kecamatan Nangapanda sekitar 13-15 kilometer.
Desa Uzuzozo yang terbentuk pada 2007 ini memang tergolong desa terluar dan terbelakang di wilayah selatan, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Medan menuju desa itu cukup ekstrem karena melewati jalan setapak berbatu yang menanjak , menuruni lembah, dan juga mesti melewati sungai kecil.
Desa tersebut berada di lembah dengan ketinggian sekitar 500 meter di bawah permukaan laut.
Desa itu terdiri atas tiga dusun yaitu Dusun Ndetuwaru, Dusun Ndetukedho, dan Dusun Gomo. Jarak antara ketiga dusun itu cukup jauh dan juga melewati medan yang ekstrem. Di Dusun Ndetukedho bahkan tak ada sinyal. Untuk menuju Dusun Gomo misalnya, harus melewati hutan dengan jalan bebatuan dengan medan yang menanjak.
Saban hari, dengan menggunakan motornya, Dini berkeliling Desa Uzuzozo untuk memeriksa kesehatan ibu hamil. Pemeriksaan yang dilakukan mulai dari anamnesa atau wawancara medis, pemeriksaan kehamilan dari fisik sampai misalnya pemeriksaan kadar HB dalam darah.
Di awal Dini bekerja, Dini melakukan pendataan terhadap ibu hamil. Nyaris semua ibu hamil di sana tidak melahirkan di fasilitas kesehatan. Mayoritas ibu hamil melahirkan di dukun beranak.
“Setidaknya 9 dari 10 ibu hamil di sini melahirkan di dukun beranak,” ujar Dini. Praktik melahirkan di dukun berisiko bagi ibu dan bayi. Dini kemudian pelan-pelan mengedukasi para ibu hamil agar melahirkan di fasilitas kesehatan.
Sempat Ditolak dan Tak Dipercaya
Akses fasilitas kesehatan yang jauh dan medan terjal memang jadi salah satu faktor ibu hamil urung melahirkan di faskes. Tak mudah untuk mengedukasi ibu hamil agar bisa melahirkan di faskes. Dini mesti berhadapan dengan dukun beranak yang sudah puluhan tahun berada di desa itu. Di awal bekerja, Dini juga sempat dicibir oleh sejumlah warga. “Awal-awal saya dianggap seperti bocah yang belum punya banyak pengalaman. Tapi saya terus berjuang mengedukasi mereka tanpa berusaha menggurui,” ujarnya.
Dini melakukan pendekatan dengan dukun di kampung tersebut, Theresia Jija (75 tahun). Dia berkunjung ke rumah dukun tersebut dengan membawa sirih dan pinang yang menjadi favorit sang dukun. Sambil mengobrol, Dini bertanya mengenai kondisi ibu-ibu hamil yang ditangani oleh dukun tersebut.
Biasanya, sang dukun memijat perut ibu hamil jika terlihat ada masalah. Menurut Jija, dia memijat perut untuk mengubah posisi janin untuk mempermudah proses persalinan. Namun, dari sisi medis, hal itu sebenarnya tak disarankan karena dikhawatirkan akan memicu komplikasi pada janin.
Dini putar otak bagaimana agar hal itu semestinya tak dilakukan. Dia juga tak ingin seolah ‘mematikan’ penghasilan sang dukun beranak. Kepada Jija, Dini menyarankan agar pijatan dilakukan di area pinggang saja. “Ibu-ibu di sini mungkin sudah tertanam di otaknya kalau sudah dipegang dukun, sudah tenang dan aman. Jadi kalau disentuh saja sebenarnya mereka seperti sudah tenang maka itu saya minta agar tidak dipijat di perut,” ujarnya.
Dalam proses persalinan, sang dukun tak menggunakan perlengkapan yang layak seperti sarung tangan. Dini mengatakan mereka bisa bekerja sama dalam membantu proses persalinan. “Saya bilang kita bisa kolaborasi. Saya bantu ibu hamil ketika persalinan dan mama dukun bantu urus anak. Jadi kerja mama dukun juga terbantu lebih ringan,” ujarnya.
Dari situ, perlahan sang dukun menerima apa yang Dini sampaikan. “Kami bekerja sama membantu ibu hamil,” ujar Theresia. Jika ada kasus ibu hamil yang tiba-tiba melahirkan di rumah dan tak sempat dibawa ke fasilitas kesehatan, Dini membantu proses persalinannya dengan bermodal bidan kit atau partus set yang dilengkapi dengan obat-obatan. Sedangkan sang dukun bisa mengurus sang bayi.
Selama Dini bekerja, belum ada kasus ibu hamil yang melahirkan di dukun kemudian meninggal. Meski begitu, ada potensi risiko apabila melahirkan bukan di tangan profesional.
Edukasi Ibu Hamil dan Mulai Dipercaya
Perlahan, para ibu hamil mulai percaya dengan Dini. Dini kerap ditelepon ibu hamil yang meminta pertolongannya. Rofina Elizabeth Pika, 36 tahun, pernah melahirkan di tepi sungai pada November 2018. Sekitar pukul 2 pagi, suami Rofina menelpon Dini karena istrinya mengalami kontraksi. Dini bergegas ke rumah Rofika yang berada di Dusun Ndetuwaru.
Mereka lalu pergi ke puskesmas menggunakan mobil pickup milik desa. Namun, di tengah perjalanan, air ketuban Rofika pecah dan harus melahirkan di tepi Sungai Tiwu Woghi. Dengan beralaskan terpal dan diterangi cahaya dari handphone, Rofika melahirkan bayinya dibantu Dini. “Saat itu gelap dan sempat dibopong dengan tandu melewati sungai. Karena air ketuban sudah pecah, jadi saya melahirkan di tepi sungai,” ujar Rofika. Ibu dan bayi selamat dan langsung dibawa ke puskesmas.
Susilia Muku, 38 tahun, warga Desa Uzuzozo juga merasa terbantu dengan hadirnya Dini. Pada 2018, Susilia memutuskan untuk melahirkan anak ke-7 di fasilitas kesehatan. Keputusan itu dibuatnya karena telah mendapat edukasi dari Dini tentang pentingnya melahirkan di faskes. “Anak 1-6 saya melahirkan di dukun beranak, tapi anak ke-7 saya melahirkan di puskesmas,” ujarnya. Susilia mengaku dirinya merasa lebih aman ketika mendapat pertolongan dari profesional.
Ibu hamil yang belum memiliki BPJS Kesehatan saat itu masih bisa menggunakan surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan desa. Mereka pun juga diedukasi untuk pentingnya mengurus BPJS.
Selain membantu ibu hamil melahirkan, Dini juga melayani imunisasi ibu hamil dan bayi. Kegiatan posyandu juga kerap dilakukan sebulan sekali kepada lansia dan balita.
Dini juga menyiapkan makanan sehat yang bisa dikonsumsi gratis seperti bubur kacang hijau yang disediakan dari dana desa. Dia memberikan edukasi kepada ibu-ibu pentingnya menjaga gizi anak untuk mencegah stunting.
“Pola makan anak-anak di sini tidak teratur karena orang tua terkadang tidak mengingatkan anak makan karena kesibukan mereka mengurus ladang. Sehingga anak baru disuapi begitu ketika mereka merasa benar-benar lapar dan meminta makan ke orang tua,” ujarnya.
Penyuluhan terkait pemberian makanan dan pola asuh yang baik terus digaungkan Dini. Dia bekerja sama dengan petugas Kecamatan, Puskesmas, maupun desa untuk memberikan edukasi.
Menurut Kepala Desa Uzuzozo Iwan Ray apa yang dilakukan Dini di desanya memberikan dampak baik di desanya.
Selain memberikan pelayanan kepada ibu hamil dan anak, Dini juga memberikan edukasi sanitasi. Sejumlah warga desa itu masih ada yang tidak menggunakan jamban untuk BAB.
Dini juga siap siaga menerima panggilan pasien kapanpun dibutuhkan. Dini juga terkadang membantu mengajar anak SD yang letaknya berada di seberang kantor desa dan puskesmas desa. “Bidan Dini sudah teruji,” ujar Iwan Ray.